Di Indonesia saat ini penggerak kemajuan sosial dalam memperkenalkan tren global yang marak dijumpai di kota-kota besar di Indonesia, masih terbatas pada kalangan pengusaha kelas menengah-atas yang membawa pengaruh global masuk ke Indonesia melalui bisnis mereka. Setidaknya tentang hal-hal yang berhubungan dengan gaya hidup. Sayangnya hal ini tidak begitu mudah bila masuk ke arena pendidikan karena memang pendidikan haruslah diregulasi secara ketat karena bagaimanapun ini mengenai masa depan bangsa.
Tapi kondisi ini menyebabkan kondisi yang membingungkan. Saat ini banyak sekali sekolah progresif di Indonesia yang lost in translation, sampai-sampai lahir istilah sekolah nasional plus, yang berarti sekolah berkurikulum nasional dengan plusnya penggunaan bahasa asing sebagai salah satu bahasa pengantar. Produk ini ibaratnya seperti nasi goreng spesial. Nasi goreng yang dikatakan spesial cuma karena plus telor mata sapi.
Belum lagi sekolah yang mengklaim sebagai sekolah internasional hanya karena ia mengadopsi kurikulum dari luar negeri tapi tidak pernah ada kejelasan seberapa reliabilitas kurikulum tersebut. Kalau menggunakan Cambridge dari UK misalnya, sudah jelas, kalau lulus dan lanjut ke Inggris, proses pendidikan yang dilalui dan ijazahnya akan diakui. Tapi kalau menggunakan kurikulum Singapore atau Taiwan misalnya, apakah berarti lulusan dari sekolah tersebut pasti diakui oleh dunia pendidikan Singapore atau Taiwan? Karena Cambridge memang didesain demikian tapi Singapore dan Taiwan belum memiliki sistem demikian.
Kebanyakan orang tua yang memilih menyekolahkan anaknya di sekolah nasional plus rela merogoh koceknya dalam-dalam hanya karena alasan yang sebenarnya terlalu sederhana, yang tidak sepadan dibandingkan harga yang mesti dibayar. Mereka cuma berpikir bahwasanya menyekolahkan anak di sekolah nasional plus akan membuat anak tersebut fasih berbahasa asing setelah lulus! Sebuah harga yang terlalu mahal yang harus dibayarkan hanya karena sistem pendidikan di Indonesia yang masih butut dan tertinggal jaman. Sekali lagi sebuah sistem yang desainnya obsolete dan perlu overhaul.
Di tingkat universitas, banyak institusi yang berusaha menyetarakan diri dalam kancah persaingan global dengan apa yang disebut dual degree atau sandwich program atau 2+2 untuk jenjang pendidikan S-1. Motivasi program-program demikian ini adalah ceruk pasar komersial kelas menengah dengan menawarkan keuntungan ekonomis dibandingkan mengirim anak kuliah di luar negeri. Apalagi juga dapat ijazah dari universitas luar negeri.
(Dapat ijazah dari universitas luar negeri sepertinya keren tapi sebenarnya biasa saja. Adalah kenyataan bahwa ijazah dari universitas luar negeri bukanlah jaminan kerja juga di luar negeri sana. Makanya banyak lulusan luar negeri yang balik kampung dan memilih mengadu nasib di Indonesia. Setidaknya di Indonesia mereka dipandang istimewa karena lulusan luar negeri. Tapi yang jelas bila ingin kerja di luar negeri ijazah luar negeri dan gelar akademis yang diberikan lebih dikenal dan dipahami sehingga lebih memiliki prospek ketimbang ijazah nasional Indonesia).
Konsep pendidikan tersebut di atas, yang semi internasional (rasanya lebih cocok disebut demikian) pada dasarnya adalah bahwa mahasiswa dididik oleh dua lembaga pendidikan berlainan sistem dan berlainan negara yang berkolaborasi baik itu melalui dosen asing yang diterbangkan ke Indonesia ataupun mahasiswanya yang diterbangkan ke luar negeri. Entah apa kelebihan yang ditawarkan dari program-program demikian selain mendapat gelar dari universitas luar negeri, pengalaman diajar oleh dosen asing, penggunaan bahasa asing yang lebih aktif, atau bahkan bisa merasakan tinggal beberapa waktu di luar negeri selama sandwich program. Sejatinya tidak ada keunggulan kompetitif yang nyata secara keilmuan.
Belum lagi ketidakterbukaan dari penjual program atau ketidaktahuan para orang tua tentang universitas asing yang menjadi partner tersebut, setidaknya tentang sistem pendidikan dari negara asal universitas tersebut. Di beberapa negara, universitas swasta ada yang diperbolehkan menyusun kurikulumnya sendiri sehingga tidak bisa diakreditasi tetapi boleh memberikan gelar akademis. Bahkan sistem akreditasi pun bisa juga berbeda-beda contohnya sistem akreditasi Eropa dan Amerika. Belum lagi badan akreditasi yang bejibun jumlahnya. Butuh ketelitian sebelum menjatuhkan pilihan.
Semua yang dilakukan oleh institusi pendidikan tersebut jelas hanyalah merupakan improvisasi sporadis yang terjadi di luar sistem pendidikan nasional demi mengisi kekosongan karena tidak adanya visi global dunia pendidikan Indonesia, walaupun permintaannya ada bahkan tinggi. Improvisasi sporadis demikian jelas tidak terarah dan terukur dengan baik serta mahal luar biasa. Belum lagi hal ini menyisakan pertanyaan besar, bagaimana hal ini akan berkembang kedepannya? Bagaimana pemerintah mengendalikan ini? Hal ini pun hanya bisa dinikmati kalangan yang sangat terbatas sehingga tidak mencerminkan realitas dunia pendidikan Indonesia.
Setelah 71 tahun Indonesia merdeka adalah sebuah ironi bahwa bangsa Indonesia terbukti masih berkutat mati-matian, berusaha menjadi tuan di rumah sendiri, sehingga belum mau berpikir lebih luas dari batasan rumah itu sendiri. Masih hidup dalam tempurung yang membuat perspektif ke depannya pun tidak bisa memandang jauh. Ini adalah sebuah sinyal bahwa bangsa kita bakal terus tertinggal dibandingkan negara-negara lain yang berwawasan lebih maju dan lebih luas. Ketertinggalan ini tidak bakal terkejar bahkan bakal semakin jauh bila tidak ada terobosan di dunia pendidikan Indonesia karena generasi muda dipersiapkan memakai sistem pendidikan yang ketinggalan jaman. Padahal sistem pendidikan itu membentuk cara berpikir dan membangun wawasan yang menjadi penuntun hidup.
Memang benar kalau ada yang bilang bahwa Indonesia sulit berkiprah secara internasional tanpa membereskan urusan internal, tapi bukan berarti keduanya tidak bisa berjalan secara paralel bukan? Apalagi masalah pendidikan adalah masalah masa depan bangsa. Mestinya pemerintah lebih serius.