Tadi malam aku berjumpa dengan puisi
Berjalan seorang diri, di sepinya lorong malam yang larut
Tidak seperti biasa, puisi tampak kusut, kotor dan tercium bau amarah yang sangat kuat
Dalam keremangan cahaya bulan separuh, sangat jelas, wajah puisi yang tirus, bahkan penuh dengan bercak-bercak kegeraman
Tak seperti biasa pula, tangan kanan puisi membawa sebuah keranjang, penuh sesak dengan unpatan dan makian yang hampir tunpah
Sepertinya siap dilontarkan pada dia entah siapa pembawa petaka
Pun di tangan kirinya, dua bilah kecewa dan putus asa ada dalam genggaman, ingin  dijatuhkan tapi keduanya tak mau lepas
Oh puisi...Â
Mengapa kau didihkan angkaramu
Lebih baik ikat emosimu itu dengan simpul mati, lalu buang ke aliran sungai yang deras, biarkan dia hanyut dan bubar di lautan