Hari ini saya membeli buku terbitan Kompas berjudul Catatan Jenderal Pranoto Reksosamodra yang dia tulis dengan tangan semasa hidup dan kemudian disunting oleh Imelda Bachtiar lengkap dengan beberapa anotasi dan komentar sehingga menjadi buku yang lengkap. Terus terang saya senang dengan keberadaan buku ini sebab selain melengkapi literatur sejarah milik saya, juga memberikan suara kepada Pranoto, sebab rasanya buku ini adalah satu-satunya biografi mengenai Jenderal Pranoto Reksosamodra di Indonesia. Sisanya nama Pranoto hanya disebut sekilas dalam biografi jenderal lain.
Saya berharap buku ini dapat melengkapi kepingan puzzle sejarah Indonesia, khususnya pada periode tergelap bangsa ini, yaitu tahun 1965 dengan kejadian G30S/PKI. Benar saja, ada beberapa kesaksian dari Pranoto yang membuka tabir penting dan membersihkan nama Pak Harto dan menghancurkan beberapa teori mengenai alasan Pak Harto "dendam" kepada jenderal korban G30S/PKI, AH Nasution misalnya.
Beberapa komentator sejarah mengatakan bahwa AH Nasution ingin memecat Pak Harto karena peristiwa barter gula di Semarang, dan mau memecat Pak Harto bila saja tidak dihalangi oleh Gatot Subroto. Hal ini menurut orang yang anti Pak Harto adalah yang melatar belakangi kebencian Soeharto kepada AH Nasution. Namun Pranoto justru bersaksi bahwa AH Nasution melindungi Pak Harto dan berjanji bahwa dia akan memulihkan nama baiknya, antara lain dengan memproyeksikannya sebagai Kasad. Nasution bahkan bertindak jauh dengan menolak pengunduran diri Pak Harto yang merasa wajahnya dicoreng moreng oleh fitnahan Pranoto.
Ini hanya contoh kecil bagaimana kepingan berupa informasi dari para pelaku sejarah dapat membentuk suatu gambaran besar, sehingga tentu saja seharusnya yang membaca otobiografi Pranoto ini melakukan komparasi dengan pelaku sejarah lain pada zaman yang sama sehingga memperoleh gambaran yang lebih besar lagi.
Sayangnya saya merasa ada agenda politik Kompas dalam menerbitkan buku Pranoto ini beragenda sama dengan alasan menerbitkan buku Budiman Soejatmiko, Peter Kasenda, Ishadi SK dan lain-lain, yaitu mendiskriditkan dan merendahkan Soeharto dengan Orde Barunya serta "memulihkan" nama baik PKI dan komunis.
Indikasi hal ini jelas dari halaman belakang buku yang berisi kutipan dari dua orang mengenai Jenderal Pranoto Reksosamodro, yaitu Dr. Nani Nurrachman Sutojo dan Stanley Adi Prasetyo. Dr. Nani adalah anak korban PKI, Jenderal Sutojo, sedangkan Stanley anggota Komnas HAM tahun 2007 sampai 2012.
Komentar dari Dr. Nani sebagai anak korban G30S/PKI mungkin masih relevan, tapi bisa juga tidak relevan karena ketika peristiwa terjadi dia masih kecil. Kemudian setelah dewasa ternyata Dr. Nani terpengaruh oleh apologetika PKI dan propaganda pembersihan nama PKI yang diluncurkan Carmel Boediardjo sehingga dia menjadi terpengaruh dan melihat angkatan darat yang menangkap pembunuh ayahnya justru sebagai penjahat. Ini tampak sekali dari komentar pedas Dr. Nani di belakang buku terhadap Soeharto.
Adapun komentar mantan Komnas HAM yang sama sekali tidak ada hubungan dengan G30S/PKI selain mereka berhasil ditekan PKI sehingga mengeluarkan rekomendasi bahwa melarang komunisme di Indonesia adalah melanggar HAM. Membaca komentar dia, sudah sangat jelas sekali orang ini tidak memahami apapun tentang sejarah Indonesia dan pengetahuannya tentang G30S/PKI pasti rendah, misalnya dia menulis Soeharto melakukan insubordinasi dan melawan semua perintah Pranoto. Pertanyaannya apakah Stanley tidak tahu bahwa sehari setelah Pranoto diangkat sebagai caretaker Menpangad diadakan pertemuan antara dirinya dengan Soeharto dan Soekarno di Bogor dan Soeharto sudah bermaksud menyerahkan komando sepenuhnya kepada Pranoto namun ditolak Soekarno dan malahan Soekarno memberikan semua kewenangan sebagai Menpangad kepada Soeharto sementara Pranoto hanya kewenangan administrasi.
Kok bisa Kompas memilih orang yang tidak paham sejarah dan buta sejarah seperti Stanley Adi Prasetyo? Kenapa tidak mengutip pernyataan dari anak pahlawan revolusi yang lain, Amelia Yani misalnya, atau Donald Panjaitan. Sekali lagi walaupun Dr. Nani mungkin bias dalam pandangannya karena sudah terpengaruh pembelaan diri anasir PKI namun setidaknya dia masih relevan, tapi Stanley Adi Prasetyo? Ayolah Kompas, kalian lebih baik dari ini.
Selanjutnya membaca kata pengantar dari penyunting, Imelda Bachtiar saya mendapati bias kembali. Oh iya, saya sengaja tidak membaca kata pengantar Asvi Warman Adam karena sudah hafal fitnah sesuka perutnya terhadap Soeharto dan pengidolaan berlebihan tanpa reservenya kepada Soekarno.
Nah, bias dari Imelda Bachtiar kepada peristiwa G30S/PKI versi Orde Baru tampak jelas sekali dalam kalimat-kalimat berikut:
1. Imelda Bachtiar menyatakan bahwa tidak ada seorangpun tahu atau tahu, tetapi tidak pernah berani bersuara, bahwa film itu kebohongan belaka (halaman xix).
Lho, atas dasar apa mengatakan bahwa film itu bohong? Jadi tidak ada satu halpun dalam film itu yang benar? Apakah enam jenderal dan Piere Tendean tidak mati dibunuh Cakrabirawa? Apakah mereka tidak dibuang ke dalam lubang buaya seperti sampah dan kemudian ditemukan dalam kondisi mengenaskan? Apakah Aidit tidak merencanakan untuk menyusupi angkatan darat dengan Biro Chususnya?
Jadi bagian mana yang bohong? Bila masalah penyiksaan Gerwani tidak benar, maka apakah hal tersebut menjadikan seluruh film tidak benar? Saya sendiri sudah membaca ratusan literatur tentang G30S/PKI dan mendapati bahwa Film Penghianatan G30S/PKI adalah 99%, sisa 1%nya karena ada kejadian yang harus disesuaikan seiring penemuan yang diperoleh setelah film tersebut dibuat dan hal ini wajar sebab sejarah adalah working progress dan bukan proyek sekali selesai.
2. Imelda Bachtiar menyatakan bahwa buku ini dibuat untuk menceritakan kejadian sesungguhnya Peristiwa 30 September 1965 sehingga masyarakat tahu bahwa tuduhan dia terlibat G30S/PKI hanya fitnah. Lho, pertanyaannya darimana Imelda tahu bahwa apa yang dikatakan Pranoto 100% benar sedangkan yang ditulis pihak lain tentang Pranoto 100% salah? Seperti yang saya tulis di atas, sejarah adalah working progress, sehingga tidak ada versi pihak manapun yang 100% benar atau 100% salah, tapi Imelda Bachtiar berani menulis bahwa versi Pranoto adalah 100% benar, luar biasa! Apalagi Imelda mengakui baru membaca koleksi buku Harsutejo tentang peristiwa 1965 demi penyuntingan buku, sehingga sejauh mana Imelda Bachtiar benar-benar memahami peristiwa 1965 patut dipertanyakan.
Tentu saja pernyataan Pranoto Reksosamodro dalam memoirnya tidak sepenuhnya benar, sekedar contoh dengan membaca sekilas saya menemukan beberapa hal yang terbukti salah bila dikonstantir dengan fakta sebagai berikut:
1. Pranoto mengatakan bukan dia yang melaporkan kegiatan barter yang dilakukan Diponegoro di Semarang, namun pernyataan ini berseberangan dengan pernyataan Yoga Soegama, dan Ali Moertopo, salah satu perwira bidang intelijen di Diponegoro. Kita harus percaya siapa? Orang yang akhirnya menduduki kursi Panglima Diponegoro atau perwira intelijen?
2. Pranoto adalah komunis sejati, dan hal inilah yang menyebabkan dia menolak Liga Demokrasi. Sebagaimana kesaksian Yoga Soegama dalam buku Memoir Jenderal Yoga, setelah Pranoto naik menjadi Panglima Jawa Tengah, aktivitas PKI justru naik signifikan dan merajarela karena didukung oleh Pranoto. Bukan itu saja, Diponegoro juga semakin menjadi komunis. Bila diingat Letkol Untung, Kol. Latief dan Raiders yang tidak mau menyerah kepada Kostrad adalah dari rumpun Diponegoro, binaan Pranoto!
3. Yang mengusulkan nama Pranoto untuk menjadi caretaker Menpangad di Halim adalah DN Aidit!
Dan masih banyak lagi termasuk komentar Pranoto yang salah mengenai keterlibatan CIA dan supersemar.
Membuka keping informasi sejarah tentu harus didukung tapi bila tujuannya adalah melakukan propaganda disinformasi maka hal tersebut sangat disayangkan apalagi bila dilakukan oleh Penerbit Kompas yang selama ini terkenal dengan netralitasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H