[caption id="attachment_48659" align="alignright" width="300" caption="Website NHK World. NHK adalah singkatan dari Nippon Hōsō Kyōkai atau Japan Broadcasting Corporation (www.nhk.or.jp/nhkworld/)"][/caption] Saya sudah lama sekali tidak keranjingan menonton televisi. Sejak Doraemon terlihat terlalu kanak-kanak dan mudah ditebak, sejak Dragon Ball mengulang episodenya dari awal, sejak Avatar mengulang-ulang episode-episodenya, saya sudah kehilangan selera untuk menonton televisi. :) Beberapa minggu belakangan ini, saya mulai lagi keranjingan televisi. Bukan, bukan lagi film-film kartun itu. Bahkan bukan pula stasiun televisi Indonesia. Saya keranjingan menonton NHK, stasiun televisi milik pemerintah Jepang. Saya benar-benar terpikat dengan isi dari tayangan-tayangannya dan cara mereka menyampaikan isi itu dengan benar-benar 'in style'. Sebagai gambaran, NHK mayoritas menyiarkan tentang berbagai macam seluk beluk Jepang. Budaya, industri, olahraga, dll. Sebagai negara yang merupakan perpaduan negara industri dan negara yang budayanya terjaga kuat, Jepang memang merupakan sebuah negara yang eksotis dalam balutan teknologi canggih. Saya ingat salah satu tayangan yang saya tonton di NHK adalah tayangan tentang pabrik sebuah kursi kayu yang desainnya sangat unik. Coba ingat-ingat, berapa banyak tayangan yang pernah kita tonton yang mengulas tentang proses perancangan dan produksi sebuah produk sederhana seperti kursi ? :) Tayangan serupa yang saya tonton pada waktu lain adalah tayangan tentang pembuatan ceret. Ceret ? Ya ! Ceret untuk memasak air itu. Seringkali kita tak menghiraukan tayangan-tayangan semacam itu, tapi NHK mengemasnya menjadi sebuah tayangan yang sangat menarik. NHK menampilkan profil seorang desainer ternama yang mendesain ceret itu secara detail, lalu mengulas proses pembuatan ceret itu di pabriknya dengan memasukkan unsur kemanusiaan dalam tayangan itu. Teknologi adalah soal manusia, dan NHK menampilkannya dengan sangat menarik. :) NHK juga membuka mata saya terhadap image Jepang yang selalu identik dengan teknologi. Suatu kali, NHK menayangkan ulasan tentang sebuah peternakan sapi di Jepang yang masih sangat tradisional dan jauh dari sentuhan teknologi canggih. Peternakan itu dikelola oleh seseorang yang sudah cukup tua. Yang menarik, ulasan tentang peternakan itu tak hanya membahas tentang cara beternak sapi saja melainkan juga nilai-nilai yang dianut oleh pemilik peternakan sapi itu. Tentang bagaimana sapi-sapi harus diperlakukan sebagai makhluk hidup yang bisa bosan juga bila digembalakan di tempat yang sama terus menerus, tentang jumlah sapi yang layak dipelihara berdasarkan luasan tanah peternakan dan ketersediaan rumput, semuanya diulas dengan cara yang sangat sapiwi, eh, manusiawi. :) Dari tayangan itu, saya jadi tahu bahwa teknologi bukan soal kecanggihan alat melainkan soal kemampuan berpikir. Terbayangkah kita, terutama Anda yang beternak sapi, untuk menggilir daerah penggembalaan sapi untuk memberi waktu bagi rerumputan untuk tumbuh dan sekaligus membuat sapi merasa senang menjelajahi daerah pakan yang berbeda setiap hari ? Terbayangkah kita bahwa hal itu bisa dilakukan dengan cara yang fungsional dan simpel yaitu dengan cara membuat empat pintu menuju empat daerah pakan yang berbeda ? Sekali lagi, ternyata teknologi bukan soal kecanggihan alat melainkan soal kemampuan berpikir. :) NHK juga mengulas tentang olahraga asal Jepang. Yang pernah saya tonton adalah tayangan tentang Kendo, olahraga asal Jepang yang menggunakan pedang bambu sebagai senjata. Yang menarik, ternyata dalam olahraga ini nilai-nilai spiritual sangat diperhatikan. Bayangkan saja, dalam sebuah pertandingan Kendo point yang sudah didapat bisa dibatalkan ketika pemain yang mendapat poin itu mengungkapkan kegembiraannya dengan menghentakkan kepalan tangannya. Hal itu melanggar salah satu prinsip olahraga Kendo yang melatih penguasaan emosi diri. Sekali lagi, NHK mengulas tayangan olahraga dengan memasukkan unsur nilai-nilai spiritual di dalamnya dan membuatnya menjadi lebih menarik daripada sekedar tayangan olahraga. :) Pagi ini, saya menonton tayangan tentang sebuah industri yang tak akan terliput oleh televisi luar Jepang, industri yang mendukung industri utama tapi bukan industri utama, yaitu industri paten. Industri ini mengurusi jasa pembuatan dokumen paten untuk barang-barang yang memiliki teknologi unik, mulai dari bantalan kursi pembetul tulang pelvis, hingga mesin-mesin mobil dari perusahaan raksasa seperti Toyota. Sekali lagi, NHK mengemasnya dengan cara yang sangat manusiawi. Alih-alih mengulas tentang industri ini secara umum dan luas, NHK melakukannya dengan cara 'in style'. NHK menampilkan sesosok anak muda karyawan sebuah perusahaan paten, mewawancarainya, mengikutinya di tempat kerjanya bahkan sampai ketika anak muda itu bersama bosnya menemui kliennya, sebuah perusahaan otomotif raksasa. Bahkan menjelang akhir tayangan, ditampilkanlah sang bos yang memuji anak muda itu sebagai seorang karyawan yang cemerlang dan punya masa depan cerah. Begitu manusiawi. Coba bayangkan, di negara kita ini, berapa peluang seorang karyawan mendapat sorotan selama setengah jam penuh mengenai dirinya untuk mengenalkan industri di mana dia berada kepada penonton NHK di seluruh dunia ? :) Selain tayangan-tayangan tentang Jepang, NHK juga menayangkan berbagai hal tentang Asia. Bahkan saya sempat menonton tayangan dokumentasi tentang Farid Firmansyah, seorang anak pedagang rokok, murid Sekolah Catur Utut Adianto yang menjadi juara dunia catur. Tak tanggung-tanggung, NHK mengulas tentang kehidupan Farid bukan sebagai bagian dari kumpulan berita, melainkan sebagai satu program khusus berdurasi setengah jam (cmiiw) dengan narasi berbahasa Inggris dan teks terjemahan bahasa Jepang. Sebuah penghargaan yang membanggakan bagi bangsa Indonesia, tentunya. Lagi-lagi, sentuhan kemanusiaan sangat terasa dalam tayangan ini. Bagaimana Farid tinggal dan belajar catur di jalanan di dekat gerobak rokok bapaknya, bagaimana Farid kemudian menarik perhatian Utut Adianto dan menjadikannya salah satu murid terbaiknya, benar-benar dikemas dengan sangat menarik. NHK menghargai manusia sebagaimana layaknya ia berhak, tak pandang ia berasal dari negara mana. :) Ah, baru beberapa minggu kenal dengan NHK saja sudah banyak hal yang membuat saya terpikat. Tapi lalu itu membuat saya berpikir, bagaimana dengan negara kita ? Apakah televisi kita sudah bisa juga menjadi duta negara yang mempromosikan seluk beluk negara ini kepada negara lain di seluruh dunia ? Kita punya satu televisi pemerintah yaitu TVRI. Sayangnya, TVRI nampaknya sampai kini belum juga bisa menjadi andalan bagi kita untuk memperoleh informasi tentang negara kita sendiri. Di televisi rumah saya, TVRI saya program berada di luar 10 stasiun televisi utama yang bisa diakses melalui 10 angka tunggal di remote televisi. Menonton TVRI tak pernah menjadi sebuah tujuan utama. Lain dengan TV7 dengan Opera Van Java-nya, TransTV dengan film-film bioskopnya, TVRI hanya menjadi stasiun lewat bila saya sedang bosan dan mem-browse stasiun-stasiun televisi dalam program televisi di rumah saya. Sejauh ini, TVRI hanya bisa membuat saya berhenti mem-browse dan menontonnya saat TVRI menayangkan acara musik blues atau jazz. Selain acara musik itu, saya bahkan tak tahu ada acara apa lagi di TVRI. Lalu bagaimana seharusnya TVRI ? Menurut saya, TVRI haruslah bisa menjadi etalase bagi negara kita ini sebagai ruang pamer yang membuat orang melirik ke negara kita supaya mereka tertarik dan akhirnya jatuh cinta dengan Indonesia. Untuk itu, langkah konkret yang menurut saya sangat penting sehingga wajib dilakukan adalah : 1. TVRI harus mengganti / memodifikasi alat pengolah sinyal video milik TVRI sehingga kualitas gambarnya bisa menyamai standar tayangan televisi internasional. Alasannya jelas. Bagaimana orang mau melirik kita kalau pakaian kita kumal dan berdebu ? :) 2. TVRI harus mengubah ideologi dan target pasarnya dari televisi pemerintah untuk pasar domestik menjadi televisi pemerintah untuk pasar mancanegara. Untuk itu, TVRI harus menginternasionalisasikan tayangan-tayangannya dengan bahasa pengantar bahasa Inggris fluent. 3. TVRI harus mencontek cara NHK mengemas tayangan-tayangannya menjadi jauh lebih menarik daripada sekedar tayangan dokumenter. Mencontek ? Gengsi dong ! Eit, jangan salah. Mencontek adalah salah satu budaya baik yang diberi arti negatif oleh sistem pendidikan kita yang melarang siswa mencontek. Tapi itu perkara lain. Intinya, hal yang baik haruslah kita tiru dan kita kuasai sepenuhnya, baru kita modifikasi. 4. TVRI harus menemukan sumber pendanaan yang besar untuk bisa mendukung lancarnya operasional perusahaan. NHK dibiayai oleh penduduk Jepang yang memiliki televisi dengan membayar sebesar USD 12 per bulan di bawah peraturan Undang-Undang Penyiaran “Hōsō Hō”. Kita bisa melakukan hal serupa, dan kita juga bisa memodifikasinya dengan menanggungkan biaya operasional TVRI ke beberapa departemen yang terkait. Menurut saya, TVRI harus dibiayai oleh Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Luar Negeri dan tentu saja Departemen Komunikasi dan Informasi. Dalam hal ini, pembiayaan TVRI haruslah dipandang sebagai biaya investasi dan bukan biaya yang terhambur sia-sia. Semakin banyak yang kita investasikan, akan semakin banyak pula hasil imbal baliknya. Tentunya asalkan pengelolaannya benar dan cerdas. 5. TVRI harus melibatkan banyak orang muda berbakat di bidang penyiaran untuk memproduksi tayangan-tayangan berkualitas untuk dijual pada target pasarnya. Untuk itu, struktur gaji dan jenjang karier yang menarik mutlak diperlukan. Perampingan perusahaan dengan memberhentikan staf yang tidak produktif juga mutlak diperlukan. Perbaikan selalu tidak mudah dan tidak murah, tapi ketika semuanya sudah berlangsung baik, hasilnya akan setimpal, bahkan lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. 6. Demi tercapainya itu semua, tentunya TVRI harus mengangkat seorang pimpinan yang mengerti dan menghayati poin-poin di atas. Pemimpin yang kreatif, cerdas, inovatif, berani dan berdaya juang tinggi mutlak diperlukan. Dan untuk memastikan semua poin terlaksana, maka calon yang jelas cocok adalah saya. Hahaha… Eit, jangan bilang tak mungkin. Tak ada hil yang mustahal. Lagian, ini Kompasiana bukan ? :D Menonton NHK telah membuka mata saya. Saya merasa seperti melihat ke luar jendela tempurung saya, bahwa ternyata negara lain sudah begitu masifnya menjual negaranya pada dunia. Sementara kita, bahkan belum paham apa saja hal yang bisa kita jual pada dunia. Kita baru menghargai budaya kita sendiri ketika ada negara yang mengklaimnya sebagai budayanya. CPD. Capedeh… Keran perdagangan Cina - ASEAN yang baru saja dibuka lebar seharusnya membuat kita sadar, bahwa kehidupan kita semua ditentukan oleh satu keterampilan dasar yang jarang kita sadari dan miliki, yaitu keterampilan untuk menjual. NHK sudah menjual Jepang dengan menjadi etalase bagi produk-produk Jepang baik itu produk materiil maupun immateriil. Bagaimana dengan televisi kita ? Quo vadis TVRI ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H