Beberapa hari lalu kita sudah sering membaca bagaimana koalisi yang digalang  PDIP adem ayem dan rukun sementara koalisi Gerindra kocar kacir karena beberapa elemen dalam partai pendukung menyatakan keberatan bila cawapres ditetapkan sepihak. Hari ini partai mitra koalisi Gerindra sudah bertemu dan memutuskan untuk menerima Hatta Rajasa sebagai cawapres dan akan diumumkan besok dengan demikian semua ganjalan sudah beres.
Sementara Poros Gerindra sudah mantap dengan komponen partai pendukung dan calon capres-cawapres dengan kemungkinan bergabungnya Golkar dan/atau Demokrat, tidak demikian dengan Poros PDIP yang api dalam sekamnya mulai membakar keutuhan koalisi dari dalam dan mengancam koalisi pecah bila terjadi kesalahan sedikit saja.
Yang menjadi masalah pertama adalah mereka tidak bisa menetapkan cawapres sebelum Golkar memutuskan koalisi dengan PDIP atau membuka poros baru. Bila dengan PDIP berarti JK menjadi cawapres sedangkan bila poros baru maka ARB menjadi capres. Inilah penyebab PDIP belum bisa mengumumkan JK sebagai cawapres yang sebenarnya sudah mereka tetapkan sejak NasDem bergabung.
Akan menjadi masalah bagi pencawapresan JK bila poros baru Golkar-Demokrat terbentuk sehingga JK sebagai kader Golkar akan sulit maju untuk partai lain. Bila JK tidak jadi maju maka menimbulkan pertanyaan bagaimana NasDem akan bersikap, mungkin tidak akan keluar karena sudah terlambat tapi sulit membayangkan mereka akan berusaha maksimal berkampanye. Sementara mengingat kemungkinan Muhaimin Iskandar tidak jadi cawapres maka dapat dipastikan Ketua PBNU Said Iqbal akan tetap pada sikapnya mendukung Prabowo sekalipun PKB adalah mitra koalisi PDIP.
Masalah kedua adalah "koalisi ramping" yang sekarang menjadi "koalisi gemuk" menimbulkan ketidaknyamanan di dalam mitra koalisi, setidaknya hal tersebut sudah ditunjukan oleh NasDem menyusul masuknya Hanura yang membawa rombongan Hary Tanoe, pecahan NasDem dan musuh besarnya Surya Paloh. Setidaknya hal tersebut dikatakan oleh Despen Ompusunggu dari NasDem  yang menyebut bahwa koalisi yang diusung PDIP adalah koalisi banci karena membuka pintu kepada partai politik manapun.
Masalah ketiga adalah tidak ada seorangpun dari keluarga Soekarno yang percaya pada kemampuan Jokowi memimpin negeri ini sebab Jokowi dicapreskan sesungguhnya untuk sekedar mendulang suara tidak lebih tidak kurang, itulah sebabnya sekalipun Jokowi presiden yang mengatur kebijakan negara adalah Megawati sebagaimana kata Mega bahwa Jokowi sekedar petugas partai yang dicapreskan, tidak kurang tidak lebih. Guruh Soekarnoputra juga mengatakan bahwa Jokowi bukan pemimpin yang baik dan diragukan kemampuan maupun penghayatannya terhadap ajaran Soekarno. Pernyataan yang sama juga datang dari Rachmawati Soekarnoputri yang juga petinggi NasDem bahwa Jokowi belum layak jadi calon presiden.
Masalah keempat sekalipun Golkar, NasDem, PKB, Demokrat, Hanura semuanya berkoalisi dengan PDIP kenyataannya suara akar rumput mereka tidak bulat dan sudah pecah dari awal. Kekuatan PKB jelas berkurang dengan dukungan Ketua PBNU dan Rhoma Irama kepada Prabowo; sebagian Golkar, NasDem, Demokrat dan Hanura mendukung Prabowo karena melihat kesamaan historis dan karakter. Adapun dukungan pemilih PDIP yang lebih banyak swing voters akan sangat digantungkan pada sosok cawapres, salah memilih cawapres maka mereka akan golput atau lebih parah mengalihkan dukungan kepada pasangan lain.
Jadi siapa bilang koalisi PDIP lebih solid daripada koalisi Gerindra?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H