Mohon tunggu...
Berthy B Rahawarin
Berthy B Rahawarin Mohon Tunggu... Dosen -

berthy b rahawarin, aktivis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Vonis Publik, Ketika (Pemilik) Media Berpolitik...

10 November 2011   05:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:51 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketika acara hiburan “Empat Mata” yang dipopulerkan Tukul Arwana lewat sebuah TV swasta menjadi ramai dibahas, diberi sanksi KPI dan berubah nama menjadi “Bukan Empat Mata”, saya menilai berlebihan tindakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk acara hiburan kreatif itu. Dalam kasus “Empat Mata”, kami menganggap KPI tidak proprorsional melakukan sebuah intervensi hingga sanksi tayang. Tetapi, ketika sejumlah media yang mestinya mendapat sanksi terbuka dan diumumkan ke publik, KPI malah seolah menunggu laporan publik menumpuk.

Fenomena media berpolitik bukan hal baru. Dalam pengertiannya yang luas, media menyuarakan kepentingan publik lintas kepentingan kelompok dan golongan. Bahkan karena perannya yang istimewa, media berdiri di tengah (Latin, medium=tengah) semua suara berbeda di tengah masyarakat dimediasikan menjadi refleksi kritis yang baru dan dapat mengedukasi masyarakat memiliki pilihan pemerdekaan diri.

Sayangnya, peran Komisi Penyiaran Indonesia belum maksimal di tengah tumpang-tindih kepentingan pribadi media dan pemiliknya dalam aspek-aspek penting, seperti pewartaan (berita) diri dan kelompok politik media, termasuk penyiaran dan pemberitaan yang melanggar prinsip-prinsip fundamental pemberitaan seperti perimbangan pendapat, hingga bila perlu yang berseberangan dengan suara pemilik media.

Berpolitiknya pemilik media sudah sewajarnya menuntut  tanggung-jawab lebih tinggi dan lebih besar, asas-asas prinsipil dalam konten hingga pembingkaian  (framing), agar jelas bagi pemirsa atau pembaca, mana yang murni berita (fakta-data) dan dibedakan dari pendapat atau opini. Fenomena bergabung grup media Harry Tanoe hanya formalisasi bentuk kerja sama secara terbuka.

Konflik kepentingan Surya Paloh dan Aburizal Bakrie sebagai pemilik media televisi, sudah bukan rahasia umum. Kedua pemilik dan persaingan dalam pemberitaan mempertahankan pendapat atau menyerang saingannya, semestinya mendapat sanksi terbuka dari KPI. Tetapi, kita tidak mengerti, mengapa tidak memberi sanksi yang harus diumumkan kepada publik.

Masyarakat bahkan berhak secara apriori menolak berita-berita yang disiarkan. Apalagi isi siaran yang menjadi pendapat dengan blunder interese pemilik media. KPI dapat menjadi patron class-action boikot pemberitaan media yang miring, jika ingin dianggap sebagai komisioner penyiaran yang independen dan kredibel.

Dalam konflik kepentingan media dan pemiliknya, kejahatan pembohongan publik sebenarnya pernah, sedang dan terus terjadi. Tidak etis untuk menyebut media dan pemilik persis yang telah melaksanakannya. Tetapi, kejahatan pembentukan opini sesat publik bahkan menyusup ke Senayan, di mana Pemilik dan media, serta ‘juru bicara’-nya Senayan,  suka tidak suka, diterima atau ditolak, sulit melepaskan diri dari kerangkeng dan bingkai pemilik media yang terkontaminasi kepentingan privat.

Menunggu Peluit Wasit Media, KPI

Di sebuah TV swasta, bukan TV One atau Metro TV, pagi ini (10 November), komisioner Penyiaran Indonesia Ezky Suyanto secara normatif menyatakan sikapnya untuk kasus-kasus media ini. Sikap normatif KPI untuk hal substasial memang lama meminggirkan peran KPI, termasuk dalam acara hiburan kreatif yang saya sukai, karena Tukul yang kreatif, acara “Dua Mata”, eh bukan, “Bukan Empat Mata”.

Tetapi, saya miris melihat sahabat yang jarang bertemu Indra J.  Piliang, dari Fraksi Golkar, bicara media dan kepentingan.  Saya masih mengapresiasi sikap normatif  Indra Piliang. Tetapi, sesama rekannya dalam Fraksi Golkar Bambang Soesatyo, cukup ‘nyaman’ dalam penggiringan pendapat publik (yang tidak kritis). Sikap kritis masyarakat hanya soal munculnya “dissenting opinion” dalam sebuah media lain.

Beberapa media, termasuk TV One nyaris seharian pada hari Rabu kemarin (9/11), ikut dalam blunder  pembelokan sosialisasi potensi resesi ekonomi di Asia, duta Bank Dunia Sri Mulyani Indrawati, dibelokkan secara subyektif, seolah melawan pemilik media yang lain. Jelas, tidak ada berita berimbang, kecuali di sejumlah media, khususnya media on-line Presiden SBY menolak pembicaraan dirinya dengan Sri Mulyani perihal Kasus Century.

Masyarakat berhak makin kritis, juga ketika kriminalisasi lewat media terhadap pribadi menjadi tidak terhindarkan. Trial by the press sepertinya masih jauh dari jangkauan tugas kreatif dan pro-aktif KPI untuk memberikan sanksi, bahkan hukum pidana umum. Penonton atau pembaca media (cetak elektronik) secara kritis dan kreatif, sedang menjadi arus nyata vonis masyarakat atas “media yang miring”, seperti diungkap komisioner Penyiaran Elzy, ketika melakukan kontrol dan memilih media yang menjaga idealisme profesi.

Media sah-sah saja turut berpolitik secara positif dan obyektif dalam pengertiannya yang luas. Tetapi ketika pemiliknya ikut berpolitik, media dan pemiliknya tidak lebih dari sebuah papan iklan promosi komersial diri. Kriminalisasi rivalnya adalah puncaknya. Sayang (atau untungnya), lawannya tidak memiliki media. Sasaran masyarakat kepada pemilik media dan jaringannya, cepat atau lambat, akan (tepatnya, sudah dan sedang) mendapat vonis publik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun