Saat mengenang 64 tahun peristiwa Bandung Lautan Api, sangat rindu dan kuat niat saya menuju Bandung, sekedar hanya melihat-lihat Kota Bandung, atau bisa menuju tempat pengungsi banjir, tetapi sementara ini saya menunda jadwal kepergian ke Bandung. Semalam saya bertekad untuk tiba di Bandung dengan kereta, tetapi karena kerja Tim membutuhkan kebersamaan, saya kecewa untuk menunda kepergian ke Bandung. Kalau harus disama-samakan, seperti kekecewaan Presiden Obama menunda kunjungan ke Australia, Guam, dan Indonesia. Dengan gradasi urusan berbeda, tapi perasaan kecewa sama karena terikat tanggung-jawab Tim.
Maka, teringatlah saya, bahwa untuk mengenang Kota yand justeru dibumi-hanguskan agar sekutu tidak dapat masuk kembali, teringatlah pada syair tanya pengetuk-hati Si Burung Merak WS Rendra, yang sohib-nya mbak Linda Djalil, saya menginterpretasi saja kehendaknya, semacam hermeneutika sederhana untuk karyanya "Sajak Seorang Tua Tentang Bandung Lautan Api", untuk menggali kedalaman pertanyaan yang dilontarkannya pada Kota Priangan, Kota Danau Purba.
Tiga Bagian utama "Sajak Seorang Tua Tentang Bandung Lautan Api", yakni, intro, isi, dan message. Intro sebagai prolog memberi makna eksistensial hidup sebagai manusia merdeka yang bernegara dan bermartabat, dengan nyawa sekalipun. Rendra memberi bentuk paradoks secara kental pada kemenenagan merebut Bandung dengan cara "menghancurkannya", bertolak-belakang dengan cara Jogya dipertahankan lewat pesan petinggi koloni Belanda, "Djocdjacertum Non Delendum Esse!" (Jogyakarta jangan dihancurkan). Padahal, pejuang di Bandung ingin mempertahankannya dengan perintah "Delere!" (Hancurkan!). Itu kuat dalam baitnya: "Kami tidak ikhlas, menyerahkan Bandung kepada tentara Inggris, dan akhirnya kami bumi hanguskan kota tercinta itu, sehingga menjadi lautan api"
Selanjutnya, Si Burung Merak beranjak pada esensi kemerdekaan. Ia mengungkapkan ideologi eksistensial martabat manusia. Katanya dalam bait, "Kedaulatan hidup bersama adalah sumber keadilan merata, yang bisa dialami dengan nyata, Mana mungkin itu bisa terjadi, di dalam penindasan dan penjajahan". Bagian ideologi ini termuat dalam Pancasila, sila kedua. Dalam bentuk negasinya, kemerdekaan itu diungkap sebagai alasan mempertahankannya, "Itulah sebabnya kami melawan penindasan, Kota Bandung berkobar menyala-nyala tapi kedaulatan, bangsa tetap terjaga".
Dua frase tersingkat dari ""Sajak Seorang Tua Tentang Bandung Lautan Api", ada ada dalam dua frase "Hidup yang disyukuri adalah hidup yang diolah, Hidup yang diperkembangkan, dan hidup yang dipertahankan". Karena makna hidup itulah, isi utama yang diawali dengan perjuangan, maka ketika diterima, disyukuri dan dipertahankan ideologi kemerdekaan itu.
Bagian message (pesan), atau pesan Rendra muncul dalam pertanyaan-pertanyaan yang mengusik situasi yang dialami setelah kemerdekaan direbut. Burung Merak yang belum setahun meninggalkan kita, persisnya tanggal 6 Agustus 2009, menyajikan sinisme-sinisme yang dimunculkan dalam pertanyaan itu, ditautkan pada situasi perjuangan ketika "merelakan Bandung dihancurkan demi kemerdekaan". Karena itu, sinisme itu serentak diakhiri dengan serbuan pertanyaan retorika sebagai pesan untuk berintrosepeksi pada (warga) Kota Bandung, yang pernah menjadi Lautan Api, ya, hari ini 64 tahun lalu.
Rendra yang meninggalkan kita, dan juga antara lain mbak Linda Djalil - maaf, Mbak LD, aku menyebut namaumu dengan apresiasi yang tinggi dan dalam, dengan kebanggan, untuk bersama memberi pesan kepada Warga Negara Indonesia umumnya, dan khususya warga "Bandung Lautan Api", retorika yang dilemparkan SI Burung Merak, "Sukmaku gagap. Apakah aku, dibangunkan oleh mimpi?, Apakah aku tersentak, Oleh satu isyarat kehidupan?, Di dalam kesunyian malam, Aku menyeru-nyeru kamu, putera-puteriku!, Apakah yang terjadi?"
Inilah sajak lengkap Si Burung Merak, yang ditulis tahun 1990.
Sajak Seorang Tua Tentang Bandung Lautan Api, Oleh W.S. Rendra
Bagaimana mungkin kita bernegara
Bila tidak mampu mempertahankan wilayahnya
Bagaimana mungkin kita berbangsa
Bila tidak mampu mempertahankan kepastian hidup
bersama ?
Itulah sebabnya
Kami tidak ikhlas
menyerahkan Bandung kepada tentara Inggris
dan akhirnya kami bumi hanguskan kota tercinta itu
sehingga menjadi lautan api
Kini batinku kembali mengenang
udara panas yang bergetar dan menggelombang,
bau asap, bau keringat
suara ledakan dipantulkan mega yang jingga, dan kaki
langit berwarna kesumba