Mohon tunggu...
Berlian MD
Berlian MD Mohon Tunggu... -

Tuangkan semua idemu, mimpimu, dan semua harapanmu dalam rangkaian kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saksi Bisu Zaman Kejayaan "Jayastamba" (Part 1)

23 Agustus 2017   10:23 Diperbarui: 23 Agustus 2017   10:55 989
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak kisah sejarah bangsa kita yang terlupakan ditataran sejarah nasional yang disebabkan kurangnya bukti otentik pendukung kisah sejarah tersebut. Seperti kisah sejarah bangsa kita tentang tragedi pertempuran pasukan Dinasti Kula Sanjaya (Mataram Kuno) dengan pasukan Melayu Sriwijaya yang terjadi di sepanjang pesisir Jawa Barat hingga Jawa tengah yang kemudian dimenangkan oleh pasukan Melayu Sriwijaya, yang kemudian berlanjut ke medan pertempuran baru di Jawa Timur tepatnya di daerah Anjuk Ladang atau yang lebih dikenal dengan sebutan 'Nganjuk' dimana kemenangan memihak pasukan Mpu Sindok yang merupakan panglima perang bergelar Mahamantri I Hino. Kemenangan itu tidak lain karena bantuan masyarakat desa disekitar area pertempuran tersebut. 

Atas kemenangan itulah, Mpu Sindok dinobatkan menjadi raja bergelar Sri Maharaja Mpu Sendok Sri Isanawikrama Dharmatunggadewa (929 M) yang kemudian dikenal sebagai raja pertama Kerajaan Medang Kamulan (Dinasti Isyana/ Isana) yang nantinya akan melahirkan kerajaan-kerajaan besar di Jawa Timur. Secara wilayah, Jawa Timur merupakan wilayah dengan status wilayah penyangga Kerajaan Mataram kuno, mulai lembah Sungai Madiun hingga Sungai Brantastermasuk di dalamnya Kabupaten Nganjuk (nama sekarang).

Secara eksplisit Nganjuk baru muncul kepermukaan sejarah pada pertengahan abad pertama abad 10 (927-937). Hal ini terbukti dengan ditemukannya tiga buah prasasti. Yakni,

Prasasti pertama yang ditemukan di Desa Tanjungkalang Kecamatan Ngronggo, yang berangka tahun Caka 849 atau 927 Masehi. Prasasti ini antara lain berisi tentang Wawa (desa) Kinawe ; Wilayah Wateg (desa besar) Kandangan menjadi desa bebas pajak atau perdikan.

Prasasti kedua ditemukan di Desa Kujonmanis Kecamatan Tanjunganom, yang berangka tahun Caka 856 atau 937 Masehi. Isi dari prasasti tersebut adalah menjelaskan tentang jual beli lemah sawah (tanah dan sawah) yang sangat luas. Dalam prasasti ini disebutka pula sejumlah nama tempat antara lain Hering, Marganung, dan Hujung. Nama-nama ini mungkin merupakan protonun (nama asli) dari desa-desa Keringan, Ganung, dan Ngujung yang masih ada hingga sekarang. Disamping itu dalam Prasasti Kujonmanis ini disebutkan pula nama raja yang memerintah pada saat itu yakni Sri Maharaja Mpu Sendok Isanawikrama Dharmatunggadewa.

Prasasti ketiga adalah Prasasti Candi Lor. Prasasti inilah yang nyata mampu mengangkat nama Nganjuk dalam pencaturan Sejarah Indonesia Lama. Prasasti ini ditemukan di Desa Candi Lor, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk disamping Candi Lor yang merupakan ikon sejarah Kabupaten Nganjuk. Prasasti Candi Lor ini memiliki nama lain Jayastamba(Tugu Kemenangan) dan Candi Lor memiliki nama lain Jayamerta(Candi Kemenangan). 

Dan terhadap masyarakat desa sekitarcandi, karena jasa-jasanya dalam membantu pertempuran, oleh Mpu Sendok diberi hadiah sebagai desa perdikan atau desa bebas pajak dengan status Sima Swatantra: Anjuk Ladang. Anjuk berarti tinggi. Secara simbolis berarti mendapat kemenangan yang gilang gemilang. Ladang berarti tanah atau daratan. Sejalan dengan perkembangan zaman, kemudian berkembang menjadi daerah yang lebih luas dan tidak hanya sekedar sebagai sebuah desa.

Lalu darimana asal nama Nganjuk sendiri? Nganjuk berasal dari kata Anjuk, karena proses bahasa atau hasil proses perubahan morfologi bahasa yang menjadi ciri khas dan struktural bahasa jawa, maka kata Anjuk berubah menjadi Nganjuk. Perubahan kata dalam bahasa jawa ini terjadi karena gejala usia tua dan gejala informalisasi, disamping adanya kebiasaan menambah konsonan sengau 'NG' (nasalering) pada lingga kata yang diawali dengan suara vokal, yang menunjukan tempat. Hal demikian inilah yang merubah kata Anjukmenjadi Nganjuk. 

Berdasarkan penelitian L.C. Damais, angka tahun yang tertera pada Prasasti Candi Lor adalah tanggal 12 Bulan Caitra tahun 859 Caka atau bertepatan dengan tanggal 10 April 937 M. Kalimat yang menunjukan angka tahun tersebut berbunyi: "Swasti Qakawarsatita 859 Caitramasa Thiti Dwadasikrsnapaksa". Jika diterjemahkan kurang lebih berbunyi: "Selamat Tahun Saka telah berjalan 859 tanhun pertengahan pertama Bulan Caitra tanggal 12". Berdasarkan kajian dan analisis sejarah inilah, maka tanggal 10 April 937 disepakati sebagai Hari Jadi Kabupaten Nganjuk, selanjutnya dengan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Nganjuk Nomer : 495 Tahun 1993 ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Nganjuk, dan pada tahun 2017 ini, Kabupaten Nganjuk genap berusia 1080 tahun.

Jangan lupa baca artikel selanjutnya yaa... "J.A.L (Part II): 1080 Tahun Berbenah Diri Memayu Hayuning Bawana Anjuk Ladang".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun