Diberi kesempatan menjadi orangtua khususnya menjadi ibu, adalah anugerah dan mukjizat dari Tuhan yang tidak pernah habis saya syukuri.
Bisa mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh dan mendampingi tumbuh kembangnya tak bisa saya sandingkan dengan kebahagiaan apapun
Tatkala anak saya tidur, seringkali saya memandangnya lama, sambil merenung, sungguh saya beruntung diberi kesempatan luar biasa ini.
Menjadi ibu memang suatu anugerah. Tetapi apakah saya sudah mensyukuri anugerah Tuhan tersebut dengan menjadi ibu yang baik? Tentu jawabnya belum. Saya jatuh bangun berjuang menjadi ibu terbaik bagi anak saya.
Di waktu-waktu tertentu, ada kalanya saya merasa gagal menjadi seorang ibu. Seperti ketika saya memarahi putra saya karena sebuah kesalahan yang dibuatnya. Muncul penyesalan setelahnya karena merasa gagal mengendalikan diri dan emosi.
Hanya doa dan mendekat pada Tuhan yang membuat saya ingat bahwa saya hanyalah manusia, yang pastinya pernah berbuat salah. Bukan kesalahan itu yang utama, namun keinginan dan niat yang besar untuk berbalik dari kesalahan itulah yang terutama.
Bermodalkan proses didikan orangtua, khususnya ibu, saya belajar banyak hal. Didukung dengan pengamatan terhadap berbagai hal juga kisah-kisah kehidupan yang beredar seputar pola asuh ibu, saya memilah untuk hanya memilih pola asuh yang baik buat anak saya. Beberapa prinsip berusaha saya pegang teguh sebagai ibu dalam mendidik dan membesarkan anak saya
Mendidik dengan penuh kelembutan namun tetap tegas
Tidak setiap saat saya memosisikan diri saya sebagai ibu yang memiliki kekuasaan lebih, di depan anak saya.
Ada kalanya saya menempatkan diri sebagai teman baginya, dimana kami bisa bermain dan bersenda gurau bersama layaknya dua sahabat. Bahkan menjadi tempatnya bercerita banyak hal. Pada saat seperti ini saya akan menanggalkan posisi saya sebagai ibu, lalu berganti peran menjadi teman yang menyenangkan baginya.
Akan tetapi, dalam situasi-situasi tertentu dimana dibutuhkan ketegasan, maka kedudukan sebagai ibu kembali saya gunakan. Seperti dalam hal menegakkan disiplin dan tanggung jawab atas tugas-tugasnya. Dalam kondisi ini, saya selalu berusaha untuk tetap menjalin komunikasi dengan cara lemah lembut. Tanpa melibatkan emosi.
Dengan pola didik yang seperti ini, saya berharap anak saya tidak melihat saya sebagai ibu yang otoriter dan menakutkan, akan tetapi sebagai ibu yang lemah lembut, menyenangkan, sekaligus tegas.
Mendidik dam membesarkan anak dengan tulus, tanpa pamrih, serta tidak membangkit-bangkitkan kebaikan
Saya banyak mendengar kisah-kisah ibu yang senang sekali membangkit-bangkit atau mengungkit-ungkit semua jasa dan kebaikan yang telah dilakukan pada anak-anaknya.
Mulai dari kesulitan saat mengandung dan melahirkan, menyusui sekian tahun, merawat ketika sakit, membiayai sekolah hingga sukses, dan masih banyak hal lainnya.
Padahal bila para ibu mau jujur, anak tidak pernah minta dilahirkan. Keinginan memiliki anak murni datang dari keinginan para ibu sendiri setelah menikah. Keinginan memiliki anak umumnya didasari atas keinginan para ibu untuk mendapat pengakuan sebagai wanita menikah yang sempurna. Karena para ibu membutuhkan identitas.
Mengingat kembali semua itu, lalu mengapa harus mengungkit-ungkit seolah ibu sudah sangat berjasa pada anak? Bukankah membesarkan anak memang adalah tugas dan kewajiban orangtua?
Anak memang wajib menghormati orangtua, karena memang itu perintah dari Sang Pencipta. Tetapi orangtua juga sebaiknya memiliki hati yang tulus dalam membesarkan anak-anak. Tanpa pamrih. Tanpa berharap dan meminta balas jasa.
Bila suatu saat nanti anak ingin membalas "jasa" kedua orangtuamya, biarlah insiatif itu datang dari lubuk hatinya yang terdalam. Terbit atas dasar kasih dan cintanya pada ayah dan ibunya. Bukan karena paksaan atau tuntutan orang tua.
Hal ini pula yang selalu saya tanamkan di benak saya. Bahwa saya harus memiliki hati yang tulus dalam membesarkan anak, tanpa pamrih, tanpa mengungkit-ungkit kebaikan. Dengan demikian, saya berharap hubungan saya dan anak akan selalu manis dan penuh cinta kasih, selamanya.
Ibu tidak selalu benar
Tidak selamanya ibu selalu benar. Ada kalanya ibu juga salah dan anaklah yang benar.
Andaikata hal ini terjadi, seorang ibu ada baiknya berbesar hati untuk meminta maaf, sehingga tidak menimbulkan sakit hati dan rasa kecewa pada anak. Sakit hati dan rasa kecewa pada anak yang tidak segera diselesaikan, dikhawatirkan akan membekas di hatinya dan terbawa hingga anak dewasa.
Prinsip ini pula yang berusaha saya pegang hingga hari ini. Bahwa saya masih manusia, bukan malaikat.
Pikiran dan tindakan saya bisa saja salah dan melukai hati anak saya. Untuk itu, saya tidak akan segan mengakui kesalahan dan meminta maaf padanya. Biasanya saya akan segera memeluknya dan dibalas dengan anak saya memeluk erat kembali ibunya.
Mendidik dan mengajarkan dengan memberi contoh
Untuk hal-hal yang baik, saya selalu berusaha memberi contoh dengan melakukannya dalam kehidupan sehari-hari.Â
Dalam hal kerohanian misalnya. Karena saya ingin anak saya rajin berdoa dan mau membaca Kita Suci setiap hari, selain memintanya untuk melakukan hal tersebut, saya pun mencontohkan, dengan rutin berdoa dan membaca Kitab Suci setiap hari pula.
Hasilnya kini, setiap pagi setelah bangun tidur dan malam sesaat sebelum tidur, dia rutin berdoa dan membaca Kitab Suci, tanpa perlu diperintah lagi.
Begitu pula dalam hal membuang sampah. Saat sedang berada di luar rumah atau kala rekreasi misalnya, saya selalu berusaha memberi contoh dengan bertanggungjawab pada sampah yang kami hasilkan selama kegiatan tersebut, serta tidak membuangnya di sembarang tempat. Alhasil, anak saya selalu mengikuti cara saya. Mengumpulkan sampah bekas makannya seperti bungkus es krim atau roti, dan akan membuangnya setelah menemukan tempat sampah.
Menjadi ibu yang bertugas mendidik dan membesarkan anak-anak merupakan proses belajar seumur hidup. Tugas, peran dan tanggung jawab ibu cukup berat dan berarti. Melalui ibu anak bisa belajar banyak hal, yang nantinya akan sangat berperan dalam pembentukan karakter, pola pikir dan perilaku anak.
Untuk itu, penting bagi para ibu untuk terus mengisi kehidupannya, hati dan pikirannya, serta perbendaharaan ilmu mendidik dan membesarkan anak, dengan bacaan, tontonan, dan pendengaran akan nilai-nilai hidup atau hal-hal yang positif.
Dengan selalu memenuhi perbendaharaan hati dan pikiran ibu dengan nutrisi dari nilai-nilai hidup yang positif, diharapkan hanya hal-hal baik dan positif pula yang akan diserap dan dipelajari anak-anak dari ibunda mereka.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H