Petir menyambar. Kilat cahaya menerangi jalan aspal yang membelah belantara.
"Braak", bunyi keras menghantam bumi mengiringi gelegar gemuruh. Hujan yang turun sejak sore menelan gulita malam. Gelap. Â Hanya lampu lampu mobil dalam hitungan meter yang mampu membelah garis garis lurus titik titik air yang membasahi tanah.
"Ada pohon tumbang," teriak sopir kendaraan umum yang berada paling depan.
Tak lama kemudian sejumlah orang mulai berkumpul dan mendatangi mobil paling depan.
"Bisa sampai pagi," ujar seorang sopir lain menimpali.
Sebagian sopir telah kembali ke mobil masing masing. Hujan dan udara dingin tak kuasa ditahankan. jauh lebih baik bergelung menunggu hari terang dan petugas pemeliharaan jalan mulai mengurai kemacetan.
Jalan utama penghubung kota kabupaten dengan  provinsi tetangga ini memamng terkenal dengan longsor, pohon tumbang dan beragam biang kemacetan lainnya.
"tok..tok..tok..", bunyi ketukan di pintu kaca samping kanan membuyarkan kantuk.
Setelah membuka kaca, terlihat seorang memakai kupluk menyodorkan ember berisi uang.
""Sabar ya pak, pohonnya sedang dibersihkan teman saya.
Tanpa harus berdebat apalagi menanyakan untuk apa ember berisi uang disodorkan. Sudah jadi rahasia umum kalau penduduk desa suka membantu membersihkan jalan bila situasi genting seperti ini. Ngemil, iyuran seikhlasnya namun tidak boleh tidak karena mereka telah membantu membersihkan penghalang jalan. Lagian juga daripada di massa atau mobil dilempar atau dirusak orang banyak.
===
"Nanti malam kumpul diwarung ini, jangan lupa," ujar Gagak, seorang lelaki jangkung berkulit sawo matang. Matanya tajam. Alisnya tebal. Hidungnya lebih panjang diabanding rata  rata.
"Siap, ndan," terdengar jawaban dari dalam warung menimpali. Lelaki yang bertubuh gempal dan kulitnya lebih terang. Potongan rambut pendek dan wajah bersih dari bulu. Muray, kami menyebutnya.
Sementara saya mendapat tugas membawa kapak dan tali.
Muray dan Gagak kebagian menyetop jalan. Kami  berbagi tugas. Saya bagian memotong pohon. menurunkan dari bukit agar menimpa jalan dan setelah beberapa jam dibersihkan di potong potong disingkirkan. Harus bergerak cepat sebelum pagi. Namun jangan terlalu cepat. Ini hanya pekerjaan di musim penghujan.
Bila di musim panas, kami bisa kembali bertani dan menangkap ikan karena sebagian besar waduk menyusut dan mengering. Menangkap ikan dan menanam sayuran, lumayan untuk makan.
Sejak pembangunan waduk  untuk Pembangkit Listrik tenaga Air (PLTA)  jalan lama dipindah. Penduduk desa diungsikan ke lokasi yang baru. Tentu saja ke rumah yang lebih kecil dengan halaman sekadarnya. Namanya saja ganti rugi. Sisa lahan berupa sawah dan ladang yang tergenang air waduk telah diganti dengan sepeda motor. Satu dua yang punya tanah warisan lebih luas bisa membeli mobil angkutan. Menambang mengangkut hasil kayu, batu dan tanah galian.
Banyak masyarakat yang merantau pergi meninggalkan penampungan. Saya bahkan sampai ke Malaysia. Namun hidup diperantauan lebih keras. Tanpa keahlian dan bekal hanya akan mendatangkan sengsara.
Seperti malam ini, setelah jalan kembali dibuka. Kami berkumpul di warung. Tiap helai lembar uang dan pecahan hingga receh dibagi rata. Muray dan Gagak telah pulang. Sementara saya, sudah tidak sabar untuk bergabung di Batas. Perkampungan yang hanya di malam hari. Berisik genset menghela siang agar merajai Batas tidak menyurutkan volume musik dan tertawa renyah pengunjung malam.
Batas jauh dari mana mana. Namun semua yang berkumpul dari mana mana. Beragam manusia dengan tingkah polah. Tujuannya melepas lelah setelah lama berkendara. Sopir truck dan ada juga beberapa yang memang menyempatkan diri mendatangi lokasi ini untuk menuntaskan kesumat kehidupan.
====
"Pak, bangun. Bagun, Paak," samar ku mendengar suara si Bungsu. Antara sadar dan masih bermimpi, sangat jelas si bungsu menyebutkan rumah kami tertimpa tanah.
"Ibu, pak. Ibu..," tangisnya. Seakan baru tersadar. Â Semua seakan kembali berputar. Dari Batas tadi malam karena hujan deras saya kembali tertidur di warung yang telah lama kosong ini. Tidak langsung pulang ke penampungan.
"Oi.. Nuri," lolong ku. Bayangan rumah kami tertimpa longsoran tanah menggelapkan mata. Tak bisa kubayangkan, Nuri yang setia menunggu kepulangan ku kini berkalang tanah. Bertahun tahun di Malaysia dan pulang dengan tangan hampa tidak mengecilkan hatinya. "Abang pulang dalam keadaan sehat sudah sangat baik, bagi kami," ujarnya, menghiburku. "Oi, Nuri, telah putus jalan ku,". Â sesalku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H