Kakiku kuayun mencoba selaras dengan derap langkahmu. Namun aku terlalu sulit merapat. Kau melangkah begitu cepat.
Tanganku berusaha mempertahankan genggaman.
Namun selalu terurai perlahan. Jelas kau tak berusaha mempertahankan ikatan.
Hatiku kutuntun mendekati hatimu, mencoba nnenyelusup ke bilik-bilik angan, menyeruak dinding-dinding kebekuan.
Namun kau tetap bergeming. Bisu, kaku, beku, tanpa laku, penaka manusia salju. Seakan ragaku tak terlihat. Hingga tak perlu kau lirik meski sesaat.
Lalu, bagaimana ku harus bersikap, sementara waktu terus bergulir mengejar, tiada rindu menunggu walau sekejap.
Tenggat pendekatan menyongsong ujung penantian. Kau segera melanglang ke benua nun jauh nian. Andaikan kau tak jua berbeda, selesai sudah kisah kita.
Tak adakah kau rasa senoktah saja semara menitik dari keduaan yang telanjur kupaksakan?
Jadi begitu ya, kau tak pernah menyiapkan dermaga bagi cinta di hatiku yang merana mendamba...
Baiklah, mari berhenti saja. Sebelum aku makin tenggelam dalam jurang lara.
Tetapi kemudian,
Sangkala kaki ini bergerak menjauhi jejakmu. Saat tangan tak lagi kupaksa tuk menjangkaumu. Saat pikiran ini kuperintahkan tuk tak membiarkan bayangmu berkelana di sana, juga kala hatiku mulai undur diri dari balik pintu hatimu yang tak jua terbuka.
Kau tetiba berbalik menghampiriku, merayuku, mengundang bertemu, seakan tak rela melepasku, seakan kau begitu menginginkanku.