Mohon tunggu...
Pendidikan Pilihan

Resultante Fungsi Kediklatan dalam Perspektif Hukum Minimum

14 Agustus 2014   19:36 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:33 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Sudah menjadi takdir bahwa birokrasi kita seumpama kapal besar yang berat, gemuk, lamban dan tentunya susah bermanuver. Di samping itu, organisasi raksasa ini kondisinya stabil, kuat dan mapan. Keadaan seperti ini membuat organisasi tersebut sulit (tidak mau) dirubah dan enggan merubah diri tapi cenderung mempertahankan status quo. Dibutuhkan daya upaya yang keras tapi perlahan dan tidak radikal agar tidak mengalami resistensi yang sifatnya justru merusak. Namun, seiring waktu berjalan, organisasi yang semakin hari bobotnya bertambah ini akan lebih rentan terhadap penyakit organisasi baik yang berasal dari dalam maupun dari luar tubuhnya.Berbagai persoalan hubungan internal̶pribadi dan kedinasan ̶ hingga pelayanan publik masih tetap menjadi sorotan bagi peningkatan kinerjasuatu organisasi pemerintah. Pegawai pemerintah adalah pelayan/abdi masyarakat dan negara. Aparatur negara seyogyanya tidak minta dilayani masyarakat tetapi harus mengedepankan kepentingan masyarakat dan negara di atas segalanya.

Ada pihak-pihak yang berpendapat bahwa istilah abdi negara dan abdi masyarakat kuranglah tepat karena pengertian abdi biasanya kepada mereka yang harus selalu patuh dan tunduk terhadap perintah majikan tanpa berhak menyaring apalagi mempertanyakannya. Kesejahteraannya, haknya untuk maju dan berkembang, mengemukakan pendapat sangat terbatas dan subjektif. Seorang abdi memiliki posisi tawar yang rendah! Di sisi lain, seorang abdi memikul tugas dan tanggung jawab yang besar. Ketimpangan antara hak dan kewajiban ini dapat melahirkan bias dan penolakan dalam rangka menjalankan tugas pelayanannya.

Memang masih menjadi bahan perdebatan dimana insentif yang diterima seorang PNS hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan selama 2 (dua) minggu saja tetapi tetap saja banyak orang yang mau menempuh segala cara hanya untuk menjadi seorang PNS. Faktor kemapanan, status sosial merupakan cap sosial yang cukup membanggakan dan jaminan hari tua (pensiun) yang menenangkan. Jadi, menjadi seorang PNS adalah menyangkut harga diri dan kehormatan. Menjadi dua hal yang sangat bertolak belakang apabila ”harga diri dan kehormatan” dipadankan dengan ”abdi masyarakat”. Bagaimana mungkin seorang yang memiliki dan menjaga harga diri serta kehormatannya mau menjadi ”abdi masyarakat”. Memang mengabdikan diri dalam melayani masyarakat tidaklah serta merta menurunkan harga diri dan kehormatan seseorang. Justru sebaliknya, ketulusan dalam memberikan pelayanan ini mampu meningkatkan harga diri dan kehormatannya.Kalau demikian berarti ada sesuatu yang salah dalam pola pikir yang selama ini tercermin dalam pola tindak seorang PNS. Kristalisasi pola pikir yang keliru ini perlu disusun ulang (reset). Sejatinya harga diri dan kehormatan itu tidak diartikan secara sempit namun seorang birokrat harus memiliki ketulusan, kejujuran, rendah hati dan integritas yang tinggi serta mengedepankan pelayanan prima kepada publik sebagai wujud dari hasil kerja birokrasi yang profesional, berdedikasi, dan memiliki standar nilai moral yang tinggi.

Hukum Minimum Liebig: Faktor Pembatas

Justus Von Liebig (1803 - 1873), yang dikenal sebagai Bapak Industri Pupukmenyatakan bahwa keseimbangan dan kelengkapan/keutuhan itu sangat penting. Dia mengatakan bahwa sesuatu yang kecil (mikro) bukan berarti tidak penting atau tidak berpengaruh. Asas proporsionalitasnya sangat kental. Beliau memformulasikan Hukum Minimum (The Law of The Minimum) yang bunyinya: if one crop nutrient is missing or deficient, plant growth will be poor, even if the other elements are abundant. Secara sederhana kondisi ini dapat diilustrasikan dengan suatu proseskimia dimana kecepatan suatu senyawa bereaksi ditentukan oleh unsur yang paling lambat bereaksi. Liebig mengibaratkannya dengan apik seperti sebuah gentong/drum yang sisi-sisinya tersusun oleh bilah-bilah papan yang tidak sama panjang. Hasilnya, daya tampung atau kapasitas gentong tersebut dibatasi oleh sisi bilah papan yang paling pendek, disebut sebagai faktor pembatas (limiting factor(s)). Faktor-faktor pembatas ini adalah salah satu (atau lebih) dari aspek-aspek sistem penyelenggaraan pemerintahan yaitu kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business process), dan sumberdaya manusia aparatur (Peraturan MenegPan No. PER/15/M.PAN/7/2008). Tiap-tiap aspek ini dibentuk dan dibangun dari apa yang kita kenal dengan faktor input yaitu unsur 5M (men, method, minute, money, machine). Kualitas output (keluaran) dari kelima faktor input ini ditentukan oleh unsur terlemah dari 5 unsur penyusunnya.Inefisiensi akan terjadi apabila faktor input lebih besar dari outputnya. Jadi, kapasitas gentong tersebut hanya dapat ditingkatkan dengan memanjangkan bilah papan yang terpendek tadi. Bila bilah papan tersebut sudah diperpanjang maka bilah papan lain akan ganti menjadi faktor pembatas yang baru. Demikian seterusnya sehingga terjadi dinamika dalam organisasi. Keseragaman tinggi dari bilah-bilah papan tersebut diharapkan mampu memperkecil volume (baca: potensi) hasil yang terbuang percuma (inefisiensi).

Sama halnya dengan proses diklat dimana peningkatan mutu diklat sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur penyusun diklat yaitu peserta diklat , widyaiswara dan penyelenggara serta unsur pendukung lainnya. Lemahnya salah satu atau lebih unsur penyusun ini akan mempengaruhi hasil akhir diklat. Proses-proses monitoring dan evaluasi, koordinasi dan revitalisasi secara holistik dan rutin akan mampu meningkatkan efisiensi dan efektifitas diklat sehingga diharapkan maksud dan tujuan serta misi pelatihan tersebut tercapai. Pencapaian tujuan pembelajaran haruslah berorientasi proses bukan hasil. Karena proses yang baik akan memberikan hasil yang baik, sedang hasil yang baik belum tentu prosesnya baik. Jadi, Pembelajaran adalah proses. Di dalam proses tersebut ada dinamika. Dinamika ini akan terus berlanjut hingga pada suatu saat mencapai/ menuju titik kesetimbangan pencapaian kapasitas optimum.

Resultante Faktor-Faktor dalamProses Diklat

Perencanaan yang baik akan memberikan hasil yang baik pula. Bagaimana faktor-faktor input itu dikelola akan memberikan gambaran output nantinya. Dalam kegiatan keproyekan, faktor-faktor 5M (men, method, minute, money, machine) merupakan “bilah-bilah papan” yang harus dikelola dengan baik. Bila dilaksanakan sesuai dengan prosedur diharapkan akan memberikan hasil dan dampak yang riil bagi pengguna dan bahkan bermanfaat setelah diterapkan di wilayah kerja masing-masing. Ke-5 faktor ini saling terkait dan ketergantungan satu sama lain. Tingginya kompetensi SDM tidak akan nyata apabila metode/alat bantu atau pendanaan tidak layak. Atau, alokasi waktu yang panjang tidak akan efektif bila metodenya tidak baik. Artinya efisiensi dan efektifitas diklat akan terjaga apabila faktor-faktor tersebut di atas bekerja dengan baik. Hal ini dimungkinkan bila ada koordinasi, kerjasama yang bertanggung jawab dan bertanggung gugat antar parapihak. Dibutuhkan komitmen bersama dalam melaksanakan tugas ini. Surat Edaran No. SE 01/Menhut-II/2007 tanggal 13 april 2007 tentang Sembilan Nilai Dasar Rimbawan yang merupakan komitmen spiritual rimbawan kiranya mampu mengawal tanggung jawab bersama ini.Dalam hubungannya dengan diklat, sebagian dari faktor-faktor 5M ini secara ringkas dijabarkan sebagai berikut di bawah ini.

a.Identifikasi Kebutuhan Diklat/IKD

Kesuksesan penyelenggaran diklat (administrasi dan mutu diklat) dipandang sebagai resultante dari berbagai faktor-faktor yang bekerja di dalamnya. Multifaktor ini dapat berasal dari lingkungan internal diklatdan lingkungan eksternal diklat.Bila kita ilustrasikan dengan contoh gambar 1. di atas maka bilah-bilah papan tersebut adalah widyaiswara, kurilukum & silabus, peserta diklat, panitia diklat, alat bantu pembelajaran, metode pembelajaran, sarana dan prasarana diklat, kebijakan internal di bidang diklat, kebijakan eksternal di luar diklat, serta faktor penunjang lainnya.Maka peningkatan mutu diklat dapat dilakukan melalui identifikasi dan mengenali faktor pembatas dalam suatu proses diklat.

Bila memperhatikan siklus diklat, terlihat jelas bahwa proses awal pelaksanaan diklat dimulai dari kegiatan Identifikasi Kebutuhan Diklat (IKD). Disebutkan bahwa perencanaan awal yang baik akan memberikan keluaran yang baik pula. Sedikit ironis bahwa pelaksanaan IKD selama ini terkesan hanya sebagai formalitas saja yang digambarkan dari waktu pelaksanaan kurang terjadwal dan tidak secara rutin (periodik) dilakukan. Pelaksanaan IKD dan Evaluasi Pasca Diklat (EPD) merupakan satu kesatuan paket yang seyogyanya dilaksanakan secara berurutan. Hasil EPD akan kurang bermanfaat apabila hasil kegiatan IKD tidak dilaksanakan dan sebaliknya. Pelaksanaan IKD mestinya didasari oleh hasil yang diperoleh dari EPD dan pelaksanaan EPD adalah upaya penilaian melalui monitoring dan evaluasi yang dilakukan untuk mengetahui tingkat efektifitas dan efisiensi diklat yang telah dilaksanakan.

b.Peningkatan Kompetensi Widyaiswara

Widyaiswara merupakan pihak yang secara langsung berhubungan dengan peserta diklat. Widyaiswara memiliki tugas pokok dan fungsi untuk mendidik, mengajar dan melatih (dikjatih) peserta diklat. Kini widyaiswara digelari sebagai agent of change. Garbage in, garbage out adalah ilustrasi yang tepat bagaimana peran dan tugas seorang widyaiswara sebagai fasilitator dalam menciptakan proses pembelajaran yang baik dan benar. Untuk itu, peningkatan kompetensi bagi widyaiswara adalah suatu keharusan yang tidak bisa ditawar lagi. Salah satu upaya peningkatan kompetensi yang kini sedang hangat dibicarakan adalah sertifikasi. Sertifikasi sangat erat hubungannya dengan kompetensi. Sertifikasi ditujukan untuk menelurkan widyaiswara yang cakap di bidangnya alias profesional. Profesional adalah kemampuan konseptual, analisis dan teknis dalam bekerja yang diperoleh melalui pendidikan atau pelatihan yang dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, berorientasi penghargaan dan kepuasan bersama sehingga keputusan dan tindakannya didasari atas rasionalitas dan etika profesi (SE No. 01/Menhut-II/2007). Namun ada hal yang perlu diingat bahwa menjadi seorang profesional menuntut konsekwensi logis. Sebagai seorang widyaiswara karir, penulis juga berpendapat bahwa seorang profesional itu adalahseorang yang well-educated, well paid. Artinya selain aspek kemampuan, faktor peningkatan kesejahteraan widyaiswara secara bersamaan juga harus masuk dalam agenda.

c.Sarana dan Prasarana Diklat

ØMetode dan Alat Bantu Pembelajaran

Sarana pembelajaran yang kurang lengkap sering menjadi kendala. Ketersediaan unit komputer dan LCD sudah merupakan kewajiban saat ini. Pemenuhan kebutuhan akan laboratorium bahasa, perpustakaan yang lengkap serta akses informasi via internet akan sangat menbantu dalam memperlancar proses pembelajaran.

ØRevitalisasi Hutan Pendidikan dan Pelatihan.

Kerap disebut bahwa hutan diklat adalah laboratorium alam yang berperan penting sebagai wadah aktualisasi materi yang diperoleh dalam teori. Seorang filsuf Cina mengatakan bahwa sesuatu itu akan lebih cepat dimengertidan dikuasai apabila sesuatu yang didengar tersebutsekaligus dipraktekkan juga. Idealnya hutan diklat secara spesifik harus mampu mewadahi berbagai keperluan yang berkaitan dengan praktek di lapangan. Demplot-demplot, areal model, tempat-tempatpenangkaran (flora & fauna) , petak ukur permanen (PUP), jalur interpretasi, transek permanen, silvikultur hingga simulasi wajib tersedia.

d.Diklat Berbasis Kebutuhan Lokal

Salah satu permasalahan yang dihadapi di balai diklat adalah kecenderungan menurunnya tingkat partisipasi calon peserta diklat. Seringkali realisasi jumlah peserta tidak memenuhi jumlah yang direncanakan, terutama bagi jenis diklat teknis kehutanan. Ditengarai hal ini disebabkan (salah satunya) oleh kebutuhan dari pengguna (users).Kesan jenis diklat yang sifatnya given atau ditentukan secara top down masih terasa kental. Tingkat dan jenis kebutuhan di setiap wilayah tentunya berbeda yang dicirikan melalui kondisi alam, sosial, ekonomi dan budaya yang tidak sama sehingga homogenisasi jenis diklat rasanya kurang tepat. Penggalian dan pengkajian kebutuhan diklat secara spesifik (local demand) dapat dilakukan melalui perangkat yang telah dibahas diatas. Pelaksanaan IKD dan EPD diharapkan mampu menjawab permasalahan ini. Harapannya diperoleh jenis-jenis diklatyang berbasis kebutuhan lokal hinggamampu meningkatkan tingkat partisipasi calon peserta diklat yang akhir-akhir ini sudah mengkhawatirkan. Akan lebih dinamis bila ditawarkan jenis diklat-diklat anyar dan update.

e.Peningkatan Koordinasi Secara Horisontal

Hal penting lainnya yang dirasakan semakin hari cenderung melemah adalah semakin menurunnya koordinasi antara Balai Diklat Kehutanan dengan instansi-instansi pengguna (users), terutama yang berasal dari dinas - dinas kabupaten /kota di wilayah pelayanan. Hal ini dimungkinkan dampak dari otonomi daerah dan semakin langkanya kesempatan untuk berkomunikasi melalui rakorbangda, seminar-seminar atau bentuk-bentuk forum komunikasi lain. Alhasil, masing-masing berjalan sesuai dengan agenda sendiri.

f.Kesimpulan

a.Identifikasi Kebutuhan Diklat (IKD) wajib dilaksanakan sebelum merencanakan program diklat.

b.Peningkatan efisiensi dan efektifitas diklat dilaksanakan dengan mengelola faktor-faktor 5 M (men, method, minute, money, machine) dengan bertanggung jawab dan bertanggung gugat, jujur serta transparan.

c.Kompetensi widyaiswara dilakukan melalui mekanisme sertifikasi.

d.Sarana dan prasarana diklat seperti alat bantu pembelajaran, pengembangan hutan diklat merupakan faktor penunjang yang penting dalam memperlancar proses pembelajaran.

e.Jenis diklat didasarkan pada diklat yang berbasis kebutuhan lokal.

f.Peningkatan koordinasi secara horisontal sudah sangat mendesak untuk dilakukan.

g.Rekomendasi

a.Kegiatan IKD dan EPD sebaiknya dilakukan secara rutin dan berkelanjutan.

b.Penyelenggaraan diklat dilakukan secara jujur, transparan, dan holistik.

c.Guna mendapat masukan, saran dan perbaikan ke depan, evaluasi penyelenggaraan diklat secara internal harus secara periodik dilakukan melibatkan semua unsur dalam penyelenggaraan diklat.

h.Penutup

Pengelolaan diklat yang baik dan benar (jujur dan transparan) merupakan tanggung jawab bersama semua pihak. Efisiensi dan efektifitas diklat hanya dapat ditingkatkan apabila faktor-faktor 5M dikelola dengan baik.

Referensi

1.http://www.microsoil.com/liebigs_law_of_the_minimum.htm

2.Surat Edaran Menteri Kehutanan No. SE. 01/Menhut-II/2007 tanggal 13 April 2007 tentang Sembilan Nilai Dasar Rimbawan.

3.____., 2002. Desain Pelatihan. Bahan Ajar Diklat TOT Desain Pelatihan. Pusdiklat Kehutanan. Bogor

oleh: Bernard T.F Pangaribuan

Widyaiswara Balai Diklat Kehutanan P. Siantar

Jl. Bali No. 12 Pematang Siantar 21142

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun