Mohon tunggu...
Yohanes Maget
Yohanes Maget Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

aku pencari yang tak pernah berhenti mencari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Du’a Buhu Gelo (Wanita Kentut Kemiri)

30 Desember 2013   19:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:20 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam sudah pekat. Sepi tanpa suara. Tak ada yang bersuara kecuali nyanyian serangga malam yang terus terngiang. Semua warga kampung mungkin sudah terlelap. Mereka lelah karena seharian bekerja di ladang yang tak terlampau banyak memberi hasil lantaran selalu diserbu kawanan kera dari hutan di sekitar kampung. Kera-kera itu memang makhluk tak tahu malu karena mereka selalu saja melakukan panen mendahului pemilik ladang. Mereka begitu lihai, begitu lincah. Memang para pemilik ladang sering melakukan ronda menjaga ladang mereka tetapi kera-kera itu begitu cerdik. Lagipula para peronda itu tak mungkin terjaga sepanjang malam. Mereka juga lelah karena harus bekerja sepanjang hari. Menyedihkan.

Keheningan malam terpecah ketika terdengar suara lolongan anjing dan teriakan. Sepertinya kawanan kera baru saja menyerbu salah satu ladang milik warga. Suasana menjadi gaduh. Hampir semua pria langsung meninggalkan mimpi mereka dan bergerak menuju suara yang memecah keheningan tadi. Seperti biasa. Seperti malam-malam yang lalu. Para wanita ikut bangun dan duduk di halaman rumah di bawah payung malam atau berkumpul bersama wanita lainnya. Semua kembali hening. Para wanita pun hanya berbisik-bisik karena tidak ingin menciptakan kegaduhan.

Tak berapa lama para lelaki mulai bermunculan kembali masuk kampung. Tapi, malam ini berbeda dari malam sebelumnya. Mereka tidak langsung kembali ke rumah. Mereka menuju rumah kepala kampung. Para wanita pun langsung mengekor dengan sendirinya. Ini sebuah sebuah keharusan supaya mereka pun bisa tahu apa yang sedang terjadi. Mereka pun dibutuhkan….lebih tepatnya mereka pun merasa dibutuhkan.

* * * * *

“Ama, kita harus segera memikirkan cara untuk menumpas kera-kera yang selalu menyerang ladang kita,” ujar seorang pria ketika melihat semua warga telah berkumpul di halaman rumah kepala kampung. Sang kepala kampung menatap warganya penuh wibawa.

“Betul, Ama,” sambung seorang pria lainnya, “kalau kita tidak segera mengambil langkah, kita akan kelaparan karena gagal panen. Kita harus menumpas kera-kera itu.”

Semua terdiam. Pasti sedang memikirkan langkah yang harus ditempuh.

“Apa jalan yang menurut kalian tepat?” sang kepala kampung bersuara.

“Kita berburu, Ama,” ujar beberapa pria lain.

“Percuma,” sambung yang lain, “kita hanya membuang waktu. Terlalu banyak jumlah kera-kera itu. Lagipula mereka lebih menguasai kondisi hutan daripada kita.”

Banyak yang mengangguk setuju.

“Bagaimana kalau kita melakukan ronda lebih rutin lagi?” ujar seorang warga yang lain.

“Saya tak yakin lagi dengan ronda yang kita laksanakan,” ujar sang kepala kampung, “kera-kera itu tetap bisa mencuri dan merampok ladang kita walaupun telah ada penjaganya. Kita harus memikirkan jalan yang benar-benar membuat kera-kera itu jera dan bukan berhenti beberapa hari kemudian lalu ketika merasa aman mereka menjarah lagi.”

Hening.

Semua warga terdiam memikirkan dan merenungkan apa yang dikatakan sang kepala kampung. Mereka sudah lelah menghadapi kera-kera jahanam yang tak tahu malu itu.

“Bagaimana? Apa yang harus kita lakukan?” tanya sang kepala kampung lagi, “kita harus memikirkannya malam ini juga karena peritiwa tadi terlalu menyedihkan. Seluruh isi ladang habis dijarah kera-kera itu. Ini tak boleh terulang kembali.”

“Ama, saya punya usul!” seorang pria berdiri dan berujar tegas.”

“Silahkan,” sahut kepala kampung.

“Du’a buhu gelo,” ujar sang pria langsung disambut tawa berderai semua yang hadir.

“Maksudmu?”

“Dahulu di kampung asal saya orang pernah melakukan ini. Orang selalu menceritakan peristiwa itu terus menerus. Seorang wanita menelan begitu banyak kemiri kemudian pura-pura tertidur di ladang, dalam keadaan tak berpakaian. Ketika kera-kera datang dan menyaksikan itu mereka senang karena dengan begitu mereka bisa menjarah kebun itu. Ketika mereka mendekati wanita itu dengan maksud ingin menyingkirkannya, satu per satu mereka tewas karena wanita itu mengentuti mereka. Ketika kentut, sebuah kemiri terlempar dari dubur wanita itu dan menghajar si kera. Semua kera mati terhajar kentut kemiri. Dan…”

“Apakah itu bisa?” sang kepala kampung ragu.

“Saya yakinkan bahwa itu bisa terjadi. Asal saja wanita itu rela. Kera-kera pasti tak lagi menjarah kebun kita seperti yang terjadi di kampung saya itu,” kata si pria melanjutkan, “tapi, ini hanya usulan saja.”

Hening.

“Baiklah. Kita harus mencoba usulan ini. Bagaimana?” tak ada yang membantah, “Du’a, siapkan dirimu!”

Sang kepala kampung menunjuk seorang gadis yang duduk tak jauh darinya.

“Saya tak bersedia, Ama” sahut sang gadis dengan suara tegas.

“Ini perintah seorang Ayah, Du’a. kamu harus menjadi Du’a buhu gelo demi kampung kita ini, demi kita semua. Apa kamu ingin mati kelaparan?”

Sang gadis – puteri kepala kampung – terisak.

“Mengapa harus saya? Mengapa harus du’a buhu gelo dan bukan la’i buhu gelo? Apa Ama rela saya bertelanjang di hadapan kera-kera itu?” sang gadis memandangi warga yang hadir. Meminta dukungan.

“Kamu mau mengajari saya? Sejak lahir saya sudah tahu dengan pasti bahwa wanita harus mengikuti apa yang dikatakan seorang pria. Jadi, tidak ada alasan kamu menolak untuk menjadi du’a buhu gelo bagi kampung kita.”

Hening.

“Du’a!” kali ini kepala kampung berteriak, “katakan kamu bersedia untuk tugas ini! Cepat!”

Gadis itu terkejut. Terisak. Perlahan dia mengangguk.

“Keputusan sudah didapat. Pulanglah kalian. Doakan agar besok Du’a berhasil!” ujar sang kepala kampung. Semua warga pulang. Sang kepala kampung meninggalkan puterinya yang tetap diam mematung. Di sebelahnya berdiri sang ibu yang juga hanya terdiam dan menangis.

“Du’a,” ujar sang ibu lembut ketika melihat suaminya telah menghilang di balik pintu rumah, “terimalah tugas ini sebagai kehormatan. Kita memang harus mengalah pada mereka. Kita memang harus selalu berusaha supaya tunduk pada mereka. Itu takdir kita yang tak bisa lagi kita sangkal sampai kapanpun. Mereka lebih berkuasa dan kita bukan apa-apa.”

Gadis itu ingin marah tapi tak tega marah pada ibunya. Ia marah pada keadaan yang membuat dia terlahir sebagai wanita yang selalu tertindas. Ia memeluk ibunya mohon kekuatan. Haruskah besok ia benar-benar menjadi Du’a buhu gelo?

Wairklau, 10 Oktober 2010

buat wanita Sikka……

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun