[caption id="attachment_273067" align="aligncenter" width="244" caption="Ilustrasi: (sumber) News.Liputan.6.com"][/caption] Penasaran! Itulah perasaan masyarakat menunggu setiap tindakan institusi Polri dalam menangani kasus kematian manajer leasing mobil Franciesca Yofie alias Sisca Yofie di Bandung, Jawa Barat, awal Agustuts 2013 ini. Diselingi hari raya Kemerdekaan RI dan gugurnya dua kolega anggota kepolisian dalam medan tugas, berita ini terpaksa masih mendapat porsi catatan hukum. Saya terdorong memberi sepuluh 'titik-ingat' dari masyarakat, bukan sekedar menunjuk "kejanggalan" dan "pendapat ahli". Masyarakat dan institusi Polri serta Kompolnas untuk memberikan kontrol dalam mendorong profesionalisme institusi Polri sebagai pilar penegak Negara Hukum yang berkeadilan, dengan prinsip semua sama di depan hukum (egality before the law principe). Pertama, sejak kepolisian menyatakan telah menangkap pelaku "A" dan "W" di Desa Tanjungsari Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Minggu 11 Agustus 2013, masyarakat melihat keganjilan dimulai. Hal ini disebabkan lamanya waktu, dan pernyataan-pernyataan pihak penyidik. Dua, temuan baru di TKP (Tempat Kejadian Perkara) dan pengakuan pelaku jadi tidak relevan. Baik menyangkut pernyataan para pelaku, maupun pernyataan institusi penyidik. Tiga, Klaim tertangkapnya "W" dan "A" malah mendatangkan cibiran masyarakat, terkait sebuah proses fair dan akuntabel. Karena itu, setiap tahapan menghasilkan kejanggalan. Motif dari W dan A, sekedar merampok untuk mendapat harta korban, menjadi tidak seimbang dengan perlakuan atas jasad Siska. Kesaksian baru, bahwa Sisca terbiarkan di jalanan selama dua jam, semuanya mestinya diklarifikasi pihak penyidik (kepolisian). Tidak ada perampok dengan kesadisan berlebihan, bila tidak ada motif lainnya. Kalau benar kesaksian lain, bahwa Sisca dua jam dalam keadaan terlantar tanpa busana. Empat, pernyataan tersangka, seperti ditampilkan ke media, bahwa mereka adalah otak tindak pidana pembunuhan, juga menjadi janggal. Dalam perampokan, lebih banyak spontan, target adalah harta, bukan nyawa. Bahkan, nyawa kalau bisa dihindari. 'Otak pembunuhan' mengasumsikan perencanaan. Perampokan berencana, sekali lagi, harta diperoleh tanpa korban. Lima, pernyataan bahwa, mereka tidak ada kaitan dengan kepolisian (?), mungkin maksudnya oknum kepolisian, mungkin redaksi yang kemudian menyusul ke media. Tetapi, pertanyaannya, untuk apa pernyataan seperti itu ditampilkan? Apa sekedar "memutus rantai" kemungkinan keterlibatan oknum kepolisian? Keenam, Penyidik kepolisian melakukan 'kekeliruan' dengan mengumumkan penggunaan 'lie detector'. Kapan 'lie detector' tidak perlu digunakan? Penggunaan perangkat pendukung (komplementer) hanya bersifat mendalami. Dalam kasus Sisca, lie detector dapat menjadi alat pembohongan yang lain. Ketujuh, kita mengapresiasi terlibatnya Propam institusi Polri. Tetapi, kita ingin jelas, bahwa Komite Etik kepolisian tidak berhenti dalam memberikan sanksi indisipliner kepada Kompol Albertus, yang menjalin hubungan dengan almarhumah. Apalagi, bagi masyarakat, kejanggalan kasus yang justeru muncul dalam tahap penyelidikan dan penyidikan meninggalkan tanggung-jawab (onus probandi) justeru sekarang di pundak kepolisian sebagai institusi. 'Onus Probandi' (Latin, artinya, beban pembuktian) dalam istilah filosofi hukum (pidana) yang jarang terdapat dalam literatur Indonesia yang berlatar-belakang bahasa Belanda atau Arab. Tidak berlebihan, saya berharap Wakapolri baru Komjen Oegroseno mendorong profesionalisme kepolisian. Delapan, keterangan kriminolog UI Adrianus Meliala beberapa hari lalu di media, bahwa apabila polisi dapat membuktikan keterlibatan Kompol A, Beliau segera harus dinyatakan clean (bebas dari dugaan awal). Saya berharap, bahwa pernyataan ini sebuah pernyataan bersisi-ganda. Artinya, beban pembuktian terhadap Kompol A sendiri harus kuat, transparan dan terbuka. Dinyatakan bersih atau tidak, tetap dalam proses fair dan akuntabel. Sembilan, alibi Kompol A dalam memberikan kekuatan pembuktian dirinya tidak berada dalam tindak pidana sangat 'kuat'. Tetapi, menempatkan posisi di hotel untuk memperkuat sebuah 'alibi', dapat berarti sebaliknya, bila sejumlah kesaksian yang janggal justeru menempatkan alibi sebagai terpolakan. Sepuluh, seperti pernyataan mantan Ketua MK Mahfud MD, bahwa Beliau khawatirkan kasus Siska mengalami akan berlangsung seperti kasus "Kematian Nazarudin" Direktur PT Rajawali, yang menghantar mantan Ketua KPK Antasari Azhar ke proses pro-justitia yang tidak justice, dan tidak fair karena itu kontroversial. Pernyataan Mahfud itu memberi pesan jelas kepada kepolisian, bahwa masyarakat akan terus mengawal kasus ini sampai Polisi melakukan profesionalisme secara terbuka dan transparan. Kepolisian tidak perlu mengorbankan institusi, bila ada anggotanya terlibat. Terlalu mahal. Jangan membuat institusi kepolisian harus ditertawakan. Sederhananya, jangan buat kami (masyarakat) tertawa. Padahal, ini bukan komedi. Tragedi hukum, yang kita berharap tidak berulang. *) Penulis, praktisi Hukum, dosen Filsafat Negara President University, Jababeka, Bekasi, Jawa Barat Baca juga: Hormat Jenderal Oegroseno!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H