Jelang pemungutan suara Pilres, saling cerca bagi dua kubu (Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK) silih berganti. Cercaan berupa negatif campaign pun black campaign. Jika negatif campaign bisa dimaklumi karena merupakan komposisi sistem demokrasi, namun tidak demikian dengan black campaign
Sebut saja nyium kuda, yang dialamatkan kepada Prabowo. Demikian juga presiden boneka serta agama katolik, yang dialamatkan kepada Jokowi hingga memunculkan pernyataan dilakukannya debat baca ayat Alquran oleh Yusuf Kalla.
Menelisik beberapa kejadian di atas, jelas merupakan sebuah black campaign, yang mengarah menjatuhkan masing-masing calon. Terlepas siapa orang yang melemparkan pernyataan tersebut, yang pasti masing-masing calon telah dipersepsikan buruk oleh masyarakat.
Apalagi jika hal demikian dilakukan secara berkelanjutan dan dipolitisir, baik oleh elite parpol pendukung maupun media, utamanya media darling bagi masing-masing calon.
Suka-tidak suka, kedua calon presiden maupun calon wakil presiden saat ini adalah putra terbaik bangsa. Betapa tidak, lebih dari 150 jutapenduduk republik ini (baca : Indonesia) dan merekalah yang siap dijadikan sebagai pemimpin.
Mereka jugalah yang akan menentukan nasib bangsa lima tahun ke depan. Sebagai masyarakat berlabel demokrasi, seharusnya keempat putra terbaik bangsa itu patut diapresiasi karena menjadi calon presiden dan wakil presiden, bukanlah perkara murah.
Paling tidak, setiap kandidat memiliki kemampuan dibidang finansial, dukungan, popularitas, dan banyak hal lainnya sebelum ditahbiskan jadi calon pemimpin bangsa. Kita tentu sadar, ada banyak tokoh-tokoh di republik ini yang juga memiliki hal sama, namun tidak semuanya memiliki kesempatan.
Kenyataannya, justru masing-masing calon pemimpin itu mendapat cercaan dari masyarakat sendiri. Padahal, satu dari dua pasangan yang bertarung saat ini dipastikan akan menjadi presiden dan wakil presiden periode 2014-2019. Ironis, presiden dan wakil presiden terpilih itu merupakan pemimpin yang sebelumnya dicerna, baik di media sosial, warung kopi, debat terbuka maupun forum-forum lainnya.
Tak bisa dipungkiri, opini sentimentilbergelora, terlebih usai debat calon presiden dan wakil presiden perdana beberapa waktu lalu. Cercaan pun kian berselewaran antar kedua kubu karena masing-masing pendukung memandang kandidat lainnya dari perspektif pasangan yang didukung.
Sebenarnya, calon pemimpin yang dicerca bukan hanya terjadi saat hajatan demokrasi kali ini. Pemilihan Presiden dan wakilpresiden secaralangsung tahun 2004 lalu juga memunculkan cercaan bagi masing-masing pasangan calon. Entah siapa yang memulai. Namun oleh banyak pengamat kondisi demikian dianggap bahagian demokrasi yang tak terpisahkan.
Perlu ada stimulus untuk menghentikan tabiat cerca mencerca pemimpin jelang pemilihan. Jika mengilhami revoluasi mental ala Jokowi dan budaya demokrasi ala Prabowo, tentu masyakarat pendukung dari masing-masing kandidat tak perlu melakukan cercaan bagi calon pemimpin, seperti yang banyak ditemui di jejaring sosial.
Masing-masing pendukunghanya perlu menyampaikan dan mensosialisasikan gagasan apa saja yang ditawarkan dari calon presiden dan wakil presiden, termasuk memperdebatkan visi dan misinya demi pencerahan menuju demokrasi modern yang digagas oleh kedua kandidat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H