Jadilah kalau lebaran haji gini, selain pesta daging kami juga sedikit pesta uang. Malam hari usai penyembelihan, mulut kami ternganga lihat lembaran2 uang kertas yg nolnya banyak. Hasil pembagian kerja paman dengan bapak. Ayah bahagia bisa meneruskan hidup anak2nya.
Paman pun bisa menambah pundi2 modalnya. Sayang bisnisnya kurang terurus hingga ia harus sering jungkir balik tiap uangnya habis. Mudahnya ia cari uang sepertinya diimbangi dgn mudahnya buang uang juga.
Sungguh beda2 tabiat bapak dan adik2nya itu. Semua punya keunikan masing2. Kami suka mendengarkan cerita nenek tentang anak2nya yg berulah aneh2. Sangat berat bebannya hidup sbg janda dgn 6 bocah. Yg lebih berat lagi, hidup nenek seperti orang terasing. Maklum ia orang desa yg merantau ke kota. Gak ngerti baca tulis, taunya ngaji saja. Sementara keluarga kakek orang yg cukup berpendidikan pd masa baheula itu.
Jadilah saat suami meninggal ia sendiri saja. Keluarga suami kurang peduli. Gak selevel gitulah, jadi kurang silaturahmi. Kalau lebaran tiba jarang ada tamu di rumah nenek. Kami para cuculah yg menghabiskan kue2 dan ayam opor. Pernah seorang keponakan kakek bertandang ke sana, girangnya bukan main. Tiap hari diceritakan pengalamannya disalami satu keponakan.
Nenek selalu menyuruh anak2nya rajin belajar biar gak mudah dikibuli orang. Mereka berjuang hidup bahu-membahu agar dapur tetap ngebul, sekolah jalan terus. Nenek merasakan susahnya cari surat veteran pejuang kakek karena ia gak ngerti baca tulis. Apalagi status dia sbg istri kedua (istri pertama cerai) sehingga ia tak tahu dimana kakek menyimpan surat2 pentingnya.
Jadilah ia gigit jari saat teman2 seangkatan kakek mendapat pensiun veteran perang. Sebagai gantinya, salah satu anaknya masuk kedinasan tentara.
Ada juga anaknya yg suka berantem. Dua anak terakhir hobinya berantem tak ada habisnya. Nenek biarpun bodoh gak ngerti baca tulis tapi menang pengalaman. Saat pembagian warisan, dua orang itu dijadikan satu tanahnya. Yang lain diberi uang sehingga bebas mau beli apa saja atau di kemanakan saja. Rupanya namanya ibu itu paling tau kondisi anaknya.
Nenek percaya kalau 4 anaknya (dan 1 anak tiri dari istri pertama) yg diberi uang warisan tak akan menghambur2kan peninggalan kakek. Dan memang mereka benar2 membeli tanah seperti amanat nenek. Sedang dua bontot yg suka berantem dicarikan tanah di satu tempat untuk mereka berdua. Bukannya dipisah tapi dijadikan satu.
Mereka tetap saja berantem walau masing2 sudah berkeluarga. Sengaja oleh nenek "diikat" jadi satu biar gak mudah dijual. Kesamaaan duo bontot itu adalah gak betah lihat duit nganggur. Kalau diberi uang cukup banyak, bisa2 tandas dalam satu pekan. Bahkan kalau di beri tanah sendiri2 pun bisa2 cepat berpindah tangan alias dijual.
Melihat ayahnya saja belum pernah (karena waktu ditinggal ayahnya mereka masih bayi) eh tuanya malah gak merasakan peninggalan ortunya, kan celaka kuadrat tuh. Akhirnya walaupun terus berseteru keduanya tetap tinggal berdekatan. Manfaatnya baru dirasakan sekarang.
Bertahun2 setelah nenek meninggal, sekarang semua mengambil hikmah. Harga tanah makin melambung. Anak2 mereka sudah mneginjak remaja. Anak2 bisa punya kamar sendiri2. Saat orang lain masih mengontrak, pindah dari rumah 1 ke rumah lain, dengan tiap bulan, tiap tahun dihantui kalender yg serasa ngebut berjalan.... Ya, karena tiap bulan atau tahun mesti membayar sewa... Mereka bisa hidup tenang di rumah sendiri. Seiring bertambahnya usia, mereka sudah melihat susahnya orang yg gak punya rumah.