Mohon tunggu...
Berna H
Berna H Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tujuan Pendidikan Dasar

19 Juni 2017   13:55 Diperbarui: 19 Juni 2017   14:12 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada pepatah seperti ini "Banyak belajar banyak lupa. Sedikit belajar, sedikit lupa. Untuk apa banyak belajar?".  

Kalau dipikir, benar juga. Dari semua yang telah kita pelajari bertahun-tahun, berapa banyak yang kita ingat? Banyak hal yang kita lupakan dan tidak kita terapkan. Mari kita lihat pendidikan dasar. Banyak pelajaran di pendidikan dasar adalah pendidikan hapalan. Nama pahlawan, tanggal ini tanggal itu, nama propinsi, nama negara, nama lembaga, dan entah apa lagi. Seberapa lama kita akan ingat? Hanya sebentar.

Pertanyaan selanjutnya, kalau kita mengingat berbagai nama dan tanggal tersebut; apakah itu berguna dalam pekerjaan? Secara umum, tidak. Jadi, banyak pelajaran yang terkait dengan memorizing data tersebut tidak berguna. Cerdas cermat atau apapun namanya yang menguji kemampuan menghapal nama dan tanggal tersebut amat terbatas manfaatnya.

Mari kita kaitkan itu dengan prestise berbagai SD (sekolah dasar) dan uang sekolah. Memenangkan cerdas cermat dengan menjawab pertanyaan hapalan akan dipakai untuk iklankan sekolah yang bersangkutan. Kalau sering memenangkan cerdas cermat seperti itu, marketer sekolah tersebut akan meramunya untuk justifikasi biaya sekolah yang mahal. Saya tak mau terpukau dengan jualan seperti itu. Tujuan utama pendidikan dasar bukan menghapal pengetahuan.

Saya acu lagi tujuan pendidikan yang saya tulis sebelumnya. Tujuan utama pendidikan adalah untuk 'Membentuk individu yang mampu hidup mandiri'. Saya rinci tujuan tersebut untuk pendidikan primer/dasar.

Salah satu wujud mampu hidup mandiri adalah 'survival skills.' Skills ini mencakup berenang, bersepeda, dan bela diri. Skills ini yang justru mutlak perlu ditumbuhkan di SD; selain skill calistung (baca, tulis, hitung). Jangan sampai ada siswa yang normal (tanpa cacat fisik dan cacat mental) tidak mampu berenang, tidak mampu bersepeda, dan tidak mampu bela diri dasar setelah lulus SD. Skill bela diri (atau at least, meloloskan diri) perlu untuk dapat lolos dari pedofil.

Tujuan primer pendidikan adalah 'Membentuk individu yang mampu hidup berkelompok'. Dalam hidup berkelompok, siswa SD perlu menghormati orangtua. Siswa diajar untuk demikian, dan 'dihajar' bila berlaku kurang ajar. Dua tujuan ini - primer dan sekunder - sulit dilakukan, tapi harus.

Mengapa sulit? Karena untuk kadar tertentu ada konflik. Menghormati orangtua mengimplikasikan trust dari anak ke orangtua. Kita sebagai orangtua 'demand' anak kita yang masih SD percaya kepada kita kan? Di sisi lain, bila kita ingin anak kita mampu lolos dari upaya perkosaan oleh pedofil - terutama yang dilakukan orangtua kandung/keluarga dekat atau bahkan guru sendiri - maka kita perlu tanamkan sikap distrust/waspada ke anak kita. Balancing kadar trust ini sulit.

'Membentuk invididu yang mampu hidup mandiri dan berkelompok' mensyaratkan bahwa siswa SD bermain, menikmati masa sekolah, menikmati masa kecil. Menikmati masa-masa tersebut membantu menumbuhkan kepribadian yang baik. Pendidikan primer harus dibuat untuk tidak terlalu berat, untuk tidak dibebani dengan membuat anak-anak menjadi jenius, kaya pengetahuan, dan lain-lain. 

Mereka diberi ruang untuk bermain, bertetangga, berkelahi, mengekspresikan diri dan ide. Balancing semua hal itu dengan menghormati siswa seumurnya dan orang yang lebih tua merupakan hal yang penting untuk 'membentuk invididu yang mampu hidup mandiri dan berkelompok'; untuk mencapai tujuan pendidikan dasar. Skills yang ditumbuhkan (calistung, survival skills, sikap hormat dan waspada) akan bertahan lama dan useful saat bekerja; bukan merupakan hapalan yang bertahan singkat dan useless saat bekerja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun