Pengumuman Kabinet Jokowi-JK yang dinamai Kabinet Kerja telah dilakukan Minggu, 26 Oktober lalu, sarat simbolisasi. Beberapa simbol yang kasat mata adalah tempat pelaksanaan pengumuman, kesederhanaan acara pengumuman, busana, pemanggilan menteri, respon menteri saat dipanggil, dan seterusnya. Apa sih makna simbol-simbol itu dan apakah simbol-simbol itu dapat dimaknai dengan pengertian yang sama oleh seluruh lapisan masyarakat? Tegasnya, apakah komunikasi Jokowi lewat simbolisasi ini bakal berhasil?
Pemilihan tempat dan prosesi pengumuman kabinet di halaman Istana negara dan sangat sederhana menujukkan bahwa substansi penunjukan menteri adalah pada kinerja nantinya, bukan pada prosesi dan upacara seremonial. Kedua, penampilan Presiden dan Wapres serta menteri-menteri yang mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam dengan lengan kemeja dilipat dapat dibaca sebagai simbol kesederhanaan, ketulusan, abdi, semuanya demi kepentingan orang banyak dan tidak mencari keuntungan pribadi. Jabatan menteri memang hebat, tetapi bukan untuk keuntungan pribadi sang menteri. Ketiga, lengan baju dising-singkan dan siap bekerja keras. Keempat, menteri yang dipanggil berlari menuju barisan menyimbolkan kesiapan bekerja dengan cepat dan sigap. Kelima, pemanggilan bukan sekedar nama tetapi disertai uraian singkat presiden tentang prestasi atau “kehebatan” setiap menterinya, menyiratkan profesionalisme dibarengi tuntutan dan tanggung jawabnya kelak sebagai menteri. Keenam, dan seterusnya, seperti kata presiden, “kerja, kerja, dan kerja!”
Dalam rapat Kabinet Kerja pertama, Jokowi juga menegaskan, tidak perlu ada visi dan misi masing-masing kementerian, tetapi yang ada adalah visi misi presiden. Hal ini menegaskan, posisi menteri sebagai pembantu presiden, dan kementerian adalah himpunan bagian dari kepresidenan secara integratif, tidak ada kementerian yang berjalan sendiri-sendiri seperti dalam kabinet SBY.
Simbol kerap digunakan manusia untuk mengkomunikasikan banyak hal. Simbol tak hanya dalam bentuk aksara atau benda kasat mata, tetapi juga melalui gerakan dan ucapan, pun tempat. Simbol juga dijadikan sebagai salah satu infrastruktur komunikasi, yang dikenal dengan bahasa simbol. Bahasa simbol adalah bahasa yang digunakan untuk menerjemahkan ide, emosi atau keinginan atau peristiwa ke dalam simbolisasi. Bahasa simbol adalah bahasa makna.
Salah satu style Presiden Jokowi dalam berbagai action-nya, ia kerap menggunakan bahasa simbol sejak terpilih menjadi Gubernur DKI hingga menjadi Presiden. Salah satunya dalam pelantikan pejabat. Bila dulu pejabat lebih sering dilantik di Balaikota atau di gedung-gedung mewah, Jokowi justru memilih melantik pejabat di tempat-tempat unik, dan umumnya dekat dengan permukiman warga. Tampak Jokowi hendak mengisyaratkan maksud, agar pejabat senantiasa memahami persoalan rakyat dan lingkungannya.
Sebagai Gubernur DKI, Jokowi melantik Krisdianto dan Husein Murad menjadi Wali Kota dan Wakil Wali Kota Jakarta Timur tanggal 20 Desember 2012 lalu di sebuah kampung kumuh di Jakarta Timur. Kemudian, Jokowi juga melantik Wali Kota Jakarta Selatan Syamsudin Noor di kawasan wisata Setu Babakan. Jokowi beralasan, "Pelantikan di kampung karena permasalahan ada di sini." Dengan pelantikan ini, ia menagih keduanya untuk bisa menyelesaikan permasalahan di tingkat paling dasar pada wilayah yang dipimpinnya.
Pada 5 Juni 2013, Jokowi melantik Wali Kota Jakarta Barat saat itu, Fatahillah, di Rumah Susun Tambora. Selanjutnya, Jokowi melantik Bupati Kepulauan Seribu Asep Syarifudin di Pulau Pari. Pada 13 Januari 2014, Heru Budi Hartono sebagai Wali Kota Jakarta Utara dilantik Jokowi di pinggir Danau Cincin, Kelurahan Papanggo, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Pelantikan di pinggir Danau Cincin dilakukan agar mereka dapat segera menyelesaikan persoalan yang terdapat di tempat pelantikan tersebut. "Di sini kan sertifikatnya bermasalah," kata Jokowi seraya menerangkan bahwa, sudah hampir 11 tahun, persoalan tersebut menggantung, dan pembangunan stadion mangkrak. "Urusan ini harus segera diselesaikan oleh wali kota baru. Stadion (harus) segera dibangun."
Pelantikan Syamsudin Noor sebagai Wali Kota Jakarta Selatan pada Rabu 15 Mei 2013 diadakan di Kampung Betawi di Setu Babakan, Jakarta Selatan. "Untuk mengingatkan perlunya sebuah kampung asli Betawi, perlunya sebuah kota yang punya karakter dan identitas yang jelas," ujar Jokowi di Balaikota Jakarta, kala itu. Jokowi mengatakan, Setu Babakan merupakan salah satu dari sekian banyak identitas budaya Betawi yang masih bertahan di Jakarta. Oleh sebab itu, Jokowi berharap agar wali kota baru mampu mempertahankan sekaligus mengembangkan karakter budaya asli Jakarta di daerah Setu Babakan, Jakarta Selatan, itu.
Pemilihan tempat yang dipergunakan Jokowi untuk melantik para pejabat di lingkungan Pemprov DKI Jakarta itu, disadari atau tidak, telah mengisyaratkan pesan yang hendak disampaikan Jokowi kepada para pejabat yang dilantik dan juga khalayak, adalah harapan agar para pejabat yang dilantik mengerti dan menjadi problem solver persoalan yang dihadapi masyarakat setempat, setidaknya di daerah tempat dia dilantik.
Kebiasaan Jokowi menggunakan simbol kala masih jadi Gubernur DKI Jakarta pun berlanjut ketika diperintah oleh Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri menjadi capres 2014. Jokowi mengatakan siap maju, lantas menyampaikan deklarasi diri di rumah Si Pitung, di Marunda Pulo, Cilincing, Jakarta Utara. Jokowi tampaknya, memilih mendeklarasikan diri di rumah "Robin Hood" dari Betawi karena rumah itu merupakan simbol perlawanan terhadap kemiskinan dan keterbelakangan.
Kita Tahu, si Pitung adalah salah satu pendekar Betawi yang berasal dari kampung Rawabelong, Jakarta Barat. Selain itu, Si Pitung menggambarkan sosok pendekar yang suka membela kebenaran dalam menghadapi ketidakadilan yang ditimbulkan oleh penguasa Hindia Belanda pada masa itu. Kisah pendekar Si Pitung ini diyakini nyata oleh para tokoh masyarakat Betawi, terutama di daerah Kampung Marunda, tempat yang terdapat rumah dan masjid lama. Deklarasi kesiapan menjadi calon presiden yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Jokowi di rumah Si Pitung itu pun menuai protes dari organisasi Badan Musyawarah Masyarakat Betawi.
Muhammad Rifky, salah seorang Tokoh menyatakan keberatan, dan meminta agar Jokowi segera meminta maaf kepada masyarakat Betawi karena Gubernur DKI ini telah menggunakan nama pahlawan Si Pitung untuk kepentingan politik. Selain itu, menurut Rifky, Rumah Pitung merupakan cagar budaya, yang tidak seharusnya tidak dijadikan tempat deklarasi pencapresan suatu kelompok tertentu. Mendengar tuntutan tersebut, Jokowi tak banyak berkomentar dan menilai anggapan tersebut salah kaprah. Simbol perlawanan yang Jokowi maksud bukanlah melawan capres-capres lain.
"Kok melawan capres lain, kita ini maju semuanya untuk membawa perubahan. Simbol perlawanan yang dimaksud itu perlawanan terhadap kemiskinan, perlawanan terhadap neo liberalisme, terhadap itu, bukan lawan capres lain," ujar Jokowi seusai berkampanye di Kota Gajah, Lampung Tengah, Maret 2014 lalu.
Tentu kita masih ketika Jokowi membacakan pidato kemenangannya di Pelabuhan Sunda Kelapa di atas Kapal Pinisi 22 Juli 2014 lalu. Simbol yang diisyaratkan Jokowi saat itu lebih kurang sama dengan pidato pelantikannya yang hendak mengembangkan karakter kemaritiman untuk dijadikan sebagai pola pikir dalam pembangunan. Indonesia harus mengolah potensi kelautan supaya menjadi negara bahari. Karakter bahari juga dia harapkan bisa terpatri dalam diri masyarakatnya.
Jokowi mengumumkan kemenangannya di Pelabuhan Sunda Kelapa, pantas dikaitkan dengan sejarah pada zaman Hindia Belanda, Selat Sunda diibaratkan sebagai World Trade Center, pusat perdagangan dunia, dari Eropa, India, dan Tiongkok. Selain itu, Sunda Kelapa yang sekarang dinamakan Jakarta merupakan kota yang erat dengan Jokowi. Dia mengimplementasikan gagasan dan tindakannya yang progresif di Jakarta ini. Jadi, tidak heran jika Jokowi, Jakarta, dan maritim adalah konsep yang akan menjadi cetak biru perkembangan Indonesia lima tahun ke depan.
Tentu saja, tidak ada masalah dengan simbol-simbol yang diisyaratkan Jokowi dalam bekerja. Meskipun simbol bukanlah nilai itu sendiri, simbol sangatlah dibutuhkan untuk kepentingan penghayatan terhadap nilai-nilai yang diwakilinya. Tetapi, tidak semua orang menyukai bahasa simbol sebab ada yang menganggap bertele-tele atau berlebihan. Apalagi jika terlalu sering diucapkan, bahasa itu bisa jadi justru akan membosankan. Simbol lagi, simbol lagi!
Manusia memang sering terjebak pada kulit, dan menganggap simbol merupakan substansi. Padahal, simbol hanyalah isyarat yang harus dimaknai secara arif. Memahami bahasa simbol yang diisyaratkan Jokowi adalah memahami kedalaman seorang pemikir sekaligus pekerja yang tidak hanya bicara tentang permukaan, tetapi juga kedalaman mengenai misi, visi, dan juga filosofi. Selamat bekerja Pak Jokowi dan selamat bekerja para anggota Kabinet Kerja.
(Bernard Simamora, di Bandung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H