Mohon tunggu...
Berny Satria
Berny Satria Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis bangsa

Bangsa yang Besar adalah yang berani berkorban bagi generasi berikutnya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lembar Dua Ribu Pembangkitku

3 September 2023   23:09 Diperbarui: 4 September 2023   11:17 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menerima salah seorang pegawaiku memberikan uang rp.35.000 sebagai uang cuci dari pemakai mobil rental miliku. Uang itu tergumpal dengan uang lembaran Rp. 2000,- sebagai kulit luarnya.

Sejenak aku tatap uang Rp. 2000 itu diatas telapak tanganku yang terbuka. Aku tertegun melihatnya dan trenyuh, karena aku ingat ketika masa-masa sulit dahulu.

Dahulu, Pernah suatu tengah malam aku pulang ke rumah dengan letih setelah seharian mencari penghidupan. Anak-anak dan istriku sudah tidur. Aku mencoba tidak mengganggu mereka sambil duduk perlahan di sofa rumah. Aku dalam masa kesulitan keuangan pada saat itu.

Pikiranku menerawang sambil sesekali menghela nafas panjang melihat plafon rumah. Karena aku harus membayar listrik rumah saat itu sebesar Rp. 300.000.
Dalam perasaanku, masih ada uang di dalam dompetku. Kutarik dari saku belakang celanaku dengan tubuh sedikit melenting agar mudah mengeluarkannya.

Namun ketika kubuka dompetku, ternyata hanya ada selembar uang Rp. 2000 yang sudah Kumal tak berbentuk. Mungkin karena terlalu banyak dipegang orang lain untuk transaksi, mungkin juga karena terlalu lama tidur dalam dompetku.

Kutatap dengan waktu cukup lama uang kumal itu. Kutarik  uang yang sudah berbau bagaikan orang tak mandi 2 tahun. Kulambai-lambaikan, hingga kuletakan diatas pahaku yang bercelana jeans yang juga sudah kumal karena 5 hari tidak dicuci. Sedih hatiku saat itu karena aku belum bisa mendapatkan uang untuk membiayai keluargaku dan diriku sendiri.

Saat itu pikiranku terpenjara oleh kesulitan yang kuhadapi hingga tak tahu apa jalan keluarnya. Apakah aku akan menua dengan keadaanku saat itu. Apakah Tuhan tidak mendengar raungan hatiku yang memikirkan keluargaku. Mungkin mereka sedang tertidur nyenyak, tapi aku tak dapat tidur. Aku terus berpikir dan berpikir hingga mengkhayal kehidupan mapan berlimpah susu.

Belakangan aku sadar, bahwa dahulu kehidupanku dihimpit oleh selaksa kesulitan, karena aku hanya bisa berpikir bahkan berkhayal, namun tidak berani bertindak untuk mengerjakan ide-ide yang kufikirkan. Mungkin karena aku belum punya modal. Namun disitulah kesalahan fatalku. Aku menjalani hidup dengan bersyarat. Bisa begini kalau ada itu. Bisa begitu kalau ada semua.
Bisa berbisnis kalau punya modal. Bisnis bisa maju jika barang laku keras. Bisa mapan kalau banyak untung, dan seterusnya.

Padahal sesungguhnya hasil yang aku dapat adalah muara dari segala usahaku. Bagaimana aku bisa sampai muara, mendayung saja aku tidak berani. Begitu mendayung, malah takut tenggelam. Begitu menyelam, takut dimakan buaya.
Ternyata kesulitan yang muncul di hadapanku adalah ciptaan pikiranku sendiri. 

Ketakutan yang membebani banyak orang sehingga tidak berani berbuat dan berkarya. Selama memiliki bayangan dan pikiran seperti itu, maka kita akan selalu kalah dalam segala sesuatu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun