Lagi, lagi, dan lagi kader PDIP menjadi aktor perilaku koruptif yang menghebohkan negeri. Tidak tanggung-tanggung, partai penguasa ini berani lancung menyogok Komisioner KPU. Dampak yang ditimbulkan, kredibilitas Pemilu 2019 pun kini ramai dipertanyakan publik.
Dari berita yang ramai diperbincangkan, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto juga ikut bermain di air keruh ini. Jejaknya tercium dari stafnya yang ikut diciduk KPK bersama Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Babak baru drama PDIP pun dimulai. Jika dulu ada Hasto yang 'mewek' di depan awak media ketika nama Puan Maharani disebut-sebut dalam persidangan E-KTP, kini wajah sangar Masinton Pasaribu yang dipasang sebagai upaya perlawanan.
Pernyataan tendensius dilemparkan anggota Komisi III DPR RI ini kepada KPK. Dia menyebut OTT dan upaya KPK merangsek masuk ke gedung DPP PDIP sarat dengan motif politik. Bagi orang-orang waras, tentunya pernyataan Masinton ini tidak berdasar dan hanya 'lempar batu sembunyi tangan'.
Jika kita baca perjalanan kasus ini, sudah barang tentu kasus ini jauh dari kata 'motif politik'. Alasannya jelas, perjalanan kasus ini panjang, sejak Juli 2019 ditambah OTT KPK tidak membuat kasus ini ujug-ujug muncul kepermukaan. Jadi alibi 'kasus titipan' sangat tidak tepat dan menyesatkan.
Getolnya PDIP mendorong Harun Masiku menjadi anggota dewan tentunya menjadi dasar awal bagi KPK untuk menyorot kasus ini. Jika dilihat dari kronolgisnya, semua orang waras pasti menilai bahwa ada persekutuan jahat di dalamnya.
Harun Masiku dalam Pileg 2019 bisa dikatakan peraih suara terkecil PDIP di Dapil Sumsel I, sebesar 5.878 suara. Suara terbanyak diraih oleh Nazarudin Kiemas (145.752), Riezky Aprilia (44.402), Darmadi Jufri (26.103), Doddy J (19.776), dan Diah Okta Sari (13.310). Akan tetapi, karena Nazarudin Kiemas meninggal dunia, limpahan dari suaranya diperebutkan.
Anehnya, yang berebut bukannya pemenang kedua atau ketiga. Harun yang perolehan suaranya 7 kali lipat di bawah pemenang kedua, Riezky Aprilia, juga ikut ngotot atas suara itu. Aneh bin ajaibnya lagi, DPP PDIP juga menghendaki hal yang sama, menghendaki Harun yang menempati kursi dewan.
Meskipun sudah dibawa ke tingkat Mahkamah Agung (MA), keputusan KPU menyatakan Riezky Aprilia sebagai peraih suara nomor dua terbanyak yang maju ke Senayan. Tapi ternyata keputusan KPU tidak membuat mereka yang berebut kursi dewan itu berhenti melakukan tipu muslihat. DPP PDIP dipengaruhi, dugaan sejumlah uang pun digelontorkan, dan penggantian antar waktu (PAW) pun menjadi siasat berikutnya. Di saat inilah akhir semua perjalanan itu. Kongkalingkong demi kursi kekuasaan berakhir dengan OTT KPK.
Dari rangkaian panjang sejak Juli 2019 hingga Januari 2020, sangat zalim Masinton menuduh KPK ditunggangi oleh kepentingan politik. Jika saya diberi amanah sebagai penjaga uang rakyat, saya akan berlaku sama dengan yang dilakukan KPK. Saya akan melihat, mengamati, dan memantau gerak-gerik dari kengototan PDIP mendorong Harun menjadi anggota dewan.
Sebagai partai berkuasa, tak elok PDIP membuat framing negatif kepada penjaga moral pejabat publik atau KPK. Jika memang ada kader yang terlibat, biarkan hukum bekerja tanpa dipasung. Jika setiap kader yang terlibat kasus dan PDIP drama terus, bisa-bisa partai ini berubah nama menjadi Partai 'Drama' Indonesia Perjuangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H