Dengan pola didik yang seperti ini, saya berharap anak saya tidak melihat saya sebagai ibu yang otoriter dan menakutkan, akan tetapi sebagai ibu yang lemah lembut, menyenangkan, sekaligus tegas.
Mendidik dam membesarkan anak dengan tulus, tanpa pamrih, serta tidak membangkit-bangkitkan kebaikan
Saya banyak mendengar kisah-kisah ibu yang senang sekali membangkit-bangkit atau mengungkit-ungkit semua jasa dan kebaikan yang telah dilakukan pada anak-anaknya.
Mulai dari kesulitan saat mengandung dan melahirkan, menyusui sekian tahun, merawat ketika sakit, membiayai sekolah hingga sukses, dan masih banyak hal lainnya.
Padahal bila para ibu mau jujur, anak tidak pernah minta dilahirkan. Keinginan memiliki anak murni datang dari keinginan para ibu sendiri setelah menikah. Keinginan memiliki anak umumnya didasari atas keinginan para ibu untuk mendapat pengakuan sebagai wanita menikah yang sempurna. Karena para ibu membutuhkan identitas.
Mengingat kembali semua itu, lalu mengapa harus mengungkit-ungkit seolah ibu sudah sangat berjasa pada anak? Bukankah membesarkan anak memang adalah tugas dan kewajiban orangtua?
Anak memang wajib menghormati orangtua, karena memang itu perintah dari Sang Pencipta. Tetapi orangtua juga sebaiknya memiliki hati yang tulus dalam membesarkan anak-anak. Tanpa pamrih. Tanpa berharap dan meminta balas jasa.
Bila suatu saat nanti anak ingin membalas "jasa" kedua orangtuamya, biarlah insiatif itu datang dari lubuk hatinya yang terdalam. Terbit atas dasar kasih dan cintanya pada ayah dan ibunya. Bukan karena paksaan atau tuntutan orang tua.
Hal ini pula yang selalu saya tanamkan di benak saya. Bahwa saya harus memiliki hati yang tulus dalam membesarkan anak, tanpa pamrih, tanpa mengungkit-ungkit kebaikan. Dengan demikian, saya berharap hubungan saya dan anak akan selalu manis dan penuh cinta kasih, selamanya.
Ibu tidak selalu benar
Tidak selamanya ibu selalu benar. Ada kalanya ibu juga salah dan anaklah yang benar.