Mohon tunggu...
Bernard  Ndruru
Bernard Ndruru Mohon Tunggu... Dosen - Pantha Rhei kai Uden Menei

Pengagum Ideologi Pancasila

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Butterfly Effect Raja Jawa

24 Agustus 2024   10:59 Diperbarui: 24 Agustus 2024   16:28 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Raja Jawa (SUARA INDONEWS.COM)

Konsekuensi perjalanan waktu dan tindakan kecil yang dilakukan di masa lalu dapat menyebabkan efek skala besar di masa yang akan datang

Catatan awal
Butterfly effect adalah  Essence of Chaos yang dicetuskan oleh Edward Norton Lorenz (1993), yang mendasarkan penelitiannya pada sebuah kepakan sayap kecil kupu-kupu yang mampu menimbulkan angin topan dan badai. Dalam teori ini, Lorenz secara metaforis melihat akumulasi tindakan kecil dan sepele mampu memberi efek dasyat yang tidak terprediksi dalam sebuah sistem.
Beberapa hari belakangan ini, dunia perpolitikan nasional Indonesia sedang mengalami guncangan gempa skala "megathrust" yang menimbulkan riak kepanikan, kegamangan dan terkesan "hopeless". Apalagi ketika hal ini dikaitkan dengan peringatan darurat yang beredar masif di media sosial yang mengusung logo Garuda dikanvas biru dengan hastag #peringatan darurat.

Sikap pro dan kontra semakin meluas dikalangan masyarakat. Asumsi yang berkeliaran semakin mengerucut dalam blok-blok yang semakin menajam perbedaannya. Hal tersebut, tentu sah-sah saja dalam dunia demokrasi, dimana semua ide dan persepsi mendapat tempat dan terakomodir dalam anutan sistem demokrasi yang terbuka.
Menjadi pertanyaan, mungkinkah kebijakan-kebijakan esensial dan penting dalam dunia demokrasi NKRI saat ini memuat makna butterfly effect yang dikesankan chaos atau malah memiliki sisi positif menuju peace?

Turbelensi Demokrasi
Putusan MK (Mahkamah Konsitusi) RI terkait RUU Pilkada (60/PUU-XXII/2024) yang membolehkan Partai yang tidak mencukupi 20% boleh mengusung calon di Pilkada 2024 (Kompas, 20/8/2024), menimbulkan turbelensi politik ditingkat Nasional. Putusan MK ini, ada yang melihatnya sebagai bentuk penyelamatan terhadap iklim demokrasi dengan alasan memberi kesempatan kepada partai-partai untuk berpartisipasi dalam konstelasi perpolitikan nasional dan tidak membungkam hak-hak dasar warga negara dihadapan UUD 1945. Sebaliknya, ada juga yang beranggapan bahwa putusan ini belum sepenuhnya inkrah untuk diwujudkan, sehingga mencuatkan reaksi dari Badan Legislasi DPR RI yang mengadakan rapat mendadak (21/8/2024) untuk menganulir keputusan  dengan menambah catatan-catatan perubahan. "Bola Panas" yang menggelinding belum mendapat tempat tetap. Proses anulirisasi putusan MK, masih berjalan hingga saat ini karena penetapannya di Rapat Paripurna DPR RI belum kuorum (Tempo, 22/8/2024).

Siapakah "Raja Jawa"
Bahlil Lahadalia dalam sambutannya setelah terpilih sebagai Ketua Umum Partai  Golkar melalui Munas dan Rapimnas Golkar (20-21/8/2024), nyeletuk dihadapan seluruh Kader Golkar se-Indonesia untuk "jangan bermain-main dengan Raja Jawa jika tidak ingin celaka, ngeri-ngeri sedap barang ini". Walaupun kemudian ketika dikonfirmasi oleh media bahwa itu sebagai candaan politik dan bukan statement politik, tetapi tetap saja memicu intrepretasi persepsi beragam di berbagai kalangan masyarakat (Kompas, 22/8/2024).
Terlepas bahwa itu hanya candaan dan pernyataan sekilas tanpa makna, namun secara psikologis hal itu sarat muatan makna yang dalam. Sebab apa yang keluar melalui ucapan sebagai resonansi dari Id yang sengaja ditekan tapi mencuat melalui ego (Sigmund Freud). Siapakah raja jawa yang diresonansikan oleh Bahlil Lahadalia?
Sepanjang NKRI berdiri dan meraih kemerdekaanya, kepemimpinan struktural tertinggi di Indonesia sampai saat ini masih terkait secara person/individu dengan ke-jawa-an, baik secara kultural maupun locus. Maka secara tersirat, Bahlil mau mengatakan bahwa Raja Jawa adalah  pemimpin tertinggi saat ini di NKRI? Sudah bisa ditebak bahwa yang dimaksud adalah Presiden Joko Widodo.
Frase "jangan bermain-main dengannya jika tidak ingin celaka", merunut pada pertanyaan lanjutan, apa yang salah dengan sikap Raja Jawa? Sekejam itukah raja Jawa dalam memimpin? Setega itukah Raja Jawa yang kita ketahui berdasarkan histori budaya memiliki sikap yang Welas Asih? Menurut buku berjudul 'Ajaran Kepemimpinan Asthabrata', yang ditulis sendiri oleh KGPAA Paku Alam X  berdasarkan naskah-naskah yang disusun sejak pemerintahan Paku Alam I hingga Paku Alam IX. Setidaknya ada 8 watak kepemimpinan yang dimiliki oleh seorang Raya Jawa, yakni: Batara Indra (Peduli pada pendidikan orang-orang yang dipimpinnya); Batara Yama (Bersikap adil dalam penegakan hukum); Batara Surya (Mampu mengusahakan kemakmuran dan kesejahteraan kepada rakyatnya); Batara Candra (Memiliki Karisma yang meneduhkan); Batara Bayu (Memiliki keteguhan dan pendirian); Batara Wisnu (Memiliki kebijaksanaan dan Jiwa Asketis); Batara Brama (Memiliki Jiwa Ksatria yang tangguh); Batara Baruna (memiliki Intelektual dan kerendahan hati untuk terus berbenah). Harapan dan realisasi akan watak kepemimpinan Raja Jawa yang dimaksud diatas, tidak serta merta include dalam pengejawantahannya. Buktinya Raja Amangkurat I mengalami nasib tragis setelah mengabaikan nilai-nilai ke-Batara-an diatas.
Dalam bentuk demokrasi Indonesia yang menganut sistem berbasis Presidensial, karakter kepemimpinan Raja Jawa mendapat tempat yang spesial. Karena simpul dari seluruh kebijakan akan keberpihakan kepada mereka yang dipimpinnya berada dibawah kendalinya. Hal ini tentu tidak mutlak mengingat ruang kekuasaan masih terbagi secara merata melalui konsep trias politica (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang saling mengandaikan (simbiosis). Namun ruang untuk berdialektika tetap ada dengan melekatnya Hak Prerogatif pada diri seorang Presiden.

Butterfly Effect "Raja Jawa"
Kesan pertama yang dimunculkan oleh penggunaan frase butterly effect adalah chaos dan kehancuran yang disebabkan oleh Raja Jawa yang diasosiasikan langsung dengan pengaruh kekuasaan Presiden Joko Widodo. Namun, jika dilihat secara objektif, benarkah demikian? Mari kita runut berdasarkan kejadian-kejadian kecil dan sepele yang luput dari perhatian terhadap esensi nilai yang melekat pada karakter Raja Jawa.
Selama 10 tahun masa kepemimpinannya, Presiden Joko  telah menunjukkan keberpihakan sebagai Raja kepada rakyatnya. Berbagai prestasi telah ditorehkan demi kesinambungan pembangunan (investasi) jangka panjang. Kedaulatan atas nilai Nawacita telah mendapat tempat untuk menyatukan nusantara dari locus marginal, melalui pembangunan infrastruktur. IKN sebagai sentra khatulistiwa bumi Indonesia, menjawab kerinduan Founding Father NKRI Presiden Soekarno, selama 79 tahun merebut kemerdekaan. Disini, tentu ke-Batara-an Presiden Jokowi sebagai "Raja Jawa" sesungguhnya sudah teruji sebagai "Batara Surya".
Keberhasilan ini tentu tidak selamanya mendapat tempat dihati mereka yang berada diluar kekuasaan atau mereka yang pernah berkuasa tapi belum sempat mewujudkan kebutuhan primer bangsa yang memiliki identitas dan kedaulatan. Anulirisasi hukum yang terkesan semena-mena tentu tidak dibenarkan, kecuali menggunakan frase amandemen dengan melibatkan stake holder dalam dinamika peran kesepahaman trias politica.
Kritik demi kritik selalu berdengung keras selama kepemimpinan "Raja Jawa" ini. Hal ini tetap diakomodir beliau sebagai Batara Baruna yang rendah hati. Bahkan ketika beliau tersandera oleh kekuatan Partai tertentu yang mengusungnya, menempatkan dia pada kursi pesakitan dan divideokan sebagai aktor tanpa mahkota. Sisi "Raja Jawa'nya ditelanjangi. 'Raja Jawa' ini tetap patuh. Direndahkan, dihina martabat ke-Batara-annya oleh "raja-raja" yang lain. "Jokowi bukan siapa-siapa tanpa partai ini, Jokowi harus manut sebagai petugas Partai kepada Raja Partai". Tentu, ini terkait dengan pelecehan terhadap esensi Batara Candra yang melekat pada pribadi "Raja Jawa". Keadaban dan akhlak menjadi sirna terhadap simbol kepemimpinan Negara ini. Dihina planga-plongo dan ceking karena jiwa Batara Wisnunya. Dijuluki tukang kayu karena orkestrasinya dalam mewujudkan sisi Batara Indra-nya.
Tentu tidak ada yang sempurna dalam mewujudkan semua sisi ke-Batara-an. Bukan  gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga. Berkaca dari 79 tahun Indonesia mendapat status kedaulatannya sebagai sebuah Negara Merdeka, jika dibandingkan dengan Negara yang menganut Sistem Monarki dan Komunisme sekalipun, apa yang spesifik sudah kita raih dalam meminimalisir pengentasan kemiskinan. Maka "Raja Jawa" yang dimaksud Bahlil menunjukkan sebuah sisi spesifik Batara Bayu dan Brama-nya, melalui keputusan-keputusan dan pengaruh yang melekat pada diri Raja. Hal ini tentu mengesankan penilaian "Raja Jawa" mengabaikan sisi Batara Yama-nya.
Butterfly Effect atas sisi watak Batara Brama "Raja Jawa" ini, tentu  menampar keras kebutuhan elit-elit Partai yang memiliki kepentingan esensial dan spesifik dalam ruang demokrasi. Pertanyaan lanjutan, apakah ini akan berefek pada wong cilik yang hanya bermimpi untuk bertahan hidup saja susah? Pasti ada pembenaran yang logis dari persepsi manapun dilihat, bahwa ini akan berujung pada suasana chaos. Gaung gerakan dan bau amis peristiwa 1998 sudah mulai dihembuskan atas nama demokrasi dengan mengusung #peringatandarurat. Mobilisasi organ-organ yang berkepentingan sudah mulai mengendus titik lemah atas nama perjuangan pengembalian sisi Batara Yama "Raja Jawa".
Sebagai anak bangsa yang cinta akan NKRI, sikap Sense of Belonging harus digalakkan ditengah turbelensi akibat kepentingan elit-elit politik ini. Kesadaran ini akan menjauhkan kita dari perasaan mencekam akibat isu yang berseliweran, dan prasangka buruk atas kejadian yang belum nyata. Berpikir rasional dengan mengabaikan hasutan perasaan semata, tentu akan menciptakan Peace Butterfly Effect.

Catatan Penutup
Mengutip kalimat inspirasi tokoh bangsa Ibu R.A. Kartini, "Habis gelap, terbitlah Terang", layak menjadi sebuah tiang awareness dalam situasi seperti ini. Sesama insan bangsa saling menahan diri untuk tidak mengorbankan sesama dalam konstelasi yang tanpa ujung. Taoisme dalam Yin-Yang sudah berabad lamanya mencetuskan sebuah deskripsi alamiah realitas bahwa pada yang hitam tidak sepenuhnya hitam dan putih tidak sepenuhnya putih. Ada ruang stabilitas untuk melihat kenyataan secara jernih tanpa dikotomi secara multak oleh unsur yang berbeda. Satu hal yang mungkin menjadi penguatan mental untuk kita adalah bahwa sejahat-jahatnya harimau, tidak akan memakan anaknya. Semoga ini menjadi Blesing in Disguise yang mengarah pada Peace Butterfly Effect.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun