Mohon tunggu...
Bernard  Ndruru
Bernard Ndruru Mohon Tunggu... Dosen - Pantha Rhei kai Uden Menei

Pengagum Ideologi Pancasila

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ilusi yang Terpenjara dalam Akun Medsos

5 April 2020   20:43 Diperbarui: 5 April 2020   21:13 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kehadiran medsos dalam bentuk facebook, whatsapp, telegram, IG dll membuat dunia semakin berubah dan semakin terbuka. Siapapun dari kita bisa memiliki akses untuk berpetualang tanpa harus melangkahkan kaki. Cukup isi pulsa dan kuota secukupnya, kita sudah bisa berjalan-jalan mengelilingi dunia dan bisa mengintip kesana-kemari, bahkan ngintip kedalam rumah tetangga (akun) tanpa harus terdeteksi. Asyik tenan.

3 Milliar orang atau sekitar 40% populasi dunia, menggunakan media sosial. Menurut sejumlah laporan, kita menghabiskan rata-rata dua jam setiap hari untuk membagikan, menyukai, menulis cuitan dan memperbaharui perangkat ini. Artinya sekitar setengah juta cuitan dan foto snapchat dibagikan setiap menit.

Hal di atas mencuatkan sisi ambiguitas dan samar. Disisi lain, meretas semua sekat yang ada, tetapi di pihak lain membangun benteng yang menjulang yang membuat jarak antara satu dengan yang lain. Contoh sederhana yang bisa kita lihat adalah bagaimana para pengguna medsos saling berinteraksi tanpa mengenal batas, tanpa mengenal waktu. 

Semua bisa mengungkapkan apapun yang dipikirkan dan diimpikan tanpa ada keraguan apakah hal tersebut sesuai dengan norma yang berlaku atau tidak, logis atau tidak, malah kadang tidak terbersit bahwa ini blunder yang menjadi bumerang untuk diri sendiri. Artinya, medsos hadir tanpa batasan nilai-nilai. Kadang saya berpikir bahwa medsos adalah "Dunia Demokrasi yang sesungguhnya" Wow...

Sisi ambiguitas ini juga secara nyata bisa kita lihat sendiri bagaimana teman sehari-hari yang terlihat kalem dan sangat sopan menjadi sangat garang bak harimau kelaparan di medsos, sanggup mencaci maki, menyudutkan sesama dan menuding sana-sini tanpa tedeng aling-aling hehehe... barangkali, ini hanya puncak gunung es yang menurut Psikoanalisis Freud sebagai ekspresi alam bawah sadar yang terpendam dan ditekan. Artinya, narasi tentang kepribadian seseorang kemungkinan bisa kita lihat dalam ekspresi aware yang muncul dalam mind (pikiran) mewujud di hand (tangan/jari yang menulis di laman medsos).

Akhir-akhir ini kita menyaksikan begitu berseliwerannya ide dan perilaku-perilaku tidak wajar (dalam anutan nilai tertentu). Hal yang sangat miris adalah bahwa melalui medsos, siapa saja boleh menceritakan mimpinya secara bebas tanpa ada perasaan akan diejek atau direndahkan (mimpi gue bukan mimpi loe). Bahkan dalam beberapa momen, individu tertentu yang sedikit paham psikologi massa, menyelipkan mimpi terselubung dalam bungkusan yang indah seolah apa yang dilakukannya adalah benar dalam intensi perjuangan bersama yang tidak boleh ditawar.

Dalam satu dekade terakhir, khususnya di Indonesia, sangat kentara bagaimana medsos menjadi alat ampuh untuk menggiring pendapat publik ke arah mimpi person atau kelompok tertentu dalam menggapai Corona/Latin (Mahkota-kekuasaan). Maka kita jangan heran bahwa dalam konteks perpolitikan kita, khususnya dalam pemilu (Presiden atau Pilkada), seseorang bisa saja menggaet simpati publik dan menang kontestasi karena framing yang dibangun oleh basis pendukung melalui medsos. Luar biasa bukan?

Tentu, hal ini sah-sah saja bila dikaitkan dengan kemampuan bermanuver, apalagi tidak ada hukum yang secara tegas melarang itu. Ini negara demokrasi coey hehehe... Tapi sadarkah kita bahwa hal itu disisi lain hanya sebagai bentuk perilaku hipokrit yang tidak selamanya bisa direalisasikan ketika mimpi semu itu tercapai?

Tadi siang saya bercerita dengan seorang teman melalui telpon yang kebetulan sangat taat pada himbauan pemerintah mengenai PSSB akibat C-19. Dia mengatakan bahwa akhir-akhir ini dia malas buka akun FB nya. Ketika saya tanya alasannya, dia mengatakan bahwa dia bingung akan kebenaran setiap statement teman-temannya. Pasalnya terjadi inkonsistensi dalam berpikir dan bertindak. Setiap saat berubah haluan berpikirnya, hari ini beda besok lebih beda lagi. Lalu saya bertanya, apakah itu cukup menjadi alasan hanya karena itu, jangan-jangan kamu yang gak punya kuota karena gak dapat BLT dari pemerintah? hehehe...

Teman saya itu kemudian menjelaskan bahwa ternyata akun medsos, khususnya FB secara robotik membuat stratifikasi jangkauan pertemanan berdasarkan data pribadi yang kita input pada awal registrasi seperti agama, asal, hobi aliran politik dll. Lho, apa masalahnya dengan itu? Sahutku dengan nada penasaran. 

"Bro, kamu tahu gak (gak tahu kataku dalam hati hehehe), karena homogenisasi robotik itu teman dan saran pertemanan itu-itu saja. Lalu apa masalahnya sahutku? Dengar dulu Bro... Disitu masalahnya, karena teman-teman FB saya ketika ada yang membagikan konten tertentu di laman FBnya, semua satu suara mendukung atau menolak, tidak boleh ada pendapat yang berlawanan. Karena kalau tidak, kita akan menjadi sasaran bullying. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun