Surat DR. Sjahrir untuk Gubernur Ahok.[caption caption="Karikatur Teman Ahok yg Membuat Tersinggung"][/caption]
Pilkada DKI tetap menarik, karena menjadi arah setengah perjalanan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Maka 'cemburu' PDI-P dan Teman Ahok menjadi menarik dalam pelbagai perspektifnya, dalam koteks pemilukada DKI.
Sebagian publik (Indonesia/Jakarta) Â mungkin terkejut, tapi sebagian lainnya, tidak terlalu terkejut, dengan situasi Relasi "cinta segitiga Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau laku nan sederhana disapa Ahok, "Teman Ahok", dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDI-P.
Sebenarnya, hubungan Ahok dengan Partai PDI-P begitu harmonis, bahkan tampak mesra, ketika Rakernas PDI-P, Â di JI EXPO Kemayoran, Jakarta, awal tahun 2016. (10/1/2016). Keakraban itu, bagi sebagian pengamat, adalah modal konsolidasi awal yang baik bagi Gubernur Ahok dan PDI-P, dalam sona penjajakan dan pencocokan (fitting) mitra politik jelang Pilkada DKI awal tahun 2017. Sesuatu yang lumrah, karena Ahok menjadi gubernur karena posisi ini dilepas Presiden Joko 'Jokowi' Widodo setelah terpilih jadi presiden, yang juga bermitra dengan Ahok dan didukung PDI-P dan Partai Gerindra.
Publik mencatat bahwa, mantan 'gubernur Jokowi didukung PDI-P', sementara wakil gubernur Ahok didukung partai Gerindra'. Dengan demikian, dinamika  'cinta' keluarga PDIP-Gerindra turut berkontribusi dan berpengaruh dalam relasi PDI-P kepada Jokowi, maupun, Gerindra kepada Ahok dengan status 'talak tertinggi'politik, untuk tidak dibilang cerai. Gerindra terpaksa "melepas" Ahok, PDI-P menerima Ahok, sebagai 'mantu' politik PDIP, yang ditinggal pergi 'ortu' politiknya ya, Gerindra.
PDI-P sadar menerima Ahok bukan seperti 'anak kandung' politiknya. Ahok adalah 'anak-adopsi' politik PDI-P. Gubernur Ahok yang ketiban kursi Gubernur DKI yang ditinggal saudara atau pasangan nikah politiknya yang menjadi presiden, tidak dengan sendirinya menjadi anak kandung politik PDI-P. Berstatus hukum sebagai alih waris dalam keluarga PDI-P, tetapi tidak bisa diperlakukan sebagai 'anak-kandung', seperti PDI-P membuat ketar-ketir publik saat, "terpaksa" memilih Jokowi maju menjadi "Capres" yang dianggap sebagai desakan publik semata, bukan agenda yang matang PDI-P, untuk tidak mengatakan 'kecolongan.'
Maka, posisi Ahok sesungguhnya adalah menjadi "bebas transfer." Tanpa Teman Ahok, Ahok bukan hanya "bebas transfer", Ahok Dapat Tereliminasi (Kompasiana September 2015). Kehadiran Teman Ahok, suka tidak suka, menjadi posisi tawar yang bersinergi (berdialog) dan bermitra dengan semua partai, terutama PDI-P (dan Gerindra, kalo Desmond jujur).Â
Paradoks Politik: Â Independen dan Teman "Partai Politik"
Adalah kenyataan dan kenisbian politik yang bahkan dilindungi dan dijamin Undang-Undang sejak satu dekade lalu di Indonesia, untuk memilih calon kepala daerah tidak mutlak dari jalur partai. Artinya, "partai bukan lagi segalanya. Betapa pun, tidak mudah, namun di sejumlah daerah, calon independen lolos dan sukses membangun daerah. sementara publik menunggu partai-partai untuk makin bersinergi atau setidaknya memahami pwerubahan sosial dan tranformasi politik yang berubah cepat.
Kenyataan politik, sangat berat dialami partai Demokrat, bahwa suka tidak-suka (like-dislike) publik yang dianggap sepele, dapat menghancurkan sebuah dinasti politik yang tak bersedia memahami (saja sekalipun) transformasi publik.
Upaya menjaga kewibawaan Partai Politik, sempat dilakukan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri tentang kenyataan semacam fenomena gerakan "deparpolisasi", dalam hubungan pemimpin daerah/negara dengan partai.