Mohon tunggu...
Berry Budiman
Berry Budiman Mohon Tunggu... lainnya -

Editor sastra, penulis, pengajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

LGBT dan (Dugaan) Berperilaku Buruk

11 Februari 2016   21:52 Diperbarui: 13 Februari 2016   11:32 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jika diminta berkomentar tentang LGBT, maka mau tak mau saya akan melakukannya dengan menggunakan dua sudut pandang: pandangan subjektif dan pandangan objektif. Secara objektif saya merasa punya tanggungjawab sosial untuk menghargai kebudayaan dan agama. Dan secara subjektif, saya merasa bertanggungjawab untuk menghargai manusia dan kemanusiaan.

Secara objektif, tentu saja kasus semacam ini masih belum bisa diterima dalam budaya masyarakat Indonesia, begitu pun secara agama, dan saya sepakat untuk menolak apa pun yang bisa mengganggu ketentraman orang lain. Tetapi secara subjektif, yang artinya saya melepas semua ikatan antara pendapat saya dan faktor luar (semacam budaya dan agama), saya sungguh tidak peduli dengan urusan pribadi orang lain dan saya sangat menghargai setiap pilihan yang diambilnya. Jangankan cuma urusan orientasi seksual, saya juga tidak akan peduli pada orang-orang yang memilih untuk menyembah kaleng margarin atau menikahi pohon belimbing, silakan. Pada akhirnya, itu adalah kehidupan mereka sendiri dan mereka punya hak atasnya. Jika ada orang-orang yang saya anggap berhak untuk ikut campur, maka itu adalah keluarga mereka sendiri, bukan orang lain. Pada semua zaman, setiap pilihan mempunyai konsekuensi masing-masing, bahkan menjadi baik pun berisiko—mereka akan menjadi sasaran serangan orang-orang jahat yang merasa bahwa proyeknya terancam oleh si orang baik. Jadi, kembali ke dirimu sendiri.

Saya akan melihatnya dari poin yang ini saja: Apakah mereka merugikan orang lain? Apakah mereka melakukan pelecehan? Menipu? Atau melakukan tindakan kriminal? Kalau iya, ditindak saja, seperti halnya seorang selebritas yang baru-baru ini diduga melakukan tindakan demikian dan kemudian dilaporkan ke polisi oleh korbannya. Kita punya hukum untuk mengurus hal semacam itu.

Yang saya tidak setuju, ada orang yang mengaitkan kaum LGBT dengan perilaku buruk. Seolah seorang LGBT sudah pasti akan berperilaku buruk. Benar, ada beberapa yang terbukti melakukannya, tetapi apakah cap seperti itu bisa kita gunakan hanya karena perbuatan sebagian kecil dari mereka saja? Itu tidak adil. Ada banyak sekali orang hetero yang melakukan pelecehan, pemerkosaan, bahkan penganiayaan kepada lawan jenis. Apakah mereka kemudian bisa mewakili semua orang hetero? Sama seperti ketika ada sekelompok teroris yang beragama Islam, lalu apakah kamu bisa dengan enteng mengatakan bahwa Islam adalah agama teroris? Sekali lagi, jadilah adil. Kadang-kadang saya heran, apa yang ditakutkan banyak orang terhadap kaum LGBT, kenyataan bahwa orientasi seksual mereka berbeda, atau perilaku buruk yang bisa jadi mereka lakukan kepada orang lain. Kalau takut karena orientasi mereka berbeda, itu ketakutan yang tidak masuk akal. Sama seperti kamu takut pada orang yang beragama berbeda denganmu, takut pada orang yang bercadar, takut pada orang yang memasang cincin-cincin besi di lehernya sehingga membuat batang leher itu memanjang. Takut pada keyakinan orang lain yang berbeda dengan kita—ketakutan yang menguras tenaga; karena perbedaan adalah fitri di dunia ini. Tetapi kalau ketakutannya adalah untuk poin kedua, maka hal itu bisa diterima, tetapi jangan lupa, perilaku buruk yang bisa mereka lakukan bisa juga dilakukan oleh orang-orang hetero. Itu sudah jelas. Jadi, mau itu kaum LGBT atau bukan, mereka semua punya potensi untuk menjadi orang yang baik atau tidak baik.

Sejujurnya saya punya teman gay, dan di antara mereka ada yang memang saya kurang suka sikapnya dan ada pula yang sebaliknya. Sama dengan orang-orang yang hetero, ada yang saya suka sikapnya dan ada pula yang sebaliknya.

Seorang gay bisa juga menjadi orang yang setia kawan, bertanggungjawab, atau punya sopan santun. Seorang gay bisa mempunyai semua sikap baik yang memungkinkan dimilikinya. Kautahu, seseorang itu menjadi baik atau tidak baik tidak ada hubungannya dengan orientasi seksualnya, tetapi dari pendidikan, pemahaman dan pengalamannya. Bukan hanya mereka yang LGBT, tetapi juga mereka yang “sakit”, mereka yang fakir, atau siapa pun yang sering dicibir karena dianggap mempunyai kekurangan, pada dasarnya mereka juga manusia seperti kita. Tidak ada yang lebih superior dibanding yang lain. Dan kepada sesama, adalah wajib bagi kita untuk memperlakukan mereka selayaknya kita ingin diperlakukan.

Malangnya, terkadang ada saja orang yang gagal paham antara membela sesuatu dan menjadi bagian dari sesuatu itu. Saya pernah berkomentar soal orang-orang yang gemar mengharamkan hari Valentine, tahun baru, atau ulang tahun, dan saya pun dituduh liberal atau sekuler atau segala macam—padahal saya gak ngerti juga apa maksud sekuler atau liberal itu; apa meraka yang mengatakan itu pada saya juga tahu? Memangnya, kalau saya peduli pada populasi orang utan maka saya adalah orang utan? Terima kasih, paling tidak saya lebih suka jadi orang utan daripada jadi manusia yang tidak sehat pikiran dan jiwanya—sehingga gagal paham dalam menemukan esensi dari sesuatu.

Dalam dunia psikiatri, mereka yang merasa “berbeda” dan ingin mengubah dirinya akan datang ke para psikiater atas keinginannya sendiri. Bukan karena paksaan. Karena mengubah keyakinan dan sikap seseorang tidak akan bisa dengan paksaan, apalagi dengan hinaan. Hal itu bisa kamu contohkan kepada anak-anak, semakin kamu menghina mereka sebagai bodoh atau jelek atau apa pun, semakin mereka akan melawan dan menjadi seperti itu. Mereka tidak akan menjadi giat belajar karenanya, karena mereka tidak akan mau berubah untuk orang-orang yang menghina mereka. Kalau kita merasa peduli dengan para LGBT dan beranggapan bahwa perilaku mereka itu buruk, maka kita tak akan bisa mengubah mereka jika kita tidak menjadikan diri kita sebagai teman bagi mereka. Sekali lagi, kamu tidak akan mau berubah untuk orang yang kamu tidak suka—bahkan jika orang itu adalah keluargamu sendiri; bukankah banyak kasus di mana hubungan antaranggota keluarga yang tidak harmonis. Bagaimana kalau dengan membuat aturan hukum? Tidak juga, keyakinan seseorang tidak bisa diubah dengan memoles permukaannya saja, tetapi hanya bisa dengan mengubahnya dari dalam.

Jadi, kalau kamu merasa tidak suka dengan kaum LGBT dan memang benar-benar peduli dengan kebaikan mereka—apa pun alasanmu; kalau saya sih merasa tidak punya alasan untuk itu, maka lakukanlah pendekatan yang baik, yang bisa mereka terima. Bukan dengan menghina keyakinan mereka. Penghinaan atas keyakinan hanya akan menghasilkan rasa sakit hati dan kebencian. Bahkan kamu juga tak suka kalau ada orang yang menghina kebiasaanmu mengunyah tali kolor bukan?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun