Mama itu ibu rumah tangga, sampai disaat harus menggantikan mbah (uty (nenek Perempuan)) berdagang (kata lain jualan). Sejak saat itu, toko yang sejak mama belum lahir pun akhirnya dikelolanya, sebelumnya, dari kecil aku sering bantu mbah kalau toko ramai dan aku libur sekolah, masih ingat sewaktu duduk di SD kelas 1/2 gitu, aku bantu mbah sama mama di toko (ya, nemein aja sih), aku duduk di kursi belakang, mainan uang-uangan palsu, atau gambar-gambar lah, nah, kalau ayah pulang kerja sore, pasti mampir di toko (jarak rumah ke toko sekitar 20-30 menit lah). Kalau ayah mampir buat jemput aku, atau bawa barang buat toko, aku selalu ngajak ke alun-alun (oiyah, Lokasi di Mojokerto yah). Disana masa itu masing banyak orang berjualan setiap sore-malemnya di alun-alun, aku suka belanja buku bekas disana. Dulu waktu kecil, ada kalanya aku minta buku bekas saja (karena aku ngerasa harus hemat, ga minta aneh-aneh (walau mostly semua yang aku minta selalu mereka usahakan dan berikan)). Cerita sedikit walau gada kolerasinya dengan kisah yang jadi inti artikel ini, dulu budaya membacaku ga nurun dari siapa-siapa (maybe), tapi kalau seni, ada, dari ayah, nanti akan aku tuangkan di artikel selanjutnya yah!
Singkat cerita, waktu itu di alun-alun aku beli komik, komik bekas harga Rp 5000,- terbitan 1986 tauk, bagus ceritanya, satu hari baca sudah selesai itu.
Itu hanya pembuka artikel yang aku tulis kali ini, mungkin kesimpulannya bukan di aku yang suka membeli buku, tetapi aku yang suka ikut mama sama mbah di toko  (yang kadang bantu riwa-riwi, kadang hanya duduk sibuk sendiri). Sampai sekarang ketika aku sudah kuliah semester 5 pun tetap bantu mama, minusnya mbah sudah tidak ikut jaga toko lagi. Liburan lalu, aku magang mandiri di KPU Mojokerto, pagi-sore, sore mampir toko, selesai maghrib baru pulang kerumah. Satu bulan aku magang, di beberapa hari selesai magang aku bantu-bantu di toko. Hingga (ini inti ceritanya) "Wah, ini anaknya ya, pinter ya, ikut bantu jualan, besok diterusin dia ya tokonya (sambil senyum).", mamaku jawab "nggeh saya yang jualan, anak saya biar besok kerja saja bukan malah nerusin jualan.", oke, aku tersinggung sejak ibu itu selesai bicara, alih-alih bukan karena pekerjaan ini (jualan/berdagang (aku mix" saja ya)) ga asik atau receh begitu, bukan, melainkan, sebagai lulusan sarjana kedua dalam keluarga tentu ada harapan untuk kerja di tempat yang berbeda dari yang ayah dan mama lakukan sekarang. Jujur, kalau kalian mendengar pernyataan tersebut, dengan nada yang diucapkan saat itu, pasti faham arahnya kemana, malam nya "tadi ada yang bilang, anakku besok penerus jualan di toko, itu suatu hal yang melawan maksudku nyekolahin dia di jurusan yang ia mau, mbak." Ujar mama ke mbak nik (yang bantu jaga toko dari malam sampai pagi setiap harinya). Aku hanya mendengar itu, hingga aku dengar, mama bilang "anakku itu investasiku", "investasi apa ma!" ujarku spontan dengan nada kaget (sedikit). "ya apalagi, investasi akhirat.....", aku tenang mendengarnya. Aku kira mama bakal bilang investasi masa tua, ternyata tidak, ini yang ingin aku sampaikan, ada rasa bangga, mama bilang begitu, walau disisi lain sekitas 95% nya lagi berpikir keras evaluasi diri, sampai di titik investasi akhirat untuk orangtua yang jalur mana, dan mulai dari mana. Aku pernah membaca sebuah postingan yang disana, penulis mengatakan bahwa ia yang sekarang diberi fasilitas lengkap, tujuannya adalah untuk investasi dikala orangtuanya sudah tua, entah contohnya yang seperti apa, namun, dari mimik cerita, aku rasa itu hal yang menyedihkan. Dengan jawaban mama yang begitu, lantas aku harus?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H