Saat saya kecil, daging ayam di atas meja adalah sajian langka dan istimewa. Hidangan ini hanya akan muncul di hari-hari tertentu, terutama ketika ada momen yang sedang dirayakan.
Seperti saat ada anggota keluarga yang sedang berulang tahun, ulang tahun pernikahan ayah dan ibu, atau kala Perayaan Natal dan Tahun Baru. Daging ayam pun akan muncul ketika ada tamu istimewa atau ada kegiatan ibadah sektor dari gereja. Ayamnya pun tidak perlu beli. Ibu tinggal mengambil ayam peliharaan kami dari kandang.
Karena kami tinggal di pulau yang di kellilingi laut, lauk utama kami memang adalah ikan, bukan ayam atau daging. Hampir tiada hari tanpa ikan. Jarangnya kami mengonsumsi ayam membuat dulu saya kurang menyukainya. Jadi meskipun di keluarga besar kami, makanan ini sangat istimewa, namun bagi saya sendiri justru tidak seistimewa ikan.
Keadaan ini terus berlanjut hingga kuliah. Didukung dengan uang kiriman orangtua yang tidak berlebih, memaksa saya jarang sekali menambahkan daging ayam dalam menu sehari-hari. Zaman itu, daging ayam merupakan makanan mahal bagi anak kos.
Konsumsi daging ayam meningkat ketika saya mulai bekerja. Seringnya kumpul-kumpul bersama teman, jalan, dan makan bersama sepulang kerja, membwa saya sering menjajal berbagai menu dari daging ayam. Hingga akhirnya saya begitu menyukai Ayam Bakar Gantari yang terletak di belakang Plaza Blok M.Â
Kemudian saya mengerti bahwa daging ayam mengandung banyak manfaat untuk kesehatan tubuh. Tidak ada alasan untuk tidak mengonsumsinya. Antara lain, daging ayam kaya akan protein sebagai komponen yang sangat dibutuhkan tubuh untuk menjalankan fungsinya dengan baik.
Kandungan vitamin B di dalamnya berperan penting untuk membentuk sel darah merah. Ada pula vitamin D yang dapat membantu penyerapan kalsium dan menguatkan tulang. Lalu, vitamin A menyehatkan untuk penglihatan dan berperan penting dalam sistem imun tubuh.
Selain itu, daging ayam juga mengandung mineral seperti zat besi yang bisa mencegah anemia. Kemudian ada kalium dan natrium yang baik untuk kesehatan gigi hingga otak.
Dalam pengolahannya, demi mengurangi kadar kolesterol di dalamnya, saya membuang bagian kulit ayam. Pasalnya, bagian ayam tersebut mengandung kolesterol yang cukup tinggi, yaitu 132 miligram kolesterol per 100 gram. Selain itu, total lemak yang terdapat dalam kulit ayam juga cukup besar, yaitu sebanyak 43,99 gram. Jadi cukup dagingnya saja yang saya olah.
Beda halnya dengan telur. Semasa kecil, kami cukup rutin mengonsumsi telur. Lebih sering menjadi menu sarapan pagi. Ibu membuat varian menu telur berganti-ganti setiap pagi. Bisa telur dadar, telur mata sapi, telur rebus, atau tumis telur. Ibu pun selalu menyediakan telur di dapur. Kapanpun kami ingin makan telur, kami bisa mengambilnya. Jadi sejak kecil saya sudah menyukai telur.
Saya sendiri rutin mengonsumsi telur ketika tengah mengandung anak semata wayang saya. Ketika itu saya sangat terkesan dan terinspirasi setelah membaca buku Angsa-angsa Liar (Judul asli : Wild Swans), sebuah kisah nyata tentang kehidupan penulisnya, Jung Chang pada masa kekuasaan Mao Zedong, pendiri negara RRT (Republik Rakyat Tiongkok).