Mohon tunggu...
Berlin Sianipar
Berlin Sianipar Mohon Tunggu... -

Seorang anak muda yang penuh semangat untuk belajar berbagai macam hal dan lalu mengkaryakannya dalam kehidupannya demi memperkaya dirinya sendiri dan memperkaya orang-orang di sekelilingnya, secara material dan spiritual... :)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Balada Si Dee, Si Celana Dalam Penjaga Burung

6 Februari 2010   15:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:03 1486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Bermula dari sebuah pabrik, ia, sebut saja Si Dee, memulai petualangannya. Terjalin dari ratusan helai benang ia mulai mewujud menjadi di dunia ini. Tanpa bisa memilih menjadi apa dan berwarna apa, ia terlahir sebagai sebuah... celana dalam. Dan inilah kisah petualangannya... Terdiam dalam sebuah kotak karton bermuka plastik transparan bersama dua kawan sekotaknya, ia berkumpul bersama kawan-kawannya yang lain di rak sebuah supermarket. Pakaian Dalam, begitu bunyi label besar di depan rak itu. Tak banyak orang yang berhenti di rak itu bahkan untuk sekedar melihat-lihat. Maklumlah, celana dalam bukanlah gula pasir yang dibutuhkan oleh manusia setiap harinya. Celana dalam walaupun termasuk dalam kategori sandang yang adalah kebutuhan primer namun tak setiap hari manusia membelinya. Bahkan mungkin belum tentu juga manusia membeli celana dalam baru setiap tahun. Mana ada tradisi memberi kado yang melibatkan urusan celana dalam. Kalaupun ada, itu hanya dalam acara lamaran di mana si celana dalam menjadi salah satu bagian dari bingkisan-bingkisan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Bilapun lebih dari itu, biasanya celana dalam yang terbungkus dalam kado istimewa adalah celana dalam perempuan berharga mahal yang diberikan oleh seorang lelaki kepada perempuannya. Entah itu perempuan resmi atau perempuan selingkuhannya. Tapi tak mungkin itu Si Dee. Ia hanyalah celana dalam biasa. Celana dalam unisex yang biasanya dipakai oleh pria namun juga kadang dipakai oleh wanita. Tak banyak memang perempuan yang memakainya, tapi ada saja. Artis sinetron bertubuh sintal itu misalnya, mengaku suka memakai celana dalam model Si Dee. Lebih nyaman katanya, ketimbang celana dalam khusus perempuan yang umumnya sangat tipis itu. Seorang pria necis berhenti di rak itu, melihat-lihat. Matanya terpaku pada celana dalam di rak di atas rak Si Dee. Celana dalam bermerk, dengan harga hampir dua kali lipat harga Si Dee. Tak butuh waktu lama untuk si mahal berpindah ke kantong belanja pria necis itu karena memang bagian celana dalam tidak membolehkan calon pembelinya untuk mencobanya terlebih dahulu. Pria necis memang biasanya beranggapan bahwa harga menentukan segalanya. Semakin mahal seharusnya kualitasnya juga semakin bagus. Seperti membeli mobil, harga sebanding dengan kenyamanannya. Tak perlulah menyebut-nyebut merek mobil yang menjadi tunggangan para punggawa kerajaan itu. Ah mengapa jadi melenceng ke sana. Seminggu berselang, giliran seorang perempuan dan pasangan lelakinya - harus menyebut jender karena sekarang perempuan tak selalu berpasangan dengan lelaki - berhenti di rak itu. Melihat-lihat sebentar, si lelaki mengambil kotak Si Dee dan membaca tulisa-tulisan di kemasan itu. Entah apa yang lalu dibicarakannya dengan si perempuan, lalu mereka tertawa renyah. Sedikit harapan muncul bagi Si Dee untuk berpindah ke keranjang belanja pasangan itu, tapi lalu segera lenyap ketika mereka meletakkannya kembali dan berlalu pergi. Tiga minggu kemudian, seorang ibu setengah baya dan anak lelakinya yang mengantarkannya lewat di rak Si Dee. Nampaknya awalnya ia tak bermaksud membeli celana dalam. Tapi demi melihat ayat-ayat suci bagi tiap perempuan terpampang di rak Si Dee, ibu itu menghentikan langkahnya. "Diskon 30%" begitu ayat itu tertulis di kertas merah dengan tinta perak. Si ibu nampak berbicara dengan anak lelakinya, nampaknya ia menawarkan membelikan celana dalam untuk anak lelakinya itu. Tak usah heran, lelaki memang terlalu malas untuk membeli celana dalamnya sendiri. Bahkan konon katanya, Tuhan menciptakan perempuan untuk menemani lelaki adalah karena lelaki pada dasarnya tak mampu mengurus dirinya sendiri. Si anak lelaki itu tak merespon berlebihan. Biasa saja, namun tak nampak menolak. Tak lama kemudian Si Dee pun berpindah ke keranjang belanja ibu itu, bergabung bersama barang belanjaan lainnya. Satu jam kemudian, Si Dee yang girang sudah berada di rumah barunya. Sebuah lemari kayu di sudut kamar tidur si anak lelaki yang ternyata masih pelajar SMA. Dengan penuh sukacita, Si Dee menunggu waktunya untuk melakukan debut tugas pertamanya, menjaga 'burung' majikannya supaya tidak ke mana-mana. Bersama tumpukan celana dalam lainnya yang kebanyakan sudah berlubang di sana-sini, Si Dee dengan setia menanti gilirannya tiba. Seminggu berselang, Si Dee belum juga mendapatkan jatahnya. Nampaknya sang majikan memang lebih nyaman memakai celana dalam lamanya yang sudah sobek sana-sini dan kondor kolornya meskipun itu artinya si 'burung' tak terjaga dengan keamanan maksimum. Namun begitu, Si Dee tetap sabar menunggu. "Segala sesuatu indah pada waktunya", begitu firman Dewa Celana Dalam yang pernah didengarnya di pabrik dulu. Suatu kali di musim penghujan, Si Dee sendirian di lemari itu. Kawan-kawannya nampaknya sedang mengantri di jemuran untuk menunggu kering. Nasib baik buat Si Dee, majikannya tak punya pilihan lain. Akhirnya Si Dee menjalani debutnya sebagai Penjaga Burung, profesi idaman setiap celana dalam. Profesi ini lebih menantang ketimbang profesi Penjaga Sarang Burung, karena tugasnya tak hanya pasif berdiam diri tapi juga aktif menjaga supaya benda pusaka yang dijaganya tak menelusup ke luar. Tugas pertamanya dijalankannya dengan sukses. The Burung tak ke mana-mana, ia tak pernah terselip di antara kedua belahan pantat, sukses. Bangga dirasakannya. Ia berharap kesan pertamanya ini membawa peluang yang lebih besar baginya untuk esok terpilih lagi melakukan tugas penting menjaga 'burung' majikannya. Usai menjalankan tugas, Si Dee menjalani ritual selanjutnya yaitu pencucian dan pengeringan. Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, hujan terus turun hampir setiap hari sehingga Si Dee harus selalu berpindah-pindah dari bergantung di tali jemuran di halaman lalu ke tempat teduh di tempat cucian. Si Dee tak bisa menyalahkan keadaan atau memaksa untuk dimasukkan ke lemari. Tentu tak nyaman bagi majikannya bila memakai Si Dee dalam keadaan setengah kering setengah basah. Berresiko jamuran. Beruntung, tiga hari kemudian mentari bersinar terik. Si Dee pun digiring bersama teman-temannya ke tali jemuran di halaman. Penuh sukacita, Si Dee menyapa mentari yang tengah mengeringkannya. Ia membayangkan akan segera terpilih lagi untuk melaksanakan tugas sebagai Penjaga Burung. Namun nampaknya Si Dee memang kurang beruntung. Seorang pencuri nekat yang datang dan pergi secepat kilat menyahutnya dari tali jemuran bersama banyak kawan-kawannya. Seorang kawannya pernah mengatakan bahwa mungkin ia melakukan sesuatu yang buruk di kehidupannya terdahulu sehingga ia kini harus membayar karmanya. Tentu Si Dee tak serta merta mempercayainya. Ia percaya bahwa kehidupan ini adalah kehidupan yang baik. Ia percaya bahwa ia memegang kunci takdirnya sendiri. Tapi kini ia hanya bisa percaya bahwa semuanya yang terjadi ini baik adanya, walaupun bertentangan dengan keinginannya. Si pencuri itu membawa Si Dee ke rumahnya. Pilah pilih pilah pilih, Si Dee dipisahkan sendirian. Bukan karena Si Dee tidak menarik, tapi memang Si Dee adalah satu-satunya celana dalam dalam tumpukan pakaian curian itu. Nampaknya si pencuri itu juga menganut asas moralitas dan higienitas yang cukup tinggi sehingga membuatnya tak mau bertukar sikat gigi dan pakaian dalam. Sial bagi Si Dee, ia termasuk dalam golongan pakaian dalam yang menurut si pencuri haram dipertukarkan. Hujan masih terus turun dan Si Dee masih teronggok di sudut ruangan dekat tempat sampah. Nasibnya tinggal menunggu dibuang saja nampaknya. Si pencuri yang nampak jengah dengan hujan yang tak kunjung reda nampak tersenyum kecil. Ia teringat dengan petuah bijak yang didengarnya dulu, "Bila engkau ingin hujan reda, lemparkanlah celana dalam ke atas genteng.." Dan dengan jari telunjuk dan jempolnya, si pencuri itupun menjumput kolor Si Dee dan ... melemparkannya ke atas genteng... Ajaib ! Tak sampai sepuluh menit kemudian, hujan reda ! Tentu saja tak ada yang kebetulan. Hujan sudah turun berhari-hari dan mungkin memang sudah waktunya reda. Tapi tetap saja si pencuri menganggap bahwa redanya hujan adalah karena ia melemparkan Si Dee ke atas genteng. Si pencuri itu tak tahu bahwa justru ulahnya - dan jutaan orang lainnya yang percaya tahayul itu - adalah penyebab berubahnya kadar keasaman air hujan. Makin lama memang air hujan makin asam dan itu adalah akibat dari gas yang menguap dari jutaan celana dalam yang dilemparkan ke atas genteng. Si Dee terdiam terpaku di atas genteng. Ia mulai kehilangan harapannya. Kepercayaannya terhadap takdir yang baik mulai goyah. Ia sedih, namun masih enggan untuk menyerah. Tiga bulan berlalu, Si Dee masih saja tergeletak di atas genteng rumah si pencuri. Panas dan hujan yang bergantian membuat benang-benangnya mulai kaku. Ia yakin ia tak lagi nyaman untuk dipakai. Pupus sudah harapannya untuk melanjutkan karier sebagai Penjaga Burung... Setahun berlalu, rumah itu berganti pemilik. Sang pemilik baru, seorang pedagang burung, membersihkan rumah itu termasuk atapnya. Sang pedagang burung itu menemukan Si Dee di atas genteng rumah itu dan membuangnya ke bawah. Anak sang pedagang burung yang masih duduk di kelas dua SD menemukannya dan menjadikannya sarana bermain olok-olok bersama teman-temannya. Kejijikan terhadap Si Dee dijadikan permainan anak-anak itu, sampai kemudian sang pedagang burung menegur mereka dan menyuruh untuk membuang Si Dee ke tempat sampah. Tanpa adu argumen, anak-anak itu menuruti perintah itu. Kini Si Dee teronggok di tempat sampah. Pupus sudah harapannya. Hilang sudah imannya. Ia tak lagi menjadi Si Dee yang dulu, Si Dee yang penuh iman, penuh harapan dan senyuman. Ia kehilangan cahayanya. Ia memilih menjadi atheis. Ya, Si Dee kini menjadi celana dalam yang atheis. Esoknya, Si Dee berpindah tempat ke tempat pembuangan sampah umum. Ia merasa bahwa kini ia hanya sampah yang menunggu untuk tertimbun di dalam tanah dan terurai menjadi debu lagi. Ia ingat sepotong ayat kitab suci, firman Dewa Celana Dalam. "Engkau adalah debu, dan kelak engkau akan kembali menjadi debu." Si Dee sudah menjadi atheis, namun ia tak bisa melupakan seluruhnya ajaran-ajaran yang pernah diterimanya dulu. Seorang lelaki gila masuk ke tempat pembuangan sampah itu. Telanjang, dekil dan bau. Ia melihat-lihat adakah makanan yang bisa dimakannya atau apapun yang bisa dimanfaatkannya. Orang gila itu memakan sisa-sisa makanan di tempat sampah itu. Lalu ia menemukan sebuah topi dekil yang langsung dipakainya. Dan, ia menemukan ... Si Dee... Orang gila itu memakai Si Dee untuk menutupi bagian tengah tubuhnya. Ah, terasa nyaman. Lebih nyaman ketimbang tidak memakai apapun. Lebih hangat. Lelaki gila itupun tersenyum senang. Si Dee tak serta merta tersenyum. Bayangan masa lalunya di rumah majikannya dulu masih melekat, membuat ia membandingkannya dengan keadannya sekarang. Dekil, kering, dan dipakai oleh seorang lelaki gila. Butuh waktu agak lama sebelum akhirnya Si Dee menyadari bahwa keadaannya kini jauh lebih baik ketimbang waktu masih di atas genteng dulu, kepanasan, kehujanan dan tanpa masa depan. Kini, Si Dee walaupun tak lagi berada di tempat yang nyaman tapi ia bisa merasa sangat bersyukur karena ia bisa kembali lagi melanjutkan kariernya, menapaki takdirnya, dalam profesi yang sejak dulu sangat dibanggakannya : menjadi Penjaga Burung ... [caption id="attachment_69466" align="aligncenter" width="260" caption="Lelaki Gila Itu..."][/caption] Inilah nasib si lelaki gila itu apabila ia tak dipertemukan oleh Sang Hidup dengan Si Dee, si celana dalam penjaga burung. Untung ada Si Dee. +++ Tak perlu lah dipikirkan apa moral cerita di atas, karena salah satu tips menulis adalah "Sebuah cerita tak harus memiliki moral cerita." Kalau toh para pembaca bisa menemukan moral cerita dari cerita di atas, anggaplah itu sebagai sebuah pencerahan yang tak semua orang bisa mendapatkannya. Hanya orang-orang terpilihlah yang bisa mendapatkan hidayah dari cerita ini. Pesanku untuk siapapun yang bisa menemukan moral cerita dari kisah di atas, sebarkanlah. Beritakanlah. Ajarkanlah kepada keluargamu, kepada anak cucumu turun temurun, tuliskanlah di dahimu, di tiang pintu rumahmu, supaya mereka ingat kepada perkataanku, Dewa Celana Dalam. Peace. Damai di bumi, damai di hati, damai di dalam celana dalam. +++ Diketik oleh tarian sepuluh jariku ketika kepala tak lagi berisi karena otak sedang jalan-jalan ke dengkul. Isi di luar tanggung jawab penulis.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun