Editor: Narasimha Kusuma Aliwarga
Pada 22 Juni 1527, Pangeran Fatahillah dari Kerajaan Demak-Cirebon mendirikan kota Jayakarta untuk menggantikan pelabuhan Sunda Kelapa. Beberapa dekade kemudian, tepatnya pada 4 Maret 1621, VOC mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia. Dengan datangnya VOC, terdapat ledakan perdagangan yang juga menyebabkan pertumbuhan populasi besar-besaran di kota Batavia. Untuk mengakomodasi kebutuhan transportasi masyarakat, pemerintah kolonial membangun sistem transportasi umum pertama di wilayah Jakarta, yaitu jalur trem pada 1869. Mereka tidak mengetahuinya pada saat itu, namun mereka baru saja memulai perjalanan transportasi umum Jakarta.
Masa Kolonial
Trem Batavia melintasi Kampung Melayu, Jalan Cut Mutia, Jalan Abdul Muis, Harmoni, dan Pasar Ikan. Trem mampu membawa 40 penumpang dan menggunakan mesin uap serta mesin listrik. Ditambah dengan itu, pemerintah kolonial Belanda juga membangun cikal bakal KRL yang dahulu bernama Staatsspoorwegen. Elektrifikasi jalur rel dimulai pada 1917 dan awalnya dilakukan dari Tanjung Priuk sampai Jatinegara.
Selain transportasi rel, mode transportasi beroda juga cukup populer selama penjajahan Belanda. Bus-bus kecil bernama Oplet yang menggunakan mobil Morris Minor sangat terkenal pada waktu itu. Mereka memiliki rute berbeda dengan kereta dan dapat menjangkaui daerah-daerah tanpa keberadaan rel kereta/trem.
Setelah Belanda diusir oleh Jepang, terdapat 2 angkutan yang sering digunakan di ibukota, yaitu angkutan penumpang (Jidousha Sokyoku) dan angkutan barang (Jawa Unyu Zigyosha). Kedua mode transportasi tersebut menggunakan mobil dan bersifat lebih modern dibanding mode transportasi Belanda.
Pasca-Kemerdekaan dan Orde Baru
Setelah kemerdekaan Indonesia, semua mode transportasi tersebut mengalami periode nasionalisasi. Pengoperasiannya dilakukan oleh perusahaan Indonesia dan terjadi penggabungan serta penghapusan beberapa angkutan. Salah satunya adalah DAMRI yang merupakan hasil gabungan angkutan penumpang (Jidousha Sokyoku) dan angkutan barang (Jawa Unyu Zigyosha) dan bertujuan melayani transportasi antarkota. Meskipun itu, ide angkutan bermotor di ibukota masih didukung oleh pemerintah.
Dengan adanya Ganefo (Games of the New Emerging Forces) di Jakarta pada 1963, bus mulai digunakan sebagai mode transportasi dari wisma atlet menuju stadion. Setelah melihat efisiensi transportasi bus, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin mendirikan Koperasi Angkutan Jakarta dan Metromini pada 1976. Bus-bus ini dapat mengangkut penumpang ke daerah-daerah sekitar Jakarta tanpa dibutuhkannya infrastruktur berupa rel. Mode transportasi ini sangat populer di kalangan masyarakat dan pada puncaknya, jalanan Jakarta dipenuhi ribuan bus Metromini dan Kopaja.
Bersamaan dengan itu, Oplet mulai beroperasi kembali di Jakarta setelah dilarang oleh pemerintah Jepang. Sejak 1950, Oplet beroperasi di seluruh Jakarta dan akhirnya berkembang pesat dengan rute padat dari dan ke stasiun-stasiun ramai di Jakarta, seperti Jatinegara, Pasar Baru, Harmoni, dan Senen. Oplet akhirnya diberhentikan pada 1979 sebab jenis mobilnya, Morris Minor, dianggap terlalu tua. Mobil yang akhirnya menggantikan Morris adalah Toyota Kijang dan diberikan nama baru, “Mikrolet”.