Mohon tunggu...
Berny Satria
Berny Satria Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis bangsa

Bangsa yang Besar adalah yang berani berkorban bagi generasi berikutnya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Covid19, Jokowi Belah Durian

5 April 2020   12:57 Diperbarui: 5 April 2020   14:55 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbagai pihak mulai menggebu menyuarakan karantina total atau "Lockdown" disebabkan mengguritanya wabah Covid19 yang semula diremehkan oleh pemerintah melalui pernyataan-pernyataan para wakil instansi terkait, bahwa bangsa Indonesia tidak mempan dijangkiti Virus Corona, Corona tidak tahan di iklim tropis, dlsb.

Namun kini pelan-pelan dan nyata, virus ini mulai merebak di Indonesia. Akibatnya beberapa kepala daerah mulai panik.. Dimulai dari para walikota yang nyeleneh me-lockdown daerahnya tanpa kordinasi dan izin Pemerintah pusat walau baru saja menegaskan bahwa wewenang Lockdown ada pada Pemerintah Pusat. 

Tapi dengan langkah dan pidatonya yang heroik akan menutup akses ke kotamadya nya selama 4 bulan. Walaupun belakangan sang kepala daerah menganulir pidato garangnya dengan mengangkat penghalang block semen karena disindir dan dikoreksi oleh Presiden Jokowi.

Pemerintah pusat pasti sudah memiliki penelitian semenjak Virus ini menghangat beritanya di Wuhan pada Januari 2020. Pemerintah tahu solusi untuk menghadapi virus adalah dengan mengkarantina total Indonesia. Tidak ada cara lain untuk melawan Pandemic (wabah yang mendunia), selain dengan membatasi lalu lintas manusia sebagai pembawanya.

Namun pertimbangan-pertimbangan ekonomi, sosial, politik, lebih memberatkan menghalangi pengambilan keputusan untuk karantina Total. Sebab ongkos ekonomi karantina Total atau Lockdown sangat besar dan berat dijalankan. Namun bukankah menurut Presiden keselamatan bangsa diatas segalanya, menjadi prioritas utama?

Jika semenjak Januari 2020 negeri kita sudah di Lockdown, maka korban terinfeksi dan mati akan sangat minimal, dan wabah ini mungkin sudah berlalu karena tidak menular dan tidak berkembang di negeri ini.

Para pengambil keputusan seperti bermain judi koplok (permainan dadu yang ditutup mangkok), bisa ya tapi yang paling sering tidak. Siapa tahu virus ini bisa dihindari dengan keberuntungan posisi tropis yang menurut suara-suara yang berseliweran di telinga pengambil keputusan, dapat hilang karena tidak tahan panas.

Awalnya menteri Kesehatan mengatakan bahwa masker tidak diperlukan bagi orang yang sehat, hanya bagi orang yang sakit wajibnya. Namun belakangan, sang menteri sendiri yang menggunakan masker ketika di wawancara di media televisi.

Bahwa virus Cov-2 ini tidak tahan hawa panas sehingga akan cepat mati pada suhu 26-27 derajat Celcius, demikian kata sang pejabat. Namun WHO dalam situsnya Myth busters menyatakan bahwa virus Corona tidak akan mati walau kita berjemur pada suhu 25 derajat atau lebih. 

Bisa jadi sang pejabat meneruskan seruan Donald Trump sang presiden AS yang menyatakan pada 11 Februari lalu bahwa virus ini akan mati di tempat yang panas dan akan hilang di bulan April. 

Walhasil hari ini Amerika serikat adalah ladang Pandemic yang paling subur dan paling banyak korban terinfeksi diseluruh dunia. Amerika berhasil menjadi The great again (in Cov-2), sesuai kampanye Trump dahulu. 

Wajarlah jika beberapa pihak menyimpulkan pernyataan pejabat negeri ini sebagai berita bohong karena tidak terbukti secara medis dan empiris kebenarannya padahal diumumkan secara masal melalui berbagai media.

Ketika wabah ini merebak, departemen kesehatan tidak siap untuk menyediakan alat kelengkap Diri (APD) hingga ventilator bagi pasien yang harganya sekitar 300 juta rupiah per unit. Melihat hal ini, saya mencoba mengimport sendiri masker 3 lapis yang harganya selangit di pasaran lokal dan sulit didapatkannya. 

Ternyata, aturan menteri keuangan untuk meniadakan pajak import dll harus melalui tahapan birokrasi yang tidak sederhana. Saya harus mengajukan ke BNPB, mengajukan referensi kemana masker akan disumbangkan, menunggu hasilnya dari BNPB, mengajukan ke beacukai, menunggu disetujui, dan harus menyertakan sertifikat dari badan/pihak yang disumbangkan.

Negara seperti lupa bahwa keadaan Pandemic ini adalah keadaan darurat, dimana segala hal dimungkinkan untuk mengatasi keadaan darurat itu. Mengapa tidak dibuka pembebasan import untuk alat kesehatan (Alkes) secara luas. 

Kalaupun ada spekulator nakal, buat saja aturan yang melarang penjualan masker di toko online atau supplier. Yang melanggar akan di hukum mati karena sama dengan korupsi di masa wabah (red ujaran ketua KPK).

Akhirnya saya membayar pajak dan biaya-biaya lain. Pikir saya nyawa tak dapat dihargai dengan uang, karena banyak pihak yang membutuhkan masker yang saya import untuk dipakai. 

Betapa usaha kemanusiaan tidak didukung oleh kebijakan pemerintah negeri ini dan harus terganjal aturan-aturan yang tidak penting guna pengendalian wabah.

Disebabkan pihak pemerintahan yang berkali-kali seolah meremehkan virus ini, maka warganya pun ikut meremehkan. Lihat anak-anak di Jakarta tetap berkumpul pagi dan bermain bola tidak takut oleh Corona. 

Ketika wartawan CNN bertanya, mereka katakan”Tidak takut pada Corona, takutnya pada Tuhan. Mati itu di tangan Tuhan”. Padahal Corona juga buatan Tuhan. Sepintas rekan saya berkata, “jika tidak takut mati dengan Corona takutnya sama Tuhan, kalau naik motor atau mobil tidak usah injak rem. Tidak usah takut mati karena tidak injak rem, takutnya sama Tuhan” dengan kesalnya.

Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di kelurahan saya menerbitkan maklumat nya, yang menyatakan bahwa shalat berjamaah tetap dilaksanakan, pengajian rutin tetap berjalan. 

Entah karena faktor edukasi yang minim tentang social dan physical distancing untuk pencegahan penularan, atau memang karena “tidak takut Corona tetapi takut Tuhan?” Ulamanya saja tidak ditaati, MUI pusat saja tidak didengar. Mau jadi apa bangsa ini.

Belum lagi ketidaktegasan pemerintah dalam pembatasan mudik/pulang kampung yang biasanya terjadi beberapa waktu lagi. Seolah pemerintah tidak mengambil pelajaran tentang wabah di Wuhan. 

Bahwa wabah di China yang bisa menyebar ke banyak tempat seperti Guangzhou, Shenzhen, Zhongshan, Shanghai, dll, awalnya disebabkan orang-orang yang bekerja di kota Wuhan, mudik ke daerah-daerah tersebut. 

Sehingga penularannya meluas dan cepat. Maka pemerintah China langsung me Lockdown/Karantina total kota Wuhan sehingga tidak ada yang keluar atau masuk dari dan ke kota tersebut.

Bukankah Jakarta adalah kota yang paling banyak terpapar virus Corona, awalnya. Mengapa Jakarta tidak di karantina total. Jangankan karantina total, warga yang bekerja di Jakarta dibiarkan kembali ke kampung masing-masing dengan bebasnya. 

Bukankah ini akan mengulangi peristiwa Wuhan? Yang ada hanyalah himbauan tidak pulang kampung dan pengecekan selintas di stasiun. Mengatur rakyat tidak bisa dengan himbauan, tetapi dengan aturan dan sangsi yang tegas, barulah rakyat dapat terselamatkan.

Jika sikap pemerintah tetap seperti ini, maka jumlah korban terinfeksi dan peta penyebarannya akan semakin luas. Indonesia akan mengalami masalah Covid19 ini dalam waktu yang lama. Walhasil, perekonomian Indonesia akan terpuruk dan sangat lama untuk pulih.

Lihat pergerakan kurs rupiah yang semakin melemah mencapai rp.16 ribuan. Lihat IHSG yang anjlok tak tertahankan. Lihat bagaimana sulitnya mencari Gula pasir karena permintaan yang melonjak karena kapasitas stok tidak mencukupi, lihat bagaimana harga minyak per barrel ambruk karena minimnya permintaan dan meluapnya stok minyak mentah di penyulingan.

Pemerintah seolah lebih memikirkan masalah kesehatan perekonomiannya daripada keselamatan bangsanya. Padahal jika bangsanya yang diutamakan, ekonomi mungkin akan jatuh, tetapi cepat pulih karena manusia dan daerahnya sudah sehat. Mirip seperti membelah Durian masak. Sakit dan sulit di awal. Tetapi ketika terbuka, jangankan dagingnya, bijinya saja direbus dan dimakan.

Skenario terburuk yang akan terjadi adalah, jika perekonomian terpuruk karena karantina total, maka rakyat akan Chaos. Jika rakyat Chaos, maka kepercayaannya akan runtuh kepada penguasa. 

Dan penguasa akan diturunkan dari tahtanya, seperti peristiwa presiden Soeharto pada tahun 1998 lalu. Belum lagi musuh-musuh politik penguasa yang kerap berusaha memanaskan suhu politik dengan menggunakan issue wabah ini sebagai serangan tajam kepada kemandirian penguasa.

Namun apakah kekuasaan lebih penting dibanding keselamatan bangsa? Bukankah alasan keselamatan dan kemakmuran bangsa yang menyebabkan rakyat memilihnya menjadi penguasa?

Hari ini sektor riil China sudah mulai pulih, begitupula keadaan kesehatan disana. Sehingga China yang dahulu menuai hujatan sebagai daerah kutukan, kini mereka bangkit lebih dahulu sementara yang lain terus masih menangis karena wabah ini. 

Itu disebabkan China mengutamakan bangsanya daripada perkonomian nya. Mengapa kita tidak belajar dari China? “Tuntutlah ilmu walau ke negeri China”. Sedikit sekali manusia mengambil pelajaran.

Untuk menyelamatkan bangsa dan perekonomian nya ke depan, kuncinya adalah mengkoordinir manusianya. Karena Covid19 ini bisa menular antar manusia termasuk Droplet yang ditinggalkannya. Sehingga manusianya lah yang perlu diatur penyebarannya, bukan pertimbangan ekonomi yang utama, tapi sekali lagi manusianya.

Keselamatan bangsa adalah diatas segalanya. Kekuasaan adalah hal yang kapan saja dapat jatuh. Karena sebuah kekuasaan ada dan dicabut adalah karena kemauan Tuhan. Semoga visi ini ada dan menjadi dasar tindakan penguasa untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari Covid19.

Bogor 5 April 2020, Suasana physical distancing

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun