Konsumsi musik mengalami perubahan atau pergeseran karena berkembangnya teknologi dan pengaruh globalisasi. Produksi dan konsumsi musik diawali dengan bentuk fisik seperti piringan hitam (vinyl), kaset, CD (sering disebut juga era analog) hingga sekarang sampai pada musik yang tidak terbatas dalam bentuk fisik saja tetapi juga dalam bentuk digital (Dewantara dan Agustin, 2019). Musik juga dapat menunjukkan suatu gaya hidup tertentu dan juga dapat menunjukkan dari kelas sosial seseorang (Irawati, 1992). Soekanto (dalam Wadiyo, 2007) menjelaskan bahwa musik merupakan salah satu simbol, suatu kumpulan aktivitas dan suatu gejala khas yang berasal dari interaksi sosial. Hal yang sama juga terjadi pada era analog, di mana kelas sosial seseorang yang mengkonsumsi musik ditentukan dengan banyaknya koleksi piringan hitam (vinyl), kaset atau CD yang dimiliki. Kelas sosial ini juga dapat terlihat dari genre musik apa yang digemari. Hal ini jelas berkaitan dengan pendapat Pierre Bourdieu bahwa terdapat selera yang merupakan hasil sebuah perolehan kompetensi budaya dan digunakan untuk melegitimasi perbedaan-perbedaan sosial (Harker, Mahar, & Wilkes, 1990).
Ventha Lesmana (dalam Dewantara dan Agustin, 2019) mewakili Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) mengatakan bahwa hampir seluruh masyarakat Indonesia sudah mulai beralih dari konsumsi musik konvensional ke arah konsumsi musik digital. Data dari International Federation of the Phonographic Industry (IFPI) dalam artikel Global Music Report 2016 menjelaskan bahwa dengan meningkatnya jumlah pengguna smartphone dan internet aktif, masyarakat telah mendukung perkembangan industri musik digital, khususnya layanan music streaming services. Industri music streaming services dapat memengaruhi konsumsi musik masyarakat. Hal ini dikarenakan, masyarakat lebih menyukai hal-hal yang praktis, mudah didapatkan dan gratis. Dengan menawarkan ketiga hal itu, masyarakat berbondong-bondong mengunduh aplikasi layanan music streaming services agar dapat menikmati musik di manapun dan kapanpun. Dalam layanan music streaming services ini, masyarakat juga dapat mengikuti musisi, membuat playlist yang berisikan lagu-lagu kesukaan dan hal ini membuat mereka merasa lebih dekat dengan musisinya. Kemudahan yang ditawarkan oleh layanan music streaming services dianggap telah menghapus kelas sosial dalam konsumsi musik. Hal ini dikarenakan semua orang dari kelas sosial manapun dapat mengunduh dan mengaksesnya secara bebas. Namun, sebenarnya tanpa disadari hal tersebut membuat adanya kelas sosial yang baru yaitu dengan adanya penerapan layanan langganan gratis dan langganan VVIP atau Premium.Â
Aplikasi music streaming services Spotify contohnya. Spotify menerapkan adanya perbedaan layanan yaitu layanan Premium dan layanan gratis. Layanan Premium menawarkan layanan bebas iklan dan beberapa privilege lain sehingga saat mendengarkan musik pengguna Spotify tidak terganggu dengan adanya iklan-iklan. Dalam layanan ini, pengguna Spotify dikenai sejumlah biaya yang harus dibayarkan setiap bulannya agar dapat terus mendengarkan musik tanpa terganggu oleh iklan. Sedangkan dalam layanan gratis, pengguna Spotify bergantung pada subsidi iklan serta memiliki batasan-batasan. Batasan-batasan tersebut seperti terganggu iklan, tidak dapat memilih musik yang ingin diputar atau memainkan musik secara shuffle dan hanya dapat menggeser lagu enam kali dalam satu jam. Kelas sosial yang terdapat dalam Spotify memang tidak terlihat dengan jelas. Namun dalam anggapannya, pelanggan yang menggunakan layanan Premium termasuk dalam kelas sosial tinggi karena mereka harus mengeluarkan sejumlah biaya untuk menikmati layanan musik dari aplikasi Spotify ini. Sedangkan pelanggan yang menggunakan layanan gratis termasuk dalam kelas sosial menengah karena mereka tidak perlu mengeluarkan sejumlah biaya untuk menikmati musik dari aplikasi Spotify. Hal ini kemudian memperlihatkan bahwa dalam mengkonsumsi musik melalui layanan music streaming tetap masih terdapat perbedaan kelas sosial.
Daftar Pustaka
Dewantara, Gerry Wahyu & Sari Monik Agustin. (2019). Pemasaran Musik pada Era Digital: Digitalisasi Industri Musik Dalam Industri 4.0 di Indonesia. Jurnal Wacana Universitas Indonesia, 18(1), hal. 1-10.
Harker, Richard, Cheelen Mahar, & Chris Wilkes. (1990). (Habitus x modal) + ranah = praktik; pengantar paling komprehensif kepada pemikiran pierre bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra.
IFIP. (2016). Global music report 2016. Diakses melalui https://www.ifpi.org/news/IFPI-GLOBAL-MUSIC-REPORT-2016 pada 24 April 2020 pukul 10.45 WIB.
Irawati, Indera Ratna. (1992). Musik jazz dan dangdut dalam analisis stratifikasi sosial dalam masyarakat jurnal sosiologi. Jakarta: Gramedia.
Wadiyo. (2007). Campursari dalam Stratifikasi Sosial di Semarang. Harmonia Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni Universitas Negeri Semarang, 8(1) Januari -- April 2007.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H