Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menelan biaya pemerintah yang besar, tidak sebanding dengan manfaatnya bagi rakyat. Selain dana pemerintah, dana kandidat kepala daerah maupun dana partai akan bertaburan di sana-sini saat syahwat kekuasaan dan politik memuncak.
Jika pada tahun-tahun terakhir ini kita melihat beberapa politikus maupun kepala daerah diseret Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Kejaksaan ke hotel prodeo, harus diakui, perilaku koruptif politisi tidak terlepas dari syahwat politik di legislatif dan kursi kepala daerah yang dinilainya sangat menggiurkan. Jika bukan untuk meraih kursi untuk pertama kali, perilaku koruptif bakal terjadi untuk mempertahankannya. Perilaku koruptif beberapa politisi memang cenderung ada sejak dahulu kala. Namun Pilkada (langsung) telah menyuburkannya sedemikian, jauh melampaui volume dan intensitas dimasa orde baru, saat kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005, dan berlasung sampai sekarang.
Menurut Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (hasil amandemen kedua), yaitu pada Bab VI tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 18, Ayat 1, dinyatakan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.” Saat ini terdapat 34 provinsi di Indonesia yang masing-masing memiliki pemerintahan daerah sendiri yang dikepalai oleh seorang gubernur. Setiap provinsi memiliki lembaga legislatif yang disebut dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) provinsi. Gubernur dan anggota DPRD dipilih melalui suatu pemilihan umum untuk masa jabatan lima tahun.
Kabupaten dan kota memiliki tingkat yang setara serta memiliki pemerintah daerah dan lembaga legislatif sendiri. Secara umum, kabupaten lebih luas daripada kota. Kabupaten dipimpin oleh seorang bupati dengan DPRD kabupaten, sedangkan kota dipimpin oleh seorang wali kota dengan DPD kota. Baik bupati maupun wali kota dipilih melalui proses pemilihan umum. Suatu pengecualian, Jakarta dibagi ke dalam 1 kabupaten administrasi dan 5 kota administrasi yang kesemuanya itu tidak otonom. Kabupaten administrasi dan kota administrasi tidak memiliki DPRD kabupaten/kota. Bupati/wali kotanya pun tidak dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum, melainkan ditunjuk oleh Gubernur Jakarta.
Hingga Desember 2012, Indonesia terdiri dari 410 kabupaten/kabupaten administrasi dan 98 kota/kota administrasi yang tersebar di 34 provinsi. Praktis, sebanyak 409 kabupaten, 93 kota, dan 34 propinsi harus melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sekali dalam 5 tahun. Secara sederhana, dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terjadi 536 Pilkada, atau minimal rata-rata 44 Pilkada per tahun, atau sekiar 1 Pilkada per Minggu.
Dana politik mulai dari puluhan hingga ratusan miliar, yang hanya untuk memilih dua orang kepala dan wakil kepala daerah memang secara ekonomis dan pragmatis sama sekali tidak berpengaruh kepada kesejahteraan rakyat di daerah itu. Hal seperti itu terjadi dalam pemilihan Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, serta pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur di seluruh Indonesia yang berlangsung setiap 5 tahun di masing-masing daerah.
Ambil contoh biaya pemerintah untuk pelaksanaan Pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2013 lebih dari Rp 564 miliar, karena belum termasuk biaya untuk penyampaian visi dan misi para calon dan pelantikan Gubernur terpilih di DPRD, dan biaya-biaya lain seperti biaya pelatikan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih kelak. Berdasarkan putusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumut, Data Pemilih Sementara (DPS) Pemilihan Gubernur Tahun 2013 sebanyak 10.117.187 jiwa.
Mari kita tilik data pada tahun 2005 jumlah anak yang putus sekolah di Sumut mencapai 1.238.437 orang, sementara jumlah siswa miskin mencapai 852.054 orang. Dari total APBD 2006 yang berjumlah Rp 2.204.084.729.000, untuk pendidikan hanya sebesar Rp 139.7 miliar sudah termasuk anggaran untuk bidang kebudayaan. Berapa pun kenaikan APBD saat ini, dana pendidikan tidak akan melampaui dana Pilgub 2013 yang Rp 564 miliar itu. Jika saja dana Pilgub digunakan membiayai siswa miskin sekitar 800.000 orang, maka mereka akan dapat bersekolah
Sementara itu, pergantian kepala dan wakil kepala daerah setiap lima tahun sekali diyakini “nyaris tidak berpengaruh apa-apa” terhadap kesejahteraan rakyat (perekonomian yang bermuara pada pendidikan, kesehatan, hidup yang layak), dalam hal ini Jokowi-Ahok adalah pengecualian. Pilkada saat ini, cenderung telah menjadi perhelatan para elit dan para pendukungnya, dan bukan lagi menjadi pesta demokrasi rakyat.
Tampaknya, seluruh elit bangsa ini dari tingkat pusat sampai daerah, mulai dari politisi sampai akademisi, mulai dari aktivis sampai pejabat negara di lembaga tinggi dan tertinggi negara harus memikirkan kembali bentuk otonomi daerah yang sesuai buat negara besar tercinta ini. Bentuk otonomi daerah yang terlalu kebablasan seyogianya disederhanakan saja hingga tingkat provinsi. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi hiruk pikuk demokrasi pilkada yang tidak menyentuh substansi permasalahan kesejahteraan stake-holder utama bangsa yakni rakyat. Energi untuk berdemokrasi dalam Pilkada menguras biaya, tenaga dan pemikiran yang luar biasa, sementara kenaikan taraf hidup rakyat berjalan di tempat.