[caption caption="PIMPINAN BARU KPK (KOMPAS.COM"][/caption]Lumrah untuk mendengar suara dan sikap pesimistis publik terhadap kepemimpinan baru Komisoner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pegiat anti-korupsi Indonesian Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntoh bahkan serta-merta mempelesetkan KPK yang dulunya “sangar,” membuat gentar ‘kandidat maling-koruptor untuk berpikir lebih dari dua kali untuk mencuri uang negara, ya uang rahayat,yang kini dipelesetkan menjadi “sekedar” Komisi Pelindung Korruptor", KPK baru.
Pesimisme itu muncul de facto tidak hanya pada hal-hal prosedural-normatif dan pada rekam jejak individual pimpinan KPK baru, tetapi pada butir-butir konteks besar lainnya, bahwa:
- Kompetisi dan rivalitas KPK-Polri (diharapkan) akan berkurang (hilang) karena hadirnya jenderal wanita Basariah Panjaitan sebagai pimpinan KPK baru, wanita lagi.
- Nasib “tragis” dua Ketua KPK sebelumnya, Antashari Ashar maupun Abraham Samad, yang suka tidak suka, dalam catatan publik, menjadi korban kriminalisasi dari ‘fight back’ (tersangka-terindikasi) koruptor, atau siapa/lembaga manapun dalam wilayah untouchable.
- Masuknya RUU-KPK masuk dalam genda prolegnas DPR RI. Hal yang tentu, antara lain, membuat aktivis anti-korupsi berseru lantang kepada Presiden Jokowi untuk menyatakan sikap tegas, ‘setegas’ dan konsisten Johan Budi, misalnya, yang ‘tereliminasi’ dari pimpinan KPK, menolak RUU-KPK, karena tidak urgen.
- Kejadian atau tragedi hukum yang menimpa Novel Baswedan, penyidik KPK dari institusi Polri akan jadi “menggantung,” “semenggantungnya” nasib Antasari Azhar.
- Sinisme publik maupun terutama internal KPK, atas kepemimpinan Taufiqurahman Ruki, yang dinilai hanya sebuah anti-klimaks dan transisi harapan publik pada sebuah lembaga kredibel dan ‘tampil beda’ ketika negeri ini ‘disatroni’ orang/lembaga tak bertanggung-jawab, tanpa harapan akan ada wasit adil. Karena rendahnya percaya dan harap public pada lembaga yang bahkan dilindungi konstitusi.“
- Inkonsistensi PDI-P sebagai ruling-party pimpinan Megawati (yang melahirkan KPK, namun tampaknya, mulai berbeda sikap pada KPK). Poin publik kepada PDI-P, disangkal ataupun tidak, akan berkurang.
- Bagi sementara kalangan, tampaknya, KPK sekarang hanya sebuah badan ‘kompromi” antar lembaga, terutama antara lain membayar “kekeliruan” (Pemerintahan lama maupun Jokowi-JK) menangani positioning petinggi Polri pada kursinya, dan menurunkan tensi relasi KPK-Polri yang belum sepenuhnya pulih.
Sejumlah faktor ini dianggap berkontribusi pada ‘hasil akhir’ kepimpinan KPK yang baru.
Sinisme Emerson Yuntho, “"Para koruptor kan lebih senang dicegah daripada ditangkap," berarti banyak. Tapi, Sinisme ini mengingatkan kita akan kritik budayawan Mochtar Lubis, bahwa “Manusia Indonesia itu hanya merasa bersalah dan malu, jika ketahuan”. Selama tidak-ketahuan, manusia Indonesia itu tidak mengakui diri “koruptor”. “”Baru “malu” kalau ketahuan”.
Kalau mbah Mochtar Lubis masih hidup, Beliau akan mati serangan jantung, karena “tesisnya” itu bergeser, dalam bentuk superlatif. “Setelah ‘ditelanjangi’ di depan publik pun, “Mengaku “Tidak bersalah”. Malah, tampaknya ‘bangga’ jadi selebriti, trending-topic karena liputan media. Hmm.. catatan sinical ini semata sebagai kontrol publik, seperti dimintakan pimpinan KPK sendiri dalam ‘fit and proper test.
Akhirnya, lembaga KPK tetap menjadi sebuah harapan masyarakat atau tidak, waktu akan membuktikannya. Setidaknya, oleh sejumlah kalangan public tetap masih percaya pada profesionalisme dan independensi KPK, bila pesimisme public tidak menjadi sebuah kenyataan. Pemerintahan presiden Jokowi yang relatif dianggap sebuah good and clean governance kiranya, nyata dan hadir serta terimplementasi dalam ‘ruang’ pemberantasan’ (corruption eradication).
Dengan kata lain, setidaknya, pegiat anti-korupsi sulit memahami bahwa dalam pemerintahan presiden Jokowi yang (relatif) bersih, lembaga KPK-nya malah kembali menenggalamkan harapan publik, melebarnya inefisiensi, sekaligus ‘nasib buruk’ yang menimpa ‘pahlawan pembasmi korupsi’. Jika Presiden diam dengan diloloskannya RUU-KPK yang baru menjadi UU, dengan dalih untuk memperkuat KPK, publik memberi question-mark, quo Vadis KPK? Simpati untuk keluarga Novel Baswedan, Bambang Widjoyanto, keluarga Abraham Samad, dan tentunya keluarga Antasari Azhar. ***
*) Penulis, pengajar mata kuliah Etika dan Filsafat Hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H