Lima hari yang lalu, sebuah kabar duka mengagetkan saya. Seorang teman kehilangan suami tercinta untuk selama-lamanya, akibat terpapar COVID-19. Usianya masih cukup muda, masih produktif. Di awal 40 tahun-an.
Padahal suaminya bukan seorang yang mengidap penyakit bawaan. Sehat-sehat saja selama ini. Berteman bertahun-tahun membuat saya cukup tahu kehidupan mereka.
Yang membuat saya ikut sedih dan berduka, karena suaminya pergi meninggalkan teman saya dengan tiga orang anak yang masih kecil-kecil. Si sulung masih duduk d ibangku SMP, sedangkan dua adiknya masih belajar di bangku SD. Dan teman saya ini hanya mengandalkan penghasilan suami sebagai penopang kehidupan mereka.
Saya pun turut larut dalam kesedihan. Meskipun saya sampaikan kata-kata penghiburan pada teman saya, saya tahu ini sangat berat baginya. Ditinggal suami dalam usia produktif, dengan anak-anak yang masih kecil, bukan hal mudah untuk dihadapi.
Kejadian ini seolah mengingatkan, bahwa COVID-19 masih berbahaya, dan masih mengancam jiwa.Â
Sekalpun program vaksinasi sudah berjalan sejak Januari lalu, namun program ini baru mampu menyasar sebagian kecil saja dari seluruh penduduk.Â
Mengacu pada laporan Kemenkes pada 14 Maret 2021 hingga pukul 14.00, sebanyak 4.020.124 dosis 1 vaksin COVID-19 sudah disuntikkan ke SDM kesehatan, petugas publik, dan lansia. Angka ini mengalami penambahan 34.528 dosis dibanding hari sebelumnya. Sedangkan dosis 2 sudah disuntikkan kepada 1.460.222 orang. Tercatat hanya ada penambahan 5.386 dosis dibanding hari sebelumnya. (Detik.com)Â
Bayangkan saja, jumlahnya belum lebih dari 10 juta. Bandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 271 juta jiwa. Persentasenya masih sangat kecil.
Ini berarti, tetap diperlukan kewaspadaan dari seluruh warga masyarakat, bahwa pandemi COVID-19 belum berakhir.
Protokol kesehatan tetap menjadi harga mati. Termasuk membatasi diri dari interaksi dengan orang yang tidak tinggal serumah dengan kita. Juga untuk tidak bepergian ke luar kota ataupun berlibur ke kampung halaman. Kecuali untuk alasan pekerjaan atau hal mendesak lainnya.
Adanya keputusan pemerintah yang melarang mudik Lebaran 2021, cukup membawa kelegaan. Harapannya, tidak akan ada lonjakan kasus positif COVID-19 setelah liburan Lebaran usai.
Keputusan tersebut disampaikan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy berdasarkan hasil rapat tingkat menteri, Jumat (26/3/2021). (KOMPAS.com)
Ketetapan ini berlaku bagi semua pihak, termasuk  ASN, TNI, Polri, BUMN, karyawan swasta maupun pekerja mandiri.
Keputusan tersebut diambil mengingat tingginya angka penularan dan kematian akibat Covid-19 setelah beberapa kali libur panjang, khususnya setelah libur Natal dan Tahun Baru.
Dengan demikian, upaya penanggulangan pandemi COVID-19 yang dilakukan pemerintah melalui program vaksinasi, bisa berjalan maksimal.
Siapa sih yang tidak ingin mudik kala hari raya? Berkumpul bersama keluarga tercinta, bertemu handai tolan, bahkan teman-teman masa kecil merupakan kerinduan yang selalu hadir menjelang hari raya.Â
Meskuipun keluarga kami tidak merayakan Lebaran, tetapi kami sangat merindukan budaya mudik ini, terutama di libur Idul Fitri. Hal ini dikarenakan jatah cuti dari kantor suami pada Hari Raya Idul Fitri akan lebih banyak dari libur hari raya lainnya. Paling tidak, minimal 10 hari cuti bisa didapatkan. Sangat cukup untuk berlibur ke kampung halaman atau ke suatu destinasi wisata.
Libur Lebaran biasanya kami gunakan untuk berlibur ke kampung halaman suami di Blitar atau kota-kota lain di sekitarnya. Ada kebahagiaan tersendiri bisa bertemu ibu mertua dan keluarga besar di sana.
Tidak hanya itu, berlibur ke tempat-tempat wisata juga menjadi hiburan yang mampu mengusir penat dan kejenuhan dari rutinitas pekerjaan maupun kegiatan sehari-hari.
Tetapi inilah realitasnya, situasinya belum memungkinkan. Pihak manajemen di kantor suami juga pasti akan membatasi jatah cuti, merujuk pada aturan pemerintah.
Sekalipun suami mendapatkan jatah cuti yang cukup, dan sekalipun pemerintah tidak melarang warga untuk mudik, saya dan suami pun sepertinya akan tetap bertahan untuk tidak bepergian ke luar kota, termasuk saat Lebaran.
Memang tidak ada kata lain untuk saat ini selain, bersabar. Bersabar untuk keselamatan diri, bersabar untuk keselanatan keluarga, bahkan untuk keselamatan keluarga besar. Bersabar untuk sesuatu yang mendatangkan kebaikan. (MW)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H