Melihat reaksi publik di lini massa media sosial terkait dugaan korupsi bansos yang dilakukan Menteri Sosial yang sekaligus Wabendum PDIP Juliari Batubara sangat beragam. Ada yang menyindir kader partai berkuasa ini dengan sarkas, tapi sebagian besar reaksi publik di jagad maya justru meneriakinya dengan panggilan "MALING".
Jika merujuk penggunaan bahasa, kata maling biasanya dilekatkan pada orang (kecil) yang mengambil milik orang lain secara sembunyi-sembunyi. Sementara itu, kata koruptor berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) mempunyai arti menyelewengkan (menggelapkan) uang negara.
Dari defenisi kejahatan, tentunya koruptor mempunyai skala yang lebih besar dibandingkan maling. Tapi dalam realita kehidupan, maling justru lebih "dihinakan". Tak jarang, seorang maling harus membayar perilakunya dengan nyawa karena dipukul atau pun dibakar massa.
Banyak diantara pelaku 'main tangan' terhadap maling tak pernah menanyakan motif pencurian yang dilakukan. Apakah karena dia memang seorang resedifis, atau hanya karena tak punya jalan berpikir lain untuk memenuhi kebutuhan dapur yang mendesak?
Sedangkan koruptor, meski merugikan negara (rakyat), mereka masih bisa tersenyum di depan kemerlap lampu kamera wartawan. Dalam proses hukum yang berjalan pun, publik sering disuguhkan dengan tontonan para koruptor mendapatkan "perlakuan istimewa". Ada yang kamar tahanannya didesain senyaman hotel bintang lima, ada koruptor yang bisa bebas keluar masuk penjara dengan pengawalan oknum sipir penjara, dan banyak tontonan lainnya.
Dari segi hukuman, seorang maling ayam yang terbebas dari "amuk tangan massa" bisa terancam 5 tahun penjara. Sedangkan untuk pelaku korupsi, berdasarkan temuan Indonesia Corruption Watch (ICW), selama Januari-Juni 2020, rata-rata vonis yang dijatuhkan kepada terdakwa kasus korupsi di berbagai tingkatan pengadilan hanya berkisar 3 tahun penjara.
Atas dasar ketimpangan beban hukuman dan stigma yang melekat di masyarakat, publik tak ingin lagi memanggil pencuri uang rakyat dengan kata "koruptor". Publik yang geram ingin menempelkan stigma "MALING" agar pelaku pencuri uang rakyat bisa merasakan kehinaan atas perilakunya.
Selain itu, pelekatan kata "MALING" pada kader PDIP yang diduga mengutip dana bansos ini bisa juga dilihat sebagai reaksi kekecewaan publik pada Komisi Pemeberantasan Korupsi (KPK) yang tak berani menetapkan pasal hukuman mati pada Juliari. Kader PDIP ini hanya dikenakan pasal "suap" oleh KPK. Padahal sebelumnya, untuk meyakinkan publik dengan kepemimpinan KPK yang baru, Ketua KPK Firli Bahuri pernah memberi peringatan keras bagi pelaku korupsi dana bencana dengan hukuman mati.
Penting bagi KPK menangkap kekecewaan publik ini. Setelah kata "MALING", jangan sampai rakyat justru main hakim sendiri pada pelaku korupsi sebagai bentuk kegeramannya. Oleh sebab itu, penting keadilan ditegakkan. Tidak hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas.
Terlepas dari kasus "pengutipan" dana bansos oleh elite PDIP tersebut, korupsi memang menjadi pekerjaan rumah yang terus menggelayuti republik ini. Dari rilis lembaga pemantau indeks korupsi global, Transparency International (TI) yang bertajuk 'Global Corruption Barometer-Asia', Indonesia masuk menjadi negara nomor tiga paling korup di Asia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H