[caption id="" align="aligncenter" width="614" caption="Karikatur Hukum dan Politik (GM Sudharta)"][/caption] Mari melawan lupa! Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), Kemenkum HAM, serta Kejaksaan perlu mempertimbangkan upaya eksaminasi atas kasus hukum Antasari Azhar. Antasari Azhar, mantan Ketua Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), harus dibela. Bagi banyak pengamat (hukum), kasus hukum Antasari Azhar adalah salah satu yang paling kontroversial dalam negara di mana (konon) hukum sebagai panglima. Antasari dituduh melakukan pembunuhan berencana (KUHP 340) namun dijatuhi vonis 18 tahun penjara, ketika kekuasaan presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Mantan Ketua KPK ini memang dijatuhi vonis 18 tahun penjara. Lebih rendah ketimbang tuntutan pidana mati dari penuntut umum. Antasari dihukum bersama Jerry Hermawan Lo yang diganjar 5 tahun penjara, Sigid Haryo Wibisiono diganjar 15 tahun penjara, dan Wiliardi Wizard diganjar 12 tahun penjara. Padahal, kecuali Jerry, terdakwa lainnya juga dituntut hukuman mati.
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan Antasari terbukti secara sah dan meyakinkan turut serta melakukan pembunuhan berencana terhadap bos PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnain pada 14 Maret 2009. Majelis hakim yang dipimpin Herry Swantoro memaparkan hal-hal yang memberatkan adalah adalah perbuatan terdakwa mengakibatkan hilangnya ayah serta suami dari anak dan istri korban.
Majelis hakim juga menganggap perbuatan Antasari tidak pantas dilakukan oleh terdakwa yang notabene berprofesi sebagai penegak hukum. Sementara, untuk hal yang meringankan, Antasari berperilaku sopan dalam persidangan, belum pernah dihukum dan berjasa dalam penegakan hukum, khususnya pemberantasan tndak pidana korupsi.
Majelis hakim berpendapat unsur sebagaimana dakwaan Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 55 ayat (1) ke-2 jo Pasal 340 KUH-Pidana telah terpenuhi. Unsur melakukan atau turut serta melakukan, misalnya, Antasari dianggap berperan dalam merencanakan pembunuhan Nasrudin. Majelis hakim bahkan melihat ada kerja sama yang erat antara Antasari dengan para terdakwa lainnya.
Pelbagai kejanggalan dalam kasus Antasari yang dicatat masyarakat, seperti 10 Kejanggalan Kasus Antasari (Kompas.com 26/4/2011) atau Sembilan Kejanggalan Kasus Antasari Azhar (KabarIndonesia 4/1/2011), dan pelbagai sumber lainnya menjadi bahan masukan Komnas HAM.
Kasus Antasari: Komnas HAM Lama, Presiden Baru "Quo res cumque cadunt, semper linea recta stat", apa pun yang terjadi, tetaplah berdiri di garis lurus. Ini peringatan praktisi hukum Romawi yang mengingatkan kita akan pelbagai hal yang lalu-lalang dalam sebuah ranah hukum. Masyarakat harus tetap kritis dan perduli, mana yang penting untuk perbaikan hukum secara mendasar dan terkait kepentingan masyarakat, juga yang menyangkut pelanggaran-pelanggaran serius seperti menghukum mereka yang belum tentu bersalah, namun telah dilindas roda kepentingan politik dan diperparah ingatan pendek masyarakat. Pada hemat saya, kalau harus memprioritaskan kasus-kasus hukum paling penting dan menonjol di Indonesia sekarang, dimana hukum digunakan sebagai alat penindas hak-hak paling fundamental, sudah sewajarnya harus didorong secepatnya. Betapa pun penting untuk membentuk sebuah Panja Pajak ataupun meminta Megawati menjadi saksi 'a decharge' (meringankan) bagi politisi PDIP atau mantan PDIP, penegakan hukum Indonesia pada hari-hari ini dicibir oleh karena membiarkan salah satu kasus paling kontroversial Antasari Azhar yang dibiarkan terkatung-katung untuk menanti PK Mahkamah Agung. Komnas HAM pernah menyatakan segera melakukan ekseminasi atas Kasus Antasari, namun suara itu kemudian tampak sirna. Harap saya keliru mengatakan itu. Tetapi jika benar ada niatan untuk menunda-nunda ataupun malah mendiiamkan Kasus Antasari, Komnas HAM dianggap telah ikut membiarkan dihukumnya orang yang "belum tentu bersalah". Dengan pernyataan Komnas HAM melakukan ekseminasi, masyarakat melihat cahaya yang muncul dalam pembelaan hak-hak hukum Antasari. Saya tetap bersikap positif bahwa Komnas HAM komit pada pernyataannya untuk melakukan eksaminasi. Namun, hati kecil saya khawatir, jangan-jangan Komnas HAM termakan pernyataan pejabar Kejaksaan Agung yang menyatakan bahwa kasus Antasari tidak perlu dilakukan eksaminasi. "Kasus Antasari tidak perlu dieksaminasi. Komnas HAM mau mengeksaminasi apa?" Jawabannya singkat: karena Kejaksaan Agung ketika itu telah menjadi bagian dari masalah, setidaknya pemberitaan dugaan adanya rekayasa oleh Jaksa Cirus Sinaga, dugaan mana diperkuat oleh pelbagai kejanggalan hukum, termasuk yang dilakukan jaksa Cirus. Komnas HAM tidak boleh membiarkan diri dianggap bekerja dengan semangat "panas-panas tahi ayam", menggelora dan semangat, dan mendadak dingin dan melempem, dan tidak pernah lagi muncul. Masyarakat masih tetap bersuara dan berharap Komnas HAM dan LPSK segera melindungi Antasari Azhar, karena diduga telah menjadi bagian dari rekayasa hukum. Institusi dan Ketua KPK (pengganti) Busyro Muqodas kiranya akan mendapat perhatian dan apresiasi masyarakat bila ikut mendorong sebuah ekseminasi atau pembelaan terhadap Antasari Azhar. Betapapun ada banyak peristiwa hukum penting, pada hemat saya yang terpenting saat ini adalah harus ada indikasi dan tindakan nyata bersama bahwa Antasari Azhar memang harus dan segera dibela. Dalam pemerintahan baru, Antasari sempat memikirkan pengajuan grasi kepada Presiden Jokowi, namun mantan Jaksa ini sempat melakukan upaya lain dengan melaporkan institusi Polri untuk kasusnya. Jelasnya, Antasari tidak mungkin hanya berupaya dari dirinya sendiri. Sekarang, diharapkan dengan Jaksa Agung yang baru HM Prasetyo dan jajarannya, dengan rekomendasi Komnas HAM, upaya eksaminasi harus dilakukan dalam kasus Antasari. Pemerintahan baru di bawah Presiden Joko Jokowi Widodo sepantasnya, justeru tidak harus mengintervensi hukum, berhak mendorong aparat penegak hukum untuk menuntaskan pelbagai kasus hukum kontroversial, di mana adanya dugaan kesulitan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menuntaskannya, entah atas alasan apa. Meski, SBY berkali menyatakan "Hukum adalah panglima"! Dalam implementasi, political interest mengalahkan dan tampak menghalalkan segalanya, sinisme kepada para machiavellianis.***) *) Penulis, pengamat hukum (pidana)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H