Pradigma kolot bahwa anak perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi memang sudah bergeser membaik perlahan seiring massifnya sosialisasi pendidikan melalui berbagai sarana. tapi sisa-sisa pola fikir diskriminatif itu masih lumayan marak. Masih ada anak perempuan harus diamputasi semangat pendidikannya gara-gara terlahir sebagai perempuan. Masih ada. Bahkan masih sangat banyak.
Prospek perempuan pada akhirnya hanyalah dapur serta seisinya sehingga yang terpenting adalah kemampuan memasak, nyuci, dan melayani suami dengan baik. Masalah pendidikan, yang penting sudah tau cara mengatasi persoalan-persoalan ritualistik kewanitaan. Begitu kira-kira kesimpulan dari pemaparan ibu-ibu bahkan bapak-bapak orang tua perempuan Desa. Begitu kokohnya bangunan memikiran kolot ini, berdiri tegak bersama keangkuhan adat sosial.
Yang begini ini masih terjadi di beberapa masyarakat pedesaan Madura. Atau mungkin ratapan yang sama juga dirasakan oleh perempuan-perempuan lain diluar sana. Bagi perempuan yang menjadi korban keangkuhan kultur diatas, terlahir sebagai perempuan adalah takdir ketidakberuntungan.
Semoga ada solusi bagi usaha-usaha lahir batin anak perempuan yang kurang beruntung ini dalam melanjutkan pendidikannya. Atau minimal ditakdirkan menjadi pribadi-pribadi yang tabah terlahir sebagai anak yang tidak leluasa mengenyam bangku pendidikan sesuai cita-citanya.
Semoga pentingnya pendidikan perempuan sebesar mungkin dapat disadari oleh semua masyarakat, tidak hanya oleh masyarakat Madani. Mengingat, perempuan adalah pendidikan pertama anak, rumah istrahat bagi suami, dan tiang-tiang peradaban sosiokultural yang madani, sejuk, dan penuh Rahmat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H