Tanggal 13 Mei 1998, saya melewati depan Kampus Tarumanegara dan Trisakti dengan bis dari Cikokol, Tangerang, menuju terminal Grogol. Situasi penembakan sehari sebelumnya dan keadaan mencekam sekitar jam 9.00 pagi itu, amat terasa.
Sinar pagi yang menembus kota Jakarta, hanya berubah dalam hitungan menit. Karena, setelah sedang berada di kompleks ITC Roxi Mas, Jakarta Pusat, kendaraan ke arah Grogol tidak lagi kelihatan. Setelah menyelesaikan urusan di BNI cabang Roxi Mas, saya melanjutkan perjalanan menuju Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat.
Reaksi dunia internasional terhadap situasi Jakarta berubah setiap jam, bahkan menit, jelas dalam transaksi penjualan saham dan mata uang rupiah yang terjungkal menggelepar. Sekitar jam 12 siang saya mendapat SMS, bahwa kurs rupiah terhadap dollar, telah anjlok drastis. Dari beli (buying rate) dengan Rp 7.300/ 1 USD, terjun bebas malam harinya dan menyentuh angka Rp. 16.000/1 U$. Di bandara Soekarno-Hatta pada malam itu dan keesokan harinya, Anda dapat menukar U$ 5000 (kurs terdalam Rp 16.000/ 1 USD atau Rp.80 juta) dengan surat lengkap mobil termewah di Jakarta.
Asap membumbung di areal wilayah Trisakti, Terminal Grogol dan kemudian sejumlah wilayah lain di Jakarta yang terbakar selama dua hari. Untuk kembali ke Tangerang, pada hari pertama ‘bumi-hangus’ kota Jakarta itu, saya harus menunggu di Blok M, hingga sore hari dan kemudian menggunakan taksi mempercepat waktu tempuh mencapai perumahan Mahkota Mas, Cikokol, Tangerang, karena Jakarta lumpuh total.
Ramai-ramai bersama warga perumahan Mahkota Mas, kami menjaga kompleks. Penjarahan di mal dan swalayan terjadi seputar tempat tinggal kami. Ada yang dibakar sebelum atau setelah dijarah. Kompleks Diamond (sekarang Carrefour) di Cikokol sudah disulut api dan bensin, tapi sikap sigap satpam menghindari terjadinya kebakaran bangunan tersebut.
Di seputar Tangerang, sejumlah warga keturunan - bukan hanya yang dijuluki Ciben (Cina-Benteng) ikut dalam penjarahan, pada hari ke-2 kerusuhan atau tanggal 15 Mei. Tetangga yang berjilbab memberitahu, kalau mobil puteranya ikut terbakar di lahan parkir Citraland. Dalam aksi jarah di kompleks, satu yang tak pernah terlupakan, seorang pria berusia di atas 60-an, berkopiah dan kain sarung, meneriakkan kepada puteranya yang sedang ikut membawa barang jarahan: “Astargirullah alazim. Hai, buang barang-barang haram itu. Kau masuk neraka nanti!”
Ayah mertua saya, warga keturunan insiyur kimia dari ITB – yang kagum pada Soekarno seniornya , senantiasa bergantian membaca harian The Jakarta Post dan Kompas pada hari-hari yang memalukan itu. Asmanya senantiasa kumat. Kami berdiskusi dan menyadari akan hari-hari akan jatuhnya Soeharto, yang akan pada tanggal 21 Mei 1998. Kurang dari sebulan setelah turunnya Soeharto, tepatnya tanggal 18 Juni, mantu dari kerabat keraton keluarga Ibu Kartini itu pun meninggal dalam kenangan buruk tragedi Mei.
Siapa yang paling bertanggung-jawab pada Tragedi Mei 1998? Menurut Konstitusi UUD 1945, Presiden Soeharto paling bertanggung-jawab, sebagai Panglima Tertinggi ABRI, ketika itu. Soeharto dan Keluarga Cendana kemudian ikut dalam memberi hukuman tanpa hukum atas Prabowo, bagian dari keluarga Cendana sendiri. Jenderal Prabowo diturunkan darai jabatannya sebagai Pankostrad dan dipecat tidak dengan hormat oleh Wiranto, Panglima ABRI.
Ketika kembali ke Tanah Air tahun 2000, pada saat adanya sinyalemen ‘de-Wiranto-nisasi’, Prabowo yang menganggap dirinya telah diperlakukan tidak adil oleh Wiranto, mengatakan, Wiranto telah dengan sengaja meninggalkan dirinya di Jakarta untuk melemparkan semua tanggung-jawab kepada dirinya. "Delapan kali saya menelepon kantornya (Wiranto), delapan kali pula saya mendapat jawaban, the show must go on, pertunjukkan harus dilanjutkan," ungkap Prabowo dalam sebuah pembelaan ataupun klarifikasi perannya dalam kerusuhan Mei.
Meski saya ingin tetap menjaga jarak dan ruang obyektif dengan sejarah, subyektivisme ruang subyektivisme saya, adalah Prabowo, jika bersalah sekalipun, telah menerima segala hukumannya, maka secara sosial dan hukum, patutu menerima kembali hak-hak politiknya. Wiranto, misalnya, tidak pernah mendapat sanksi apa pun, kecuali satu-satunya yang saya ingat, “kepalanya kejedut di bis ketika sebagai Menteri Pertahanan, ikut menghantar Wapres ketika itu Megawati Soekarnoputri tahun 2000 ke Tual, Maluku. Kalau ingat kejadian kecil itu, saya lanjut katakan, keyakinan mistik-magis negeri itu menegur Jenderal Wiranto. Believe it or not.
Sekali lagi, Prabowo telah menerima sanksi terburuk sebagai seorang Jenderal. Sekarang, Prabowo ber aksi politik positif untuk Indonesia ke depan, ketika mencalonkan Ahok Basoeki sebagai Cawagub DKI, sementara dia, Prabowo sendiri sedang mencalonkan dirinya sebagai Capres 2014. Seperti ayah-mertua yang keturunan tapi nasionalis tulen mencintai Indonesia sebagai tempat berpijak, Ahok dipercayakan Prabowo dan Partai Gerindera.
Ini ruang subyektif saya, yang akan saya katakan sambil menonton bola dengan para Jackmania, atau sambil berdiskusi dengan mantan juru bicara Presiden Gus Dur, Wimar Witoelar. Tentang Tragedi Mei, ruang subyektivisme politik-hukum dan pertimbangan etika publik saya positif hanya kepada Prabowo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H