Entah apa yang merasukiku,
membenamkan atma tunak beria-ria di sendang yang penuh dengan onak luka.
Bermain dengan bola-bola kenangan berbarut tuba meracuni sukma.
Bahkan tak setitik jua berjuang menumangkannya ataupun menggarit ke tepian.
Entah apa yang mengekangku,
terus menggenggam tangkai-tangkai bunga semara masa lalu yang telah lama layu.
Malar menyiraminya dengan deraian air mata, kala kalbu bergelimun dura pula semak hati menderu.
Tak henti menghidu raksi kepedihan dan nelangsa nang kudekap selalu.
Meratapi malai kasih nan terburai lesu tanpa mungkin kembali tuk menyatu.
Memang salahku,
sekian masa menyenandungkan rani cinta, padahal ku yakin sangat hanya tembang-tembang sumbang yang kudendangkan.
Sampai aku tergugu saat mafhum nada-nada itu tiada suah kan merdu.
Hingga,
ku tak celik seseorang merindukanku di tepi dini.
Seseorang yang sedia menyertaiku merambah lara, menyambut fajar dan melupakanmu,
mennikmati binar dan juitanya mentari, berlayar di samudera cinta tanpa air mata,
mengayuh biduk berdua diiringi buaian bayu juga alunan bena asmara hingga tunggang gunung menjelang.
Lamun garis hidup dikara nian.
Kini seseorang itu menjulang berdiri di hadapanku.
Memasangkan cincin pengikat di jari manisku.
Lembut menatapku seraya berikrar, kan wafa menemaniku beribu-ribu masa.
Jkt, 11 Februari 2020
Sumber inspirasi : Jodoh Terakhir, sebuah novel karya Netty Virgiantini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H