Mohon tunggu...
Berthy B Rahawarin
Berthy B Rahawarin Mohon Tunggu... Dosen -

berthy b rahawarin, aktivis.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Catatan Terakhir untuk Wenger dan Gudang "Peluru Kosong"

26 Agustus 2011   11:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:27 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Profesor ‘Emeritus’ Arsene Wenger di ‘Emirates University’  adalah judul tulisan di Kompasiana (tgl 24/9/2009) hampir dua tahun silam. Wenger dan hasil yang dicapainya bersama Arsenal dua tahun kemudian, hanya memperpanjang dan memperburuk rekor the Gunners. Meski mendapat evaluasi besar-besaran dari para penggemarnya bahkan hanya berulang, Wenger tampak tak acuh. Kalau sekarang masih ada komentar, sebenarnya sebagian besar penggila tim berjulung "Gudang Peluru" itu sudah ditinggal, ketika Manchester City, misalnya, mulai menebar tantangan hebat di EPL atau Liga Utama Inggris di permulaan musim ini. Hasil terakhir di mana bahkan Ramsey melakukan own-goal ketika Arsenal bertanding di kandangnya sendiri beberapa waktu lalu, dan memberi hadiah untuk pertama kalinya Liverpool mengambil keuntungan di Emirate setelah sekian waktu, ketika Arsenal bermain sepuluh orang. Wenger memang sering melontarkan, bahwa uanglah segala sebab kerusakan permainan bola. Tetapi, strategi Arsene Wenger "Sang Profesor" menekankan aspek bisnis sebuah Tim daripada kecintaan mayarakat pendukung Arsenal, justeru rusak karena "business oriented"-nya Wenger ketimbang menjaga ideal keduanya, ya bola indah dan kejuaraan. Tampaknya setelah enam tahun paceklik gelar, Arsene Wenger mestinya melakukan otokritik dan berani mengakui kesalahannya dengan mengundurkan diri, tanpa harus minum "arsenik". Tidak ada ucapan lain selain, "Thanks to Wenger, and resign from Emirates please!!!". Terimakasih dan mundur. Profesor ‘Emeritus’ Arsene Wenger di ‘Emirates University’ Arsene Wenger yang sering dijuluki ‘profesor’ si kulit bundar, tampaknya perlu melakukan introspeksi dan otokritik pada kebijakannya pada kurun waktu paruh dekade terakhir, sejak terakhir menjuarai Liga Primer tahun 2005. Profesor Wenger mengalami kejenuhan yang tak terucapkan, ketika permainan cantik Arsenal menjadi tontonan monoton, meski tampak cantik namun membosankan. Pertunjukkan permainan cantik hanya muncul bila Tim berjulukan The Gunners sedang melawan Tim yang bukan “the big four”. Ketika, menghadapi rival di “Big Four”, tampaklah kelemahan mendasar Tim Wenger. Tentu, Arsene Wenger berjasa besar bagi lusinan pemain muda berbakat, yang setelah menjalani “kuliah di Universitas Emirates”, mereka dilepas atau dipertahankan dalam The Gunners sesuai “demand and supply” pasar bola. Selebihnya dari itu, profesionalisme bola untuk mendatangkan dolar ke setiap Club, tanpa kemunafikan tertentu senantiasa menjadi hantu membongkar pasang Tim di Liga-liga utama Inggris. Arsene Wenger yang dua tahun lalu sempat diisukan siap hengkang dari Emirates, masih ingin meninggalkan Emirates setidaknya, dengan target berada di puncak kemenangan di Liga Primer, dan bukan hanya posisi The Big Four. Tampaknya, selain arogansi tersembunyi dan keadaan jemu, telah secara diam, dan mungkin sekali tanpa disadari, tengah diidap sang Profesor. Dan, kelemahan mendasar sang Profesor tampaknya terletak pada mementingkan teknik seolah segalanya, daripada mental. Mental amat umum berarti kematangan usia dan permainan dikategorikan dengan berbeda dari para pemain muda yang mendominasi Tim Gudang Peluru itu tetapi dengan mental yang belum sepenuhnya matang. Melepas Patrick Viera tahun 2005, sebenarnya salah satu preseden Wenger sang profesor dalam segala kelebihannya, belum dapat memandang mental pemain sebagai aset untuk permainan indah untuk kemenangan. Patrick Viera mungkin bukan sangat istimewa di mata Wenger dibanding Chech Fabregas. Tetapi, suka tidak suka, sejak sepeninggalnya The Boss Patrick Viera, selama itu pula Arsenal absen dengan Piala Liga, dan tercatat hanya sekali memenangkan piala di luar Liga Primer. Patrick Viera, Thierry Henry, Bergkamp, dan beberapa nama penting di tahun 2005, bukan hanya memiliki teknik dan kekuatan fisik, tetapi lebih dari itu bermental matang dan memiliki kepercayaan diri di lapangan. The Gunners memecah rekor 49 kali bermain tanpa kalah di tahun itu sebagai menembus rekor satu abad lebih yang dipegang Tim lain Inggris di bawah 45 kali menang. Dalam permainan “membabi-buta” ala Mancester United cita-cita 50 kali bermain tanpa kalah jadi kandas dan harus menyerahkan piala liga kepada MU setelah beberap pertandingan lain diselesaikan. Meskipun begitu, Tim Arsenal ketika itu memiliki baik teknik permainan, kematangan emosional, percaya diri, semangat juang, dan terutama mental juara, sebagai unsur-unsur komplit terpadu. Dalam perkembangannya, Profesor mereduksi kematangan emosional, mental juara, dan ketepatan strategi di bingkai kelabu pemain muda berbakat dengan “beautiful playing” atau permainan cantik. Kejenuhan Sang Profesor dalam analisis permainan, sebenarnya terlihat dalam pertandingan big-match Arsenal lawan Manchester United tgl 29 Agustus 2009. Perggantian Eboue pada paruh babak kedua ketika Arsenal telah ketinggalan 2-1 dari MU dengan Bendtner, selanjutnya Arshavin yang relatif sudah matang dan malah pencetak gol tunggal Arsenal, menampakkan strategi dan pertimbangan “mental juara” tetap bukan prioritas Profesor. Tampak, sang Profesor tetap memegang dogma, kalau menang harus karena permainan cantik; atau, kalah boleh, permainan cantik absolut. Tak menang, tak apalah (?). Jika demikian, sindiran Evra dari MU, bahwa “Kami 11 pemain akan sedang berlaga dengan 11 anak berbakat!” tetap bukan sesuatu oleh Wenger. Diaby sebagai pemain depan dengan mental juara yang masih rendah, dan melakukan “own goal” atau gol bunuh diri tanpa aksi “repay” seperti terkadang ditunjukkan Kolou Toure atau Gallas, bila melakukan OG, Diaby dan Ramsey dan kawan-kawan perlu didampingi beberapa senior bermental baja. Jika, profesor Arsene Wenger tidak segera menyadari kekurangan timnya, terutama bila harus berhadapan dengan rival di Big Four, kita hanya akan menonton permainan cantik dan kemenangan tanpa greget ketika Arsenal bertanding dengan Tim lemah. Yang dapat dilakukan Profesor adalah mempertimbangkan serius isu The Boss Patrick Viera yang hendak balik ke Emirates, yang perannya diganti Cech Fabregas dan kemaren absen karena cedera. Selain beberapa pemain senior harus dipertahankan, dogma permain indah dan kemenangan harus diimbangi. Kalau Profesor tak beranjak dari ambisinya untuk menyadari faktor mental pemain dan ketepatan, Pimpinan Emirate University dapat mungkin segera memberinya status pensiun, ya, Profesor Emeritus. Penutup Terimakasih Wenger, betapa pun berat untuk mengatakan itu, dan harus mengucapkan (menghendaki) mengatakan selamat jalan. Fabregas dan Nasri telah memulainya. Meninggalkan Emirates, akan jauh lebih baik daripada sebelum pertengahan musim Liga Primer, Wenger, Anda kehilangan segalanya. Hilang simpati karena arogansi terus berada di Gudang "Peluru Kosong". Setidaknya di Tanah Air kami, Indonesia, sepak-bola menyatukan hati dan pandangan kami, di lapangan hijau, sebagai satu Bangsa yang punya harga diri. Karikatur Wenger, Unduh google Catatan terakhir untuk Wenger, bila terus berada di “Emirate University”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun