Di kota Jakarta yang penuh hiruk pikuk dan ketidakacuhan ini. Adakah yang masih percaya kalau ada yang meminjamkan handphone-nya pada ornag yang baru dikenal? Mungkin kalau kita termasuk orang yang pintar menilai dari penampilan luar atau kita dapat menebak pikiran orang tersebut, kita akan langsung bisa percaya. Aku termasuk orang yang tidak bisa menilai seseorang secara sekilas. Aku adalah orang yang berpikir dengan logis dan penuh pertimbangan. Tapi terkadang.
Suatu hari aku pulang dari tempat kerja. Aku naik busway. Sekitar jam 5, aku sampai di pemberhentian pertama. Di halte Grogol, dari arah Lebak Bulus. Aku berjalan menuju tempat transit. Tiba-tiba ada seorang remaja perempuan. Umurnya sekitar belasan sampai dua puluh tahun. Seperti anak remaja pada umumnya. Potongan rambut biasa. Dandanan biasa. Dia tidak berpenampilan mencolok. Memakai kaos lengan panjang dan celana jeans. Persis seperti anak SMA yang sedang janjian dengan temannya untuk jalan-jalan. Dia menghampiriku dan bertanya, "" Mbak, bisa pinjam Hape-nya gk? Aku mau menelpon temenku. Tadi aku naik busway tapi terus waktu aku turun, dia masih di bus."". Dia berbicara tergesa-gesa. Aku memandangnya dengan tatapan curiga. Lalu aku bertanya sambil berusaha memastikan, Aku memastikan apakah temannya itu tertinggal, atau dia yang meninggalkan. Aku tanya apakah temannya tahu kalau dia turun di halte Grogol. Dia melihatku yang curiga, lalu berkata, "Aku gak bohong, Mbak". Dengan ucapan itu aku tersentak. Dengan cara apalagi aku harus mempercayai seseorang, sampai orang itu berkata "tidak bohong"? Aku tidak bertanya apa-apa lagi.
Aku keluarkan hapeku. Aku mulai mematikan earphone-ku. "Aduh, aku lupa! Aku kan gak punya pulsa hape!". Aku menawarkan apa bisa menghubungi temannya itu dengan Wassap. Dia mulai kebingunan. Dia meminta aku mencoba SMS temannya. Puji Tuhan, aku masih punya sisa pulsa 250 perak. Aku bisa mengirim satu SMS. Aku bertanya berapa nomer handphonenya. Lalu aku berikan handphone-ku padanya untuk mengetik. Dengan cepat aku berpikir. Setidaknya jika dia lari membawa handphone-ku, dia tidak bisa lari ke mana-mana. Karena dia berada di tengah-tengah lorong transit yang banyak orangnya. Entah kenapa dia memberikan handphone-ku lagi untuk aku mengetik. Mungkin karena dia tergesa-gesa, jadi dia tidak bisa mengetik dengan lancar. Setelah aku mengetik pesannya, aku kirim ke nomer yang diberikannya.
Beberapa saat kita menunggu, tapi tidak ada balasan dari temannya. Kemudian aku berkata, "Kalau temanmu sadar kamu turun di halte ini, dia pasti akan ambil jalur yang berlawanan terus kembali ke tempat di mana kamu turun.". Sambil menunggu balasan aku bertanya kembali, "Memangnya kamu baru pertama kali ya naik trans ke daerah sini?" Jawabnya, "Iya....baru, belum begitu ngerti, Mbak". Kira- kira jawabannya seperti itu. Karena tidak ada jawaban dari temannya. Dia menjadi lebih khawatir. Niat baikku benar-benar muncul sampai-sampai aku berinisiatif untuk membeli pulsa handphone yang ada di halte itu. Kataku, "Oh, ya. Ada yang jual pulsa dekat sana. Aku beli dulu, ya." katanya, "Mbak beli, aku tunggu di sini, ya". Pikirku janganlah kau tinggalkan aku, dek. nanti waktu aku beli handphone dan kamu sudah menghilang bertemu temanmu, nanti sia-sia aku beli pulsa. hahaha..Aku mengajaknya bersamaku membeli pulsa handphone. Mungkin dia berpikir untuk menunggu di tempat semula karena ,aku bilang sebelumnya kalau temannya sadar, dia turun di halte terakhir, dia akan kembali. Tapi aku tidak mau pulsa yang aku beli sia-sia. Jadi aku mengajaknya, sambil aku bilang kalau akan kembali ketempat semula.
Setelah membeli pulsa (10.000 rupiah). Awalnya sih mau 5000 saja, tapi karena dia bilang beli yang 10.000, aku beli yang 10.000. Dalam hati aku berharap dia yang membayar. haha... Tapi niat baik tidak boleh setengah-setengah. Aku juga berpikir ingin beli pulsa handphone karena memang akan berguna sewaktu-waktu. Lalu, aku mulai menelepon temannya. Lalu memberikan handphone-ku untuk dia pakai. Setidaknya aku berusaha untuk tidak memalingkan pandanganku darinya. Dasar! Sifatku yang tidak bisa percaya begitu saja pada orang lain muncul. Aku takut dia mengambil handphone-ku dan lari. Padahal itu tidak mungkin karena dia tidak bisa lari dari halte trans yang banyak orangnya. "Halo, kamu di mana sekarang?" katanya, "oh, ya..". Dia memberikan handphone-ku kembali sambil berkata, "dia sudah di Tri Sakti, Mbak." Dia berjalan menuju tempat keluar, dan aku berjalan menuju halte transitku. END
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H