Di sini orang tua berperan sebagai filter pertama, apakah anak sudah siap atau belum. Kalau si anak sudah siap, mengapa tidak. Tidak perlu menunggu usia 6 atau 7 tahun. Tapi kalau memang dirasa belum mampu, mbok ya sabar, tunggu sampai cukup umur, sesuai dengan yang dianjurkan pemerintah.
Lagipula tidak ada salahnya membiarkan anak banyak bermain di usia kecilnya. Bukankah masa kecil tidak akan terulang lagi?Â
Bermain termasuk proses belajar
Jangan mempersempit ruang belajar anak. Bermain juga adalah bagian dari proses belajar. Melalui bermain anak bisa belajar banyak hal.Â
Bermain dengan hewan peliharaan misalnya, si anak bisa dikenalkan dengan bagian-bagian tubuh hewan serta fungsinya. Atau saat bermain di kebun atau di taman, kita bisa mengenalkan mereka dengan berbagai jenis tumbuhan, bagian-bagian tumbuhan dan berbagai serangga yang berkontribusi pada proses reproduksi dan tumbuh kembang tanaman. Dari kedua hal tersebut, secara tidak langsung anak telah belajar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sebelum masuk sekolah formal.
Belajar berhitung dan matematika sederhana pun bisa kita ajarkan melalui kegiatan sederhana di rumah. Misal, ajak anak menghitung jumlah mobil-mobilan yang dia punya. Lalu seluruh mobil-mobilannya kita bagi menjadi dua bagian, dan si anak kita minta menghitung setiap bagian, lalu menjumlahkannya.
Atau kita ambil sebagian dan si anak kita minta menghitung sisanya. Metode sederhana ini secara tidak langsung mengenalkan anak pada penjumlahan dan pengurangan.
Masih banyak lagi metode belajar untuk anak di rumah yang bisa kita lakukan. Dituntut kreativitas dan pendampingan orang tua untuk meningkatkan minat belajar anak.
Pengalaman pribadi
Saya sendiri punya pengalamam mengajar anak, yang karena nafsu orang tua, tertatih-tatih mengikuti pelajaran di SD.
Saat si ganteng sudah bersekolah di SD dan mulai mandiri, saya mulai punya banyak waktu luang. Lalu karena saya tidak bekerja dan sering dijadikan tempat curhat beberapa rekan orang tua siswa di sekolah si ganteng, maka saya tergerak untuk sekalian saja membuka les di rumah, untuk siswa SD. Kebetulan saya suka anak kecil dan juga suka mengajar. Dengan begitu, saya tetap punya aktivitas di rumah sambil tetap bisa mendampingi anak.
Kala itu ada seorang anak laki-laki yang ikut belajar bersama saya. Anak ini saya sebut sebaga "korban" nafsu orang tua. Kebetulan anak ini, sebut saja namanya Boy, satu sekolah dengan si ganteng. Boy masuk SD di usia 5 tahun 6 bulan. 15 bulan selisihnya dengan anak saya.
Boy, menurut saya, masih ingin banyak bermain. Mendengar dari cerita orang tuanya, pada saat akan memasukkan Boy ke SD, mereka sebenarnya sangat sadar bahwa anak nereka belum siap. Namun mereka seolah menutup mata. Pertimbangannya, bila menunda satu tahun saja, Boy akan berusia 6 tahun 6 bulan. Dan bagi mereka, usia itu sudah terlalu tua untuk masuk SD! Hmm...