Mantan Menkumham pada periode pertama Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid Pertama Yusril Ihza Mahendra termasuk dalam beberapa orang yang mengkritik pedas Kemenkumham soal kebijakan moratorium atau dihapusnya remisi bagi para terpidana koruptor. Yusril yang juga masih dalam proses pro justitia Sisminbakum, tampaknya ingin menenangkan hati Anggota DPR RI dengan wacana RUU Tipikor baru itu, akan memberi argumen-argumen yang bertentangan dengan semangat membasmi korupsi sebagai extraordinary crime. Beberapa argumen yang dikemukakan Yusril saat diskusi di Gedung DPR RI “Moratorium dan Remisi Untuk Koruptor, Legal Atau Melanggar Hukum” di DPR, Kamis (03/11/2011), adalah (1) Indonesia bukan negara kekuasaan (machtstaat) tapi negara hukum (rechstaat), kebijakan penghilangan remisi itu tindakan otoriter; (2) melanggar HAM para terpidana korupsi yang berkelakuan baik setelah menjalani masa tahanan; (3) sifat diskriminatif Remisi, yang hanya dianggap dilakukan dalam Hari Raya keyakinan tertentu dan tidak di hari raya Keyakinan yang lain; (4) bahwa, melanggar Konvensi PBB tentang Korupsi; (5) bahwa, kebijakan Remisi hanya sekedar politik citra, bukan motif murni penegakkan hukum. Masyarakat hanya mencoba memahami kebijakan moratorium remisi oleh Kemenkumham di bawah Menteri Amir Syamsudin (mantan pengacara) dan Wamen Denny Indrayana dari dasar akal sehat yang muncul dari suara-suara masyarakat. Masyarakat beranggapan, pertama, bahwa vonis bagi para koruptor terlalu ringan dengan tindakan kejahatan korupsi dengan kerugian negara yang sangat besar. Maling ayam dapat divonis dua tiga tahun penjara, pada saat yang sama terpidana koruptor menerima vonis yang sama, atau bahkan lebih kecil. Kedua, perlakuan istimewa dalam masa penahanan dan menjalankan masa hukuman, bukan lagi rahasia umum. Keadaan istimewa yang diterima terpidana korupsi membangun kecemburuan baru di antara sesama nara pidana. Ketiga, dalam menjalankan masa pidana yang ringan dan singkat, terpidana koruptor masih menerima “hadiah” remisi atau pemotongan masa tahanan, sementara tindak pidana maling ayam atau yang setingkat, akan lebih sulit menerima hadiah sedemikian, karena tidak memiliki akses dan kemampuan “transaksional” seperti terpidana koruptor. Dan sejumlah sinyalemen pengistimewaan proses pro justitia maupun perlakuan diskriminatif pengistimewaan terhadap para calon tersangka dan tersangka korupsi lainya.
Di masa Menkumham Patrialis Akbar grasi kontroversial untuk bupati Kutai Kertanegara Syaukani (awal tahun 2010), telah menimbulkan perdebatan hukum yang dalam. Apalagi, alasan kesehatan Syaukani yang diberitakan media seolah dalam keadaan sekarat, mendadak bisa menggerakan badan dengan relatif leluasa pasca pemberian grasi. Yusril termasuk membela pemberian grasi kepada Syaukani. Masyarakat ketika itu bahkan berspekulasi tentang grasi Syaukani sebagai tumbal belaka bagi pembebasan bersyarat Aulia Pohan, besan presiden SBY.
Argumen Ad Hominem untuk Yusril
Terhadap empat empat argumen Yusril, kecuali argumen “politik citra”, boleh kita membolak balik catatan dan jejak kebijakan hukum sebagai Menkumham di bawah KIB I Presiden SBY.
Pertama, perihal melanggar Konvensi PBB tentang Korupsi yang mana yang dimaksudkan Yusril tidak cukup jelas, bahkan bertentangan. Indonesia bahkan secara umum dianggap terlampau lemah terhadap tindakan pembasmian korupsi. Sekretaris-Jenderal PBB Ban Ki-moon dalam kesempatan Internasional Hari Anti-Korupsi pada 9 Desember 2009 mengatakan, bahwa di dunia sangat rentan dan menderita "pertama dan terburuk" oleh karena korupsi seperti pencurian uang publik atau bantuan asing untuk keuntungan pribadi.Hasilnya, katanya, adalah sumber daya yang lebih sedikit untuk mendanai pembangunan infrastruktur seperti sekolah, rumah sakit dan jalan. Sekjen Ban bahkan mencatat, bahwa bagaimanapun korupsi "tidak ada kekuatan impersonal besar" tetapi "hasil dari keputusan pribadi, paling sering termotivasi oleh keserakahan."Lanjutnya, "Konvensi PBB melawan Korupsi adalah instrumen hukum terkuat di dunia untuk membangun integritas dan melawan korupsi", dan meminta perusahaan untuk mengadopsi langkah-langkah anti-korupsi sejalan dengan Konvensi. Jadi, spirit yang dikembangkan Yusril (dan teman-teman) justeru bertentangan dengan semangat Konvensi PBB untuk terus mencari langkah tepat dan effektif meminimalkan hingga meniadakan peluang dan aksi koruptif. Kedua, sifat dikriminatif Remisi seperti disebutkan Yusril, tampaknya hanya sekedar sebagai tambahan pointer argumen, tanpa pemaknaan hukum yang berrelevansi dengan penegakkan wibawa hukum. Pada prakteknya, remisi diberikan tidak hanya di masa keagamaan dari keyakinan tertentu saja. Substansinya juga bukan pada “waktu” remisi, tetapi “siapa-siapa” yang berhak atas remisi. Secara normatif, remisi adalah hak narapidana. Tetapi konteks normatif itu, dikecualikan terhadap tindak pidana korupsi sebagaiextraordinary crime. Ketiga,dalam konteks korupsi sebagaiextra rdinary crime, yang diberi batasan sebagai melanggar HAM publik yang berdampak luas dan merusak sendi-sendi kehidupan warga manusia secara masif dan terpola, terpidana korupsi tidak dapat dipandang sama dengan pidana umumnya. Korupsi masuk pelanggaran HAM berat di mata Konvensi PBB. Keempat, di masa jabatan sebagai Menkumham tidak ada integritas pribadi Yusril yang cukup dalam penegakkan negara hukum (rechtsaat) dan negara kekuasaan (machtstaat) secara berarti. Yusril tampak “konsisten” dalam sikap ketika memberi bahasa pembelaan pada grasi kontroversial Syaukani. Tapi, Yusril ketika Menkumham di bawah Presiden yang sama, diam seribu bahasa ketika penolakan grasi oleh Presiden SBY atas kasus kontroversial pidana mati Tibo Cs, dalam konflik sosial di Poso, Sulteng, misalnya. Yusril dapat dikatakan tebang pilih, inkonsisten dan dikriminatif. Negara hukum (rechtstaat) atau negara kekuasaan (machtstaat) yang disampaikan secara normatif, hanya sebuah inkonsistensi Yusril. Dia hanya hanya sedang menyenangkan hati Wakil Rakyat dan Koruptor? Apresiasi masyarakat akan hilang, bila kepastian (hukum) dan kewibawaannya hanya ada dan nyata dalam kepentingan. Kepentingan rakyat sedang terdzolimi di wilayah inkonsistensi penegak hukum. Dalam kasus ini, saya membela agenda moratorium remisi dari Kemenkumham. Ilustrasi: unduh Google
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H