Paguyuban Pasundan. Pendirian paguyuban ini didasari dengan awal berdirinya organisasi Budi Utomo pada 20 Mei 1908. Organisasi Budi Utomo hanya bergerak di lapisan atas di kalangan pegawai pamongpraja saja tidak meluas di kalangan rakyat banyak. Dengan banyaknya orang sunda yang keluar dari organisasi Budi Utomo mendorong berdirinya Stovia khusus untuk orang sunda. Pada 20 Juli 1913, setelah D. K. Ardiwinata menyetujuinya, organisasi ini resmi didirikan dengan nama "Pagoejoeban Pasoendan".
Banyak masyarakat umum yang belum memahami terkaitSiswa Stovia dari Sunda percaya bahwa orang Sunda memerlukan organisasi sendiri untuk bersatu, terutama mereka yang berada di luar daerahnya. Setelah menyanggupi untuk mendirikan perkumpulan, diadakan pertemuan di rumah D.K. Ardiwinata pada hari Minggu, 20 Juli 1913. Siswa HBS, KWS, dan STOVIA mengundang Oto Soebrata, Loekman Djajadiningrat, Achmad Zoechra, Soetadinata, Ashari, orang tua, dan lainnya ke rapat tersebut. Rapat memilih untuk membentuk organisasi "Pasoendan", memilih pengurus, dan menetapkan tujuan sementara.
Tujuan didirikan organisasi ini adalah memajukan budaya dan bahasa Sunda; Memajukan ilmu pengetahuan dari bahasa Belanda; Berpartisipasi aktif dalam pengembangan pengetahuan orang Sunda; dan Tidak terlibat dalam pemerintahan negara. Sampai saat ini hal tersebut selalu dipertahankan dalam pelaksanaan seluruh departemen pendidikan di Yayasan Paguyuban Pasundan, termasuk Universitas Pasundan. Hal ini ditunjukkan melalui penerapan nilai-nilai Tri Tangtu untuk menjaga nilai-nilai agama, intelektual, dan budaya masyarakat Sunda. Selain itu, mahasiswa PPG calon guru juga belajar untuk terlibat dalam proses penanaman budaya dan pembelajaran pasundan secara berkelanjutan.
Yayasan Paguyuban Pasundan berfokus pada cita-cita membangun masyarakat Sunda yang sejahtera lahir dan batin. Dengan tetap dipertahankannya persamaan tersebut, maka realisasi dan penghormatan terhadap cita-cita luhur yang telah terjalin selama bertahun-tahun menjadi landasan kokoh bagi keberadaan Paguyuban Pasundan hingga saat ini. Untuk menjadi anggota, setiap orang Sunda yang berusia minimal 18 tahun dan siapa saja yang merasa bahagia serta mempunyai perasaan terhadap masyarakat Sunda dan tanah kelahirannya dapat menjadi anggota.
Pengetahuan dan pengalaman baru yang saya peroleh setelah mendalami kepasundanan adalah kesadaran betapa budaya Sunda selalu bisa tertanam dan selalu diamalkan tanpa kita sadari. Hal-hal yang awalnya dianggap biasa bagi masyarakat, jelas merupakan nilai-nilai yang mempunyai kaitan tidak langsung yang kuat dengan budaya Sunda. Lebih lanjut, keberadaan suku Sunda yang dikenal di berbagai daerah di Indonesia dan pada awalnya dianggap biasa, kini dapat dijelaskan lebih bermakna karena hal tersebut jelas merupakan salah satu tujuan didirikannya Paguyuban Pasundan.
Sebagai calon guru profesional, saya berharap dapat menerapkan ilmu dan pengalaman gagasan kepasundanan dalam berbagai aspek untuk membantu penanaman karakter dan budaya belajar yang lebih baik sesuai focus utama kurikulum merdeka saat ini. Di lingkungan kelas dan sekolah, saya bertujuan untuk mengadakan acara seni dan budaya Sunda dan menyisipkan pembelajaran bahasa Sunda dalam kurikulum. Contohnya diadakan kegiatan "Kamis Nyunda", dalam penerapan kegiatannya anak-anak di ajarkan untuk memakai pakaian adat sunda, dan selama satu jam pelajaran pertama mengajarkan menerapan bahasa sunda yang baik dan benar sesuai tingkatan. Pembelajaran di kelas diajarkan materi tentang budaya sunda pada pembelajaran SBdP, pada mata pelajaran lain dapat dikenalkan geografi dan sejarah kesundaan untuk membantu peserta didik memahami identitas budaya mereka. Adanya kesejahteraan dan keterpaduan penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa Sunda oleh siswa dan pendidik di dalam kelas sebagai bentuk pelestarian dan pemeliharaan penggunaan bahasa Sunda.
Pengimplementasian wawasan kepasundanan sebagai calon guru yang professional juga mampu menerapkan kesatuan dan persatuan, dengan menjadi pedoman untuk siswa dalam menghargai keberagaman budaya dan bahasa di Indonesia.Merancang dan mengembangkan kurikulum yang mengintegrasikan nilai-nilai budaya Sunda, termasuk pelajaran sejarah, seni, dan bahasa, yang relevan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Menghargai budaya sunda, dengan mengajarkan dan mengenalkan budaya sunda pada siswa. Mengembangkan pendidikan karakter, dengan membentuk karakter siswa yang santun, mandiri, dan menghargai perbedaan. Penerapan nilai-nilai tersebut akan jauh lebih baik dan efektif jika dilakukan di tingkat keluarga. Karena segala sesuatu yang ditanamkan sejak dini secara konsisten dan terus menerus secara tidak langsung akan membentuk suatu kebiasaan yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa kita sadari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H