Mohon tunggu...
Berliana Pasaribu
Berliana Pasaribu Mohon Tunggu... karyawan swasta -

i'm an ordinary girl.I'm passionate in new things. I'm not a beautiful girl and rich girl but i'm friendly, honest, natural love and sincere girl...(*_>). i love writing, listening to the music, cooking and reading..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Seonggok Daging Bernama Payudara

27 April 2011   03:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:21 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Angin berhembus semilir dari hilir menuju hulu. Membawa gosip-gosip dari rumah tetangga sebelah menuju rumah-rumah sekampung, lalu pindah kembali ke desa sebelah, membagikannya ke setiap rumah-rumah hingga semua dusun terbagi rata, kemudian aku tidak pernah tau di mana berhentinya hembusan gosip itu.

Aku berlari-lari di pematang sawah, berhenti sejenak di pematang sungai di mana gadis-gadis berkumpul dengan dada-dada menyembul sambil berbagi gosip. Lalu aku berlari menuju hutan, di sana aku berbicara dengan ular-ular yang memiliki warna corak kulit  yang indah. Ular batik aku sangat menyukainya. Aku menari bersama  kupu-kupu, hinggap di sari dan membawanya ke putik, si pengantin perempuan, berharap dia akan melahirkan bunga yang lebih cantik. Aku bernyanyi bersama burung-burung, menciptakan syair-syair dan melodi yang indah. Kemudian aku mendengarkan dongeng dari sang katak. Ohh,, sore sudah memerah, aku harus segera pulang. Aku berlari ke arah  rumah, berharap ibu tidak sampai duluan dan menemukanku penuh keringat.

"Anak gadis tidak baik berlari-lari. Anak gadis harus belajar berjalan anggun. Lihat pinggangmu sudah mulai berbentuk, lingkar pinggulmu mulai melebar dan payudara itu sudah mulai menonjol. Berhentilah berlari, berhenti pergi kehutan. Anak gadis harus mulai memperhatikan dan merawat diri." Suaranya terdengar menekankan kata payudara ketika menceramahiku sepulang dari hutan.

Aku masih anak kecil, Desember nanti aku baru 11 tahun. Aku tidak menyukai perubahan fisikku yang begitu cepat, ini membuatku berbeda dengan anak-anak seusiaku. Aku mematuk diri di depan cermin kamarku. Kubiarkan dadaku telanjang dan kuperhatikan payudara yang tersenyum mengejekku. Benda itu seperti balon yang diisi dengan udara, kenyal, bagian ujungnya berwarna merah jambu, di bagian paling ujung berwarna kecoklatan. Huft,,, payudara hanya seonggok daging.

Tidak ada anak-anak seusiaku memiliki ini. kemudian aku mulai membencinya. Aku ingin menghilangkannya. Bagaimana caranya?? Tetapi semuanya gagal. Makin hari dia makin bertumbuh dan terasa sakit. Dia berdiri dengan angkuh. Dia sungguh tidak mengerti perasaanku dan aku sungguh jijik dibuatnya.

Malam ini cuacanya hangat, rembulan begitu ramah memasuki rumah-rumah kampung melalui celah rumah kayu. Dia menyapaku melalui celah dinding kayu itu. Aku ingin menemuinya di luar rumah, tetapi ibuku melarang. "Anak gadis, tidak baik ada di luar rumah. Hanya gadis jalang yang ada di luar rumah malam hari.' katanya. "Ibu, aku anak kecil, bukan anak gadis!" protesku. "Anak kecil, tidak punya payudara!" balasnya. Aku menatap ayahku meminta pembelaannya tetapi dia terdiam, ini menambah kebencianku pada payudara.

"Jangan terlalu dilarang semua bu, Liantum tetaplah masih anak-anak" kata ayahku ketika tanpa sengaja ku mendengar percakapan mereka.

Setiap sore anak  laki-laki dan perempuan bermain di depan halaman rumah penduduk. Ibu -ibu  berbagi gosip, gadis-gadis dewasa berbagi ramuan make up, bapak-bapak membicarakan hasil sawah dan ternak. Ibu melarangku bergabung dengan anak-anak main lompat karet ataupun petak umpet. Aku di suruh bergabung bersama gadis-gadis dewasa "Anak gadis tidak baik melompat dan berlari di depan orang tua. Mereka akan mencibir ibu, kalo ibu tidak bisa mendidik anak gadis untuk beretika."

Anak laki-laki mulai memperhatikan aku. Tidak tahu mengapa, tetapi mata-mata itu selalu tertuju pada dua tonjolan ini. Anak laki-laki itu mulai suka mengobrol denganku. Menyentuh kulitku dan dengan sengaja mendorong tubuhnya ke tubuhku, ke bagian dadaku.

**************************************************************************************************************************************

Malam itu listrik padam, tetapi cahaya rembulan begitu terang. Anak-anak bersorak dan berhamburan ke luar rumah untuk bermain. Aku pun senang, tetapi mustahil mendapatkan izin dari ibuku. Aku murung. "Pergilah sebentar bermain, teman-temanmu memanggil" kata ayahku. Aku pun senang. Aku berlari, bergabung bermain gocer*. Anak laki-laki dan anak perempuan semua membaur dalam permainan gocer.  Kami berlari, bersembunyi, kemudian berlari kembali. Tidak ada pembatas antara anak laki-laki dan perempuan. Ketika tiba mengundi penjaga berikutnya, kami berbaris dan saling berpengangan pingang. Aku berada dibarisan tengah, kemudian sepasang tangan memengang payudaraku, mungkin  ketidaksengajaan pikirku. Kemudian aku berlari ke barisan paling belakang supaya tidak ada yang memegang pinggangku, tetapi tangan itu makin erat memegang payudaraku, meremasnya dengan kuat. Aku terhentak, mendorongnya sekuat tenaga, dia terjatuh, dalam sinar rembulan aku melihat wajahnya, anak tetangga sebelah rumahku yang pengangguran. Aku berlari ke dalam rumah. Mengunci diri dalam kamar, mematuk diri di depan cermin dalam keadaan telanjang dada, berharap cermin bisa mengubah dadaku. Sejak itu, masa kecil ku usai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun