Mohon tunggu...
Berry Budiman
Berry Budiman Mohon Tunggu... lainnya -

Editor sastra, penulis, pengajar.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pagi Mendekap Hati, Bukan Hati...

18 Maret 2012   01:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:53 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

semalam, selepas kamu meninggalkanku

badanmu masih duduk di pikiran

apa maksudmu, kamu tidak penuh baik untukku?

bahwasanya aku pantas mendapatkan juwita yang lebih ayu darimu?

bohong! kamu tahu ’kan, aku tak pernah menuntut

bodoh! kamu pikir aku akan percaya begitu saja

*

hidup memanglah misteri

hibat,amor, renjana, asmara

cinta sejati tak senantiasa kamu raihkan

sebaliknya, cinta yang tidak kamu inginkan justru mendarat, merapat, singgah: memohon balasan

sama seperti kamu yang mencintai dia

tahukah kamu, dia tak pernah mencintaimu

atau, kalaupun sempat, tak akan melebihi cintaku

*

pagi datang memeluk hati

kubuka jendela kamar, embun pagi menyecap ujung hidungku

aku ingat dulu, ketika waktu masih begitu muda

ketika tidak ada kamu

bukankah hatiku acap bermain ke taman bunga

bukankah semangat hidupku bak nyala mentari

ah, apakah ini yang namanya cinta

membuat terlena, terbius, terhipnotis

*

mungkin kamu tidak menyukai puisi

sementara aku terus berpuisi

mungkin kamu suka rayuan, seperti rayuannya

sementara rayuanku ibarat daun gugur


*

aku tidaklah ingin mengakui: aku telah dipermainkan olehmu

aku tidaklah mengingat kenangan, ketika senyummu dan senyumku tak berpaut

surat darimu sampai dikirim merpati

kulipat, kubangun jadi perahu,

tak larat aku membacanya

kunaiki perahu itu, yang berornamen untaian kata (kata darimu)

dari balik dadaku, kuambil pisau yang pernah kamu tancapkan

aku ingin mengikis semua kata yang menempel diperahu ini

botol, kumasukkan dalam botol, kututup rapat.

air mata adalah danau, sungai, bahkan samudera

ia menyeretku ke tengah-tengah, dan gelombang adalah lembut

bagaikan rambut ibu yang tak lagi lurus seiring usia menua


*

disini!

ah, tidak... lebih jauh lagi, lebih dalam lagi

kukayuh perahu kertas ini.

disini!

tidak, jika tak jauh, nanti ia kembali lagi

*

ya, disini...

tepat kuletakkan ia di bawah mentari yang segera akan tenggelam

semoga, tak kutemukan lagi.

semoga tak kucari lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun