Berbicara hukum adat sangat dekat dengan tatanan sosial dalam sebuah masyarakat. Setiap masyarakat memiliki karakteristik tersendiri dalam hal norma, etika, dan pergaulan, serta batasan dalam berinteraksi sosial. Karakteristik tersebut akan membedakan satu komunitas masyarakat dengan masyarakat yang lain tergantung dengan wilayah atau pola garis keturunan.
 Relasi Hukum Adat dan Putusan Pengadilan Bagi bangsa Indonesia pembinaan hukum nasional, bukan semata-mata merupakan monopolinya bidang perundang-undangan saja, akan tetapi juga dilakukan melalui berbagai sektor antara lain melalui yurisprudensi. Yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum akan menentukan arah perubahan dalam suatu pembinaan hukum dapat lebih cepat terakomodir, sehingga hukum yang dilahirkan dapat sesuai dengan perasaan keadilan yang hidup di masyarakat dan perwujudan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan.
 Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan atau melahirkan hukum atau asal mulanya hukum. Sumber hukum menurut Kansil dapat dilihat dari segi materil dan segi formal. Sumber hukum formal antara lain: undang-undang (statute), kebiasaan (custom), keputusan-keputusan hakim (yurisprudensi), dan traktat (treaty) (Agustine, 2018: 645). Urgensi kedudukan yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum senantiasa harus dikaitkan dengan tugas dan kewenangan hakim yang dijamin oleh konstitusi.
 Jaminan konstitusi bahwa hakim memiliki independensi dalam memeriksa, mengadili, dan memutus sebuah perkara. Independensi tersebut melahirkan kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya yang tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.  Oleh sebab itu, hakim dalam memutus perkara mendapatkan legalitas melakukan penemuan hukum atau rechtsvinding dengan melakukan penafsiran undang-undang.
 Mertokusumo sebagaimana dikutip Muwahid mengemukakan penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya, yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwaperistiwa hukum konkret. Penemuan hukum dilakukan oleh karena undang-undang tidak lengkap atau tidak jelas, hakim harus mencari hukumnya dan harus menemukan hukumnya (rechtsvinding). Teori tentang penemuan hukum ini menjawab pertanyaan mengenai interpretasi atau penafsiran terhadap undang-undang. Pada dasarnya setiap orang dapat menemukan hukum, namun penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim adalah hukum, sedangkan penemuan hukum yang dilakukan oleh orang adalah doktrin, dalam ilmu hukum doktrin bukanlah hukum melainkan sumber hukum (Muwahid, 2017: 225).
  Penemuan hukum selalu menghasilkan ketentuan hukum baru, maka secara praktis setiap penemuan hukum pasti merupakan pembaruan hukum. Selain itu, penemuan hukum oleh hakim selalu bersifat kasuistis, yakni untuk kasus tertentu yang sedang dihadapi, sehingga tidak mesti berlaku untuk kasus-kasus lainnya, kecuali jika memang kasusnya sama persis. Namun sebenarnya semua kasus hanya memiliki sifat serupa tapi tak sama (Ardi, 2015: 54-55). Dengan sifat kasuistis atau ad hoc ini, maka satu ketentuan atas penemuan hukum dengan objek yang sama akan memungkinkan melahirkan putusan hakim yang berbeda. Hal tersebut dikarenakan berbagai faktor, antara lain: latar belakang perkara, para pihak yang berperkara, dan pemahaman hakim itu sendiri.
  Penemuan hukum atau rechtsvinding tersebut sejalan dengan kewajiban hakim dalam Pasal 20 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie, yaitu: "Hakim harus mengadili berdasarkan Undang-Undang," selaras dengan asas hukum berlaku umum yaitu ius curia novit, hakim dianggap tahu hukum. Ketentuan tersebut kemudian disempurnakan melalui Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu Pasal 10 ayat (1) yang menyatakan pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
 Hukum positif betapa pun lengkapnya tetap saja terbatas, ketika terjadi perbedaan penerapan antara hukum positif dan hukum adat, keduanya hendaklah memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai dasar penyelesaian sengketa. Hakim selaku mahkotanya melalui putusannya, mutlak perlu memiliki pengetahuan mengenai hukum adat yang berlaku di masyarakat, agar hukum tidak hanya berjalan sebagai positivistic/legalislic yang tertulis saja, akan tetapi juga mengadopsi nilai-nilai adat yang berlaku dan tidak menempatkan hakim hanya sebagai corongnya undang-undang saja (Rasyid, 2017: 71).Â
Peluang terhadap potensi kekosongan hukum atau aturan hukum positif tidak berlaku, sehingga sebagai jalan keluarnya adalah Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyatakan hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam penjelasan dikatakan ketentuan tersebut dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
  Nilai dasar dalam ketentuan tersebut adalah hakim diberikan peluang untuk menggali nilainilai hukum, seperti adat istiadat dan hukum adat yang berlaku di masyarakat, sehingga hakim tidak hanya mengandalkan hukum positif semata. Keterbatasan hukum positif membuka peluang bagi hakim melakukan penemuan hukum dalam putusan hakim/pengadilan terdahulu, akan menjadi referensi bagi hakim mengisi kekosongan hukum sebagai yurisprudensi bagi hakim. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan yurisprudensi sebagai ajaran hukum melalui pengadilan dan atau himpunan putusan hakim (Depdiknas, 2002: 1278). Sedangkan Black's Law Dictionary mendefisikan antara lain: more modernly, the study of the general of fundamental element of particular legal system and judicial precedents considered collectively (Garner, 2004: 931-932).
  Pada masa kini yurisprudensi disebut juga keputusan hakim atau keputusan pengadilan. Istilah yurisprudensi berasal dari kata jurisprudentia (bahasa Latin), yang berarti pengetahuan hukum (rechts-geleerheid). Yurispudensi biasa juga disebut "judge made law" (hukum yang dibuat pengadilan). Kata yurisprudensi sebagai istilah teknis Indonesia, sama artinya dengan kata jurisprudential (bahasa Belanda) dan jurisprudence dalam bahasa Perancis, yaitu peradilan tetap atau hukum peradilan (Kartini, 2015: 142).