Mohon tunggu...
Berry Budiman
Berry Budiman Mohon Tunggu... lainnya -

Editor sastra, penulis, pengajar.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Merindu*

15 September 2012   01:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:27 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Merindu dengan gerimis ombak

[caption id="" align="alignnone" width="604" caption="Merindu dengan gerimis ombak"][/caption]

Ketika kau meninggalkanku di September lalu; hujan tak pernah turun kala itu

aku sudah menjanjikan kesetiaan yang telah lebih dulu kau rajut

berlapis sutra—dan sudah saatnya untuk percaya

Kau selalu mengingatkanku, di sela-sela sibukmu dengan embun pagi:

”ya, hidup adalah pengabdian dan kekasihku menempati salah satu altarnya.”

oh, benarkah itu?

sebutan kekasih sangatlah merdu di telinga

kini, dan kemudian: aku terlena dalam racikan kata dari lengkung bibirmu

Maka kubuatkan sebuah puisi untukmu—semoga seindah warna-warni bias cahaya,

tentang ini aku belum lupa; aku ingin menari bersamamu dalam pesonanya.

/

Rinduku*

Pernahkah kau perhatikan percintaan ombak dan karang?

Sejoli yang tak pernah surut dimabuk asmara

siang-malam; tak akan ada cerita gejolak yang surut

Ah, apalah arti ombak jika tak ada laut

Ombak adalah anak-anak yang lugu dan jujur; ia tak pernah melawan arus

Kecuali saat ia bertemu dengan sang kekasih

kau akan terlena dengan pelukannya.

Sementara karang menunggu dengan kesetiaan.

Mungkin, hingga senja terakhir yang me-merah

/

Oh, ataukah rindu ini laksana kulit dan belati;

yang tak ditakdirkan untuk bertemu

Dan ketika kau memaksa maka ia akan menggores luka?

Bukan hanya kulit yang pedih, belati pun ternodai,

kemudian mereka didera sesal bagai gerimis

kecuali... saat ia sarungkan pisaunya; Namun semudah itukah?

mata yang tajam mengilat itu menggoda

mengintip, dan mengendus, dan akhirnya mengiris

/

Aku adalah wanita yang merindu

Apapun lukisan masa tentang rinduku, taklah jadi soal

Karena yang kutahu hanyalah memelukmu

Menunggu kamu kembali;

Janjimu: mengecup bekas luka dahulu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun