Sebuah tanda, diikuti dengan sebuah tanda, lalu diikuti dengan tanda yang lain, maka itu adalah tanda besar, petunjuk untuk melakukan sesuatu. Tulisan ini adalah hasil dari sesuatu itu. Malam ini aku tergelitik dengan semacam diskusi kecil di salah satu group di Facebook. Belum bisa disebut diskusi sebenarnya, karena baru ada satu pernyataan yang diikuti pertanyaan lalu ditanggapi dengan pertanyaan balik kepada si penanya. O ya, dan satu orang iseng yang nimbrung memberi pernyataan yang tidak populer. Hahaha Berikut ini kutipan diskusi itu, dengan sedikit sensor pada nama-nama pihak yang berdiskusi :
PK : Hari ini, 17 Mei, diperingati sebagai International Day Against Homophobia. Dalam peringatan ini kita diajak untuk mengurangi prasangka, penghakiman dan stereotype terhadap kelompok minoritas yang punya orientasi seksual yang berbeda. Sayangnya, gereja kadang masih fobia terhadap kaum tansgender dan bingung dalam menemukan bentuk pelayanan yang pas. Contohnya adalah tautan ini. Si penulis ini menganggap bahwa kaum transgender itu dirasuki oleh setan. Bahkan sampai orang yang bersangkutan pun masih diviktimisasi (dijadikan korban) di mimbar atau percakapan sehari-hari. Bagaimana seandainya ada kaum transgender dan penyuka sesama jenis ingin menjadi anggota gereja. Apa tanggapan gereja? http://www.sabdaspace.org/mendadak_jadi_banci_termakan_sumpah www.sabdaspace.org 39 minutes ago · Like · · Unsubscribe GT : maaf, bagaimana dengan ayat ini pak? Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri. 29 minutes ago · Like BS : ayatnya harus diubah. 25 minutes ago · Like PK : Berkaitan dengan ayat dari Imamat 20:13 itu, menurut pak GT, sebaiknya gereja harus bersikap gimana ya? Bingung juga nih! 25 minutes ago · Like
Masalah sosial kemasyarakatan memang seringkali membawa kebingungan tersendiri ketika bersentuhan dengan agama. Entah sudah berapa kali saya mendengar perbincangan bahkan perdebatan dalam agama saya tentang apakah merokok itu berdosa atau tidak, bolehkah seorang yang beragama Kristen menikah dengan orang yang berbeda agama, juga tentang homoseksualitas seperti dalam diskusi di atas. Saya tidak akan membahas tentang homoseksualitas dalam agama, melainkan tentang permasalahan dengan pandangan seseorang ketika ia memakai kacamata agama. Kebetulan sekali siang tadi saya menghabiskan waktu be'ol saya dengan membaca buku Think ! Before It's Too Late (Berpikirlah Sebelum Terlambat) yang ditulis oleh Edward De Bono, seorang pakar dalam ilmu berpikir. Buku bagus, wajib dibaca. Bukunya seperti ini :
Dalam Bab 15 yang berjudul Dua Puluh Tiga Alasan Mengapa Daya Pikir Kita Sangat Miskin, salah satu alasan yang dikemukakan adalah Agama. Saya kutipkan isi perikop tersebut :
Bukan berarti agama selama ini anti-berpikir. Permasalahannya adalah bahwa agama telah menekankan satu tipe berpikir. Secara efektif, hal ini telah mengunci budaya intelektual ke dalam logika, kebenaran dan argumen. Dalam agama, tidak ada tempat untuk persepsi. Segalanya telah dibentuk oleh doktrin yang harus diterima melalui iman. Sekali Anda menerima doktrin ini, selanjutnya Anda akan memersepsi dunia ini melalui kerangka tersebut. Dahulu, para pemikir yang rewel dicap sebagai bidaah dan bahkan mereka dibakar. Bahkan, Galileo, yang pemikirannya didukung oleh observasi-observasi dan teori-teori ilmiah, terpaksa tunduk pada Gereja. Ortodoksi adalah yang lebih dipentingkan dan ini memengaruhi pemikiran. Bukanlah pembatasan pada isi pemikiran yang berdampak besar, melainkan pada metode berpikir yang sesungguhnya, yang terpaksa mandeg pada model 3 Sekawan Yunani (Sokrates, Plato, Aristoteles). Kita perlu memakai metode-metode berpikir yang baru.
Perhatikan kalimat yang saya garis bawahi. Itulah yang terjadi pada orang-orang beragama. Alih-alih memandang dunia apa adanya lalu membentuk persepsi yang terbaik bagi kebaikan manusia dengan berpikir bersama-sama mengenai permasalahan yang ada, keberadaan doktrin-doktrin agama justru meniadakan proses pembelajaran manusia mengenai dirinya sendiri dan keberadaannya dalam kehidupan bersama-sama manusia lainnya. Doktrin-doktrin agama seperti kacamata kuda yang membuat penganutnya hanya mampu melihat jalan yang ada di depan mereka dan tidak bisa melihat yang sedang terjadi di samping kanan kiri mereka. Doktrin agama seperti rel kereta api yang kaku yang memaksa kereta berjalan menurut jalur yang sudah ditentukan oleh rel itu. Parahnya doktrin agama juga memaksa kendaraan selain kereta untuk berjalan di rel itu. Jadilah mobil, sepeda motor, bahkan pesawat terbang harus berjalan mengikuti jalur yang sudah ditentukan oleh rel kereta api itu. Dalam diskusi di awal tulisan ini, nampak jelas kebingungan yang terjadi ketika sebuah permasalahan sosial, dalam hal ini homoseksualitas, bertemu dengan doktrin agama yang mengatakan bahwa homoseksualitas adalah sesuatu hal yang jahat, najis, bahkan hukumannya adalah mati. Doktrin agama ini menutup mata penganutnya untuk mencoba melihat dari persepsi yang lain, misalnya saja persepsi sains. Beberapa waktu yang lalu seorang sahabat di Facebook mengunggah sebuah tautan menuju sebuah video di Youtube buatan National Geographic yang membahas bagaimana proses terbentuknya sifat homoseksualitas dari sudut pandang sains. Bagi yang koneksi internetnya memungkinkan untuk melihat atau mendownload video Youtube, inilah videonya : Bagi yang koneksi internetnya tidak memungkinkan untuk melihat video tersebut, saya akan memaparkan isinya dalam bentuk tulisan berikut ini.
Video itu menceritakan tentang dua orang yang kembar identik namun masing-masing memiliki orientasi seksual yang berbeda. Satu orang gay dan satunya lagi straight. Kasus ini cukup membingungkan para ahli genetika karena kembar identik memiliki DNA yang identik pula. Kini ada sebuah cabang baru dari ilmu genetika yang meneliti efek-efek dari protein-protein tertentu yang mempengaruhi kemunculan sifat-sifat gen. Cabang baru ini disebut Epigenetika. Diharapkan banyak pertanyaan akan terjawab, misalnya bagaimana orientasi seksual seseorang ditentukan secara biologis dan bukan oleh pilihan orang itu. Celso dan Jesus Cardenas adalah dua orang yang kembar identik, lahir dan besar dalam rumah yang sama, namun tumbuh dengan orientasi seksual yang berbeda. Penelitian menyatakan bahwa kemungkinan seseorang terlahir gay adalah 5%, kecuali dia memiliki saudara kembar yang gay. Bila seseorang memiliki saudara kembar identik yang gay, kemungkinannya 50% ia juga akan menjadi gay. Pada awal kehamilan, semua janin berjenis kelamin perempuan. Baru pada sekitar minggu keenam, barulah janin yang memiliki kromosom Y membentuk testis yang memproduksi hormon testosteron. Pada minggu kedelapan, hormon testosteron dilepaskan dan mempengaruhi awal perkembangan otak. Testosteron memaskulinkan tubuh dan memaskulinkan otak termasuk hypothalamus yang sebagian mempengaruhi kepada siapa kita akan tertarik secara seksual. Beberapa ilmuwan percaya bahwa semakin hypothalamus terekspos oleh testosteron, semakin ia diset pada keadaan tertarik secara seksual kepada perempuan. Kadang-kadang, beberapa janin laki-laki tidak memproduksi cukup testosteron atau otaknya tidak menyerap cukup testosteron untuk membuatnya menjadi heteroseksual. Jika teori ini benar, maka mungkin otak Celso menyerap cukup testosteronnya untuk memaskulinkan tubuhnya tapi tidak cukup untuk memaskulinkan otaknya. Hasilnya, ia memiliki ketertarikan seksual pada pria. Banyak pertanyaan yang belum terjawab, tapi orang-orang seperti Celso dan Jesus Cardenas berperan penting membantu para ilmuwan untuk memahami bagaimana dan kapan seksualitas manusia berkembang. Epigenetika mengungkapkan bahwa meski tiap kode DNA Celso dan Jesus Cardenas sama, caranya berfungsi bisa berbeda. Genom manusia memiliki sekitar 20.000 gen, masing-masing dengan fungsi yang spesifik seperti memproduksi energi atau mengatur divisi sel. Sekarang ahli genetik meneliti aspek genom yang tadinya tidak diketahui yang disebut dengan epigeno, sebuah rangkaian kimiawi yang bertindak seperti saklar yang mampu mengaktifkan atau menonaktifkan gen individual. Rangkaian DNAnya tetap ada di sana, namun saklar ini bisa membuatnya aktif atau tidak aktif. Dengan demikian ini mempengaruhi perbedaan-perbedaan yang muncul di antara manusia, misalnya mengapa sebagian manusia terserang penyakit dan sebagian lagi tidak. Epigenetika mungkin juga berperan penting dalam pembentukan preferensi seksual. Jika seksualitas ditentukan oleh sebuah gen yang belum diketahui, pengaktifan atau penonaktifan gen tersebut oleh epigeno menentukan preferensi seksual seseorang. Perubahan genetik inilah yang mungkin mempengaruhi mengapa ada otak yang menyerap banyak testosteron dan ada yang tidak yang kemudian mempengaruhi apakah seseorang menjadi straight atau gay. Menjadi semakin jelas bahwa kesehatan kita, kepribadian kita, selera kita dan bahkan penampilan kita adalah produk dari gen kita atau dari lingkungan kita. Sifat alami dan perkembangan kita tak terpisahkan. Melalui genetika, biologi menghubungkan keduanya.
[caption id="attachment_132" align="aligncenter" width="466" caption="Celso dan Jesus Cardenas"][/caption] Itulah kira-kira gambaran video di atas. Maaf kalo terjemahannya agak membingungkan. Bahasa Inggris saya tidak begitu bagus. Mungkin itulah sebabnya Kate Middleton lebih memilih William daripada saya. Pada link yang tercantum dalam diskusi di awal tulisan ini, Anda juga bisa melihat bahwa begitu mudahnya orang beragama menghubungkan hal-hal yang jahat menurut kerangka doktrin agamanya sebagai bagian dari dunia kegelapan, iblis dan etc etcnya. Tulisan di link itu menceritakan tentang seorang suami yang bersumpah akan menjadi banci kalau istrinya selingkuh. Kebetulan sekali -meski menurut saya bukan kebetulan- si istri benar-benar selingkuh. Suami ini pun tiba-tiba berubah perilaku menjadi seorang banci, bahkan akhirnya memutuskan untuk melakukan mengubah jenis kelaminnya menjadi perempuan melalui operasi kelamin. Si penulis cerita itu, sebagaimana biasanya orang yang memakai kacamata kuda doktrin agamanya, langsung menghubungkan kejadian ini dengan iblis. Menurut penulis, sumpah yang diucapkan oleh sang suami itu dicatat oleh iblis dan lalu ketika prasyaratnya terpenuhi, iblis merasa berhak untuk merasuki sang suami itu lalu mengubah orientasi seksualnya. Ini pandangan yang nampaknya benar ketika dipandang hanya dari sudut pandang si penulis saja. Padahal kasus tersebut bisa pula dipandang dari persepsi ilmu pengetahuan tentang pikiran dan cara kerja otak. Sumpah adalah kata-kata, kata-kata yang keluar dari mulut pertama kali tercipta di otak. Sumpah seringkali diucapkan dalam emosi yang begitu intens. Emosi yang intens ini menyebabkan kata-kata yang terucap langsung tertanam dalam pikiran bawah sadar si pengucap. Ilmu pengetahuan tentang pikiran mengungkapkan bahwa hidup manusia 88% dikendalikan oleh pikiran bawah sadarnya. Apa yang terjadi dalam kehidupan manusia adalah buah dari apa yang tertanam dalam pikiran bawah sadarnya, baik itu secara sadar maupun tidak. Sang suami dalam hal ini merekam gambar si istri yang berselingkuh dan gambar dirinya menjadi banci dalam pikiran bawah sadarnya. Kemudian seperti yang dikatakan Buddha, "Pikiran adalah pelopor," akhirnya benar-benar kejadian si istri selingkuh. Ini memicu gambar lain yang terkait dalam pikiran bawah sadarnya termanifestasi, yaitu gambar dirinya menjadi banci. Jadi menurut persepsi sains pikiran, sang suami menjadi banci bukan karena kerjaan iblis atau roh jahat melainkan kaerna tanpa disadarinya pikirannya sendiri yang mengarahkan kehidupannya menjadi begitu. Persepsi ini akan sulit diterima oleh orang yang tidak terbiasa berpikir atau melihat dari berbagai persepsi seperti umumnya orang beragama. Hari Minggu lalu saya menonton kisah yang menakjubkan tentang homoseksualitas dalam acara Oprah. Bintang tamu Oprah waktu itu adalah Chely Wright, seorang perempuan penyanyi country papan atas di Amerika. Sejak remaja ia sadar bahwa ia seorang homoseksual. Namun lingkungannya yang sangat kuat pengaruh agamanya membuatnya menolak dirinya sendiri. Selama 12 tahun sejak ia menjadi artis top Amerika, ia menyembunyikan homoseksualitasnya rapat-rapat. Ia bahkan menjalin hubungan dengan beberapa pria untuk menutupi kenyataan yang sebenarnya sambil mencoba untuk mengingkari fakta orientasi seksualnya. Namun begitu akhirnya ia memutuskan untuk berhenti hidup dalam kebohongan. Bulan Mei 2010 ia mengungkapkan rahasianya pada publik melalui bukunya yang berjudul Like Me. [caption id="attachment_133" align="aligncenter" width="300" caption="Chely Wright"][/caption] Bukan kisah itu yang menakjubkan bagi saya, melainkan kisah ketika Chely mengungkapkan rahasianya itu kepada ayahnya, Stan. Ketika Chely mengatakan hal yang disembunyikannya selamabelasan tahun kepada ayahnya, mulanya sang ayah tidak mengatakan sepatah katapun. Sang ayah hanya memeluknya lalu berkata, "Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja." Stan mengatakan bahwa ia dibesarkan dalam lingkungan yang membuatnya percaya bahwa homoseksualitas adalah sesuatu yang salah dan berdosa, namun ia segera mengetahui bahwa hal itu tidaklah benar. Stan berkata tentang anaknya, "Aku mengenal hatinya. Aku mengenal pikirannya. Aku mengenal jiwanya. Ia adalah anak yang baik. Kita sering mendengar bahwa cinta itu tak bersyarat. Well, dalam kehidupan orang tua ini, hal itu benar. Cinta itu tak bersyarat." Kisah tentang Chely Wright ini bisa Anda baca pula di website Oprah. Kata-kata Stan di atas membuat kita bisa melihat pula bahwa seringkali ada kontradiksi antara doktrin agama dengan pelaksanaannya. Agama yang dianut Stan dan Chely jelas mengajarkan tentang cinta kasih. Bahkan cinta kasih adalah pesan utama yang dibawa oleh Yesus, junjungan agama Stan dan Chely. Namun pelaksanaannya seringkali justru bertentangan dengan intisari ajarannya. Doktrin agama telah membutakan mata manusia mengenai hal-hal yang benar-benar penting. Doktrin agama telah mengaburkan pesan utama Yesus menjadi buaian tentang Surga dan ancaman penderitaan tak tertahankan di Neraka. Tidak hanya terjadi dalam agama Kristen, hal serupa terjadi di hampir semua agama. Mengenai kontradiksi ini beberapa hari lalu saya menulis postingan berjudul Kontras Bah ! yang bisa Anda temukan di website ini juga. Akhirnya, kita jelas memerlukan perkembangan dalam pemikiran mengenai manusia dan kehidupan. Ada banyak kebijaksanaan di masa lalu yang masih relevan di masa kini, namun jelas ada banyak pula yang perlu pemahaman baru yang lebih cocok untuk situasi saat ini. Kita perlu pemikiran-pemikiran baru, atau kita akan punah saling membunuh untuk kebenaran-kebenaran doktrinal yang masing-masing kita anggap sebagai satu-satunya kebenaran. Sebagai penutup, ijinkan saya mengutip cerita yang dituturkan oleh Pastor Anthony De Mello, SJ dalam bukunya Kicauan Burung yang baru minggu lalu saya beli.
Seorang terpelajar menqhadap Buddha dan berkata: "Hal-hal yang Tuan ajarkan tidak terdapat dalam Kitab Suci!" "Kalau begitu, masukkanlah dalam Kitab Suci," kata Buddha. Orang itu malu sejenak, lalu berkata lagi, "Bolehkah saya memberanikan diri mengemukakan, bahwa dari hal-hal yang Tuan ajarkan ada yang jelas-jelas bertentangan dengan Kitab Suci?" "Kalau begitu, ubahlah Kitab Suci," kata Buddha. Sebuah usul diajukan kepada Perserikatan Bangsa Bangsa, agar semua Kitab Suci dari semua agama di seluruh dunia ditinjau kembali. Semua ayat yang mengarah kepada intoleransi, kekejaman atau fanatisme harus dihapus. Segala sesuatu yang mengurangi martabat dan kesejahteraan manusia, harus dihilangkan. Ketika diketahui, bahwa usul itu diajukan oleh Yesus Kristus sendiri, para wartawan bergegas menyerbu tempat kediamannya untuk minta penjelasan lebih lanjut. PenjelasanNya sederhana dan singkat saja: "Kitab Suci seperti hari Sabat, adalah untuk manusia. Bukan manusia untuk Kitab Suci."
Purworejo, 18 Mei 2011 Berlin Sianipar Jasa SEO | Jasa Pembuatan Website | Jasa Pembuatan Toko Online
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H