Usulan Denny Indrayana agar Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) yang memberikan hak impunitas atau pemberian pembebasan serta pengecualian dari tuntutan atau hukuman bagi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tampaknya bisa menjadi solusi bagi kisruh KPK dengan Polri, sekaligus menyelamatkan KPK.
Pasalnya, kejadian akhir-akhir ini sangat memprihatinkan karena satu demi satu pimpinan KPK disibukkan dengan persoalan hukum pribadi masa lalu yang terkesan dicari-cari dan nyaris tidak masuk akal. Kasus yang digunakan untuk menjerat Bambang Widjojanto (BW) sebagai contoh. Aneh, karena peristiwa itu terjadi tahun 2010 tetapi dilaporkan 2015. Lalu, dalam hitungan hari sudah naik ke tingkat penyidikan, lalu ditangkap. Begitu juga laporan terhadap Adnan Pandu Praja tak kalah janggal, peritiwa yang dilaporkan terjadi tahun 2006. Upaya serupa pun diduga tengah diarahkan kepada Ketua KPK Abraham Samad, maupun Wakil Ketua KPK Zulkarnain. Jika terus dibiarkan, kondisi ini dipastikan akan menghancurkan KPK karena karena konsentrasi pimpinannya menjadi terganggu.
Kriminalisasi terhadap pimpinan KPK bukan hanya menimpa BW dan Adnan Pandu serta Abraham Samad. Sebelumnya, Ketua KPK Antasari Azhar masih di penjara, dan pada 2009 lalu Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto ditahan Bareksrim Polri saat itu atas kasus penyalahgunaan wewenang yang dikenal dengan cicak versus buaya. Tahun 2012, penyidik KPK Novel Baswedan dijadikan tersangka kasus penganiayaan pada 2012, kini giliran Wakil Ketua KPK BW tersangka, kala menangani kasus Djoko Soesilo.
Bukan saja konsentrasi yang terganggu, kriminalisasi akan mengakibatkan demoralisasi atau bahkan traumatik di internal KPK dalam mengusut perkara-perkara korupsi. Selain itu, Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas akan ketakutan untuk bergabung dengan KPK, karena rawan kriminalisasi serta akan berhadapan dengan para koruptor kakap yang bisa jadi juga petinggi hukum. Lagi pula, tahun 2015 ini akan terjadi pergantian atau rekrutmen pimpinan KPK yang baru, lantas siapa yang akan melamar jika rawan kriminalisasi? Maka, kriminalasasi yang terjadi saat ini bukan saja terhadap personil di KPK, tetapi pembunuhan karakter KPK.
Tentu saja kita tidak serta-merta menstigma apa yang dialami pimpinan KPK kali ini sebagai bagian dari perlawanan koruptor, namun secara umum fenomena mungkin saja terjadi dalam perang melawan koruptor yang memang pejabat negara, dan memegang kekuasaan yang dapat saja digunakan untuk melindungi diri. Bagaimana pun, tantangan yang dihadapi akan semakin besar jika yang dibidik adalah pejabat di bidang hukum, misalnya Jenderal Polisi. Hal ini karena pejabat tersebut memiliki kewenangan melakukan tindakan hukum untuk menyerang balik, sekalipun sarat rekayasa.
Oleh karena itu, hak imunitas bagi pimpinan KPK sudah saatnya direalisasikan namun dengan batasan yang jelas. Secara teknis pengaturan soal hak imunitas tersebut bisa dituangkan dalam produk hukum Perppu yang bisa segera dikeluarkan oleh Presiden untuk kemudian diminta disetujui oleh DPR. Meskipun beberapa hari ini ada anggota DPR yang menolak usulan Perppu ini, para anggota DPR dapat menggunakan haknya dalam proses politik di masa persidangan berikutnya. Namun Perppu ini urgen untuk menyelelamatkan KPK saat ini dimana BG BW status tersangka, Adnan Pandu dilaporkan, Abraham Samad tengah dibidik.
Perppu itu kiranya mengatur jaminan agar pimpinan KPK tidak bisa dituntut secara pidana atas perbuatan hukum yang ia lakukan sebelum menjabat. Perlu digarisbawahi, hak imunitas itu hanya berlaku sepanjang masa jabatan dan akan hilang dengan sendirinya jika tidak lagi menjabat sebagai pimpinan KPK. Dengan demikian Perppu tersebut tidak akan melanggar azas kesamaan di muka hukum (equality before the law). Dengan hak imunitas ini maka pimpinan KPK bisa konsentrasi penuh menyelesaikan tugas-tugasnya yang begitu berat tanpa takut mendapatkan persoalan atas peristiwa hukum yang terjadi bertahun-tahun sebelumnya.
Pemberian hak imunitas ini, sejalan dengan penyempurnaan proses seleksi pimpinan KPK, baik di tingkat panitia seleksi maupun DPR. Sehingga orang-orang yang sejak awal terdeteksi bermasalah harus sudah dinyatakan gugur terlebih dahulu dalam proses seleksi. Demikian juga, calon-calon pimpinan KPK yang melamar tidak trauma atas kejadian-kejadian yang menimpa pimpinan KPK sebelumnya seperti Antasari, Bibit, Chandra, Novel Baswedan, dan BW.
Hak imunitas atau perlindungan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi bukan merupakan hal baru bagi kita. Selama ini sudah ada perlindungan hukum yang diberikan kepada saksi pelapor kasus korupsi. Pasal 10 ayat (1) UU 13/2006 yang menyatakan, saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya. Selain itu, Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan, KPK berkewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi.
Sehingga, jika saksi, korban dan pelapor saja medapat perlindungan hukum dan imunitas, maka sangat wajar jika pimpinan KPK pun para stafnya, mendapatkan hal yang sama, bahkan lebih luas dari itu. Hak imunitas untuk pimpinan dan staf KPK mendesak karena saat ini pimpinan KPK tengah 'dikerjain' satu persatu dengan masalah yang “tidak penting”. Diharapkan, dengan Perppu ini, imunitas bagi pimpinan KPK diperoleh selama menjabat sehingga pimpinan KPK nyaman melaksanakan tugasnya, dan KPK terselamatkan, dan efektif memberantas korupsi.
Bandung, 25 Januari 2015
Bernard Simamora